"Seorang sahabat dari luar negeri menulis pesan untuk saya, bahwa di negaranya sedang marak kasus membuang bayi".
Ibu sering disebut sebagai "madrasah al-ula",
tempat belajar pertama kali bagi anak. Ibu satu-satunya wanita pendidik
pertama yang berinteraksi dengan anak dalam proses pebentukan watak dan
kepribadian buah hatinya. Bahkan pada saat kehamilannya, seorang ibu
disadari atau tidak telah melakukan proses tarbiyah itu sepanjang
kehamilan yang melelahkan. Lebih tepatnya letih yang bertambah letih (wahnan 'alaa wahnin).
Madrasah ibu dibangun di atas dasar nilai ruhani yang paling kokoh yaitu rahim; (kasih sayang),
modal terpenting dalam setiap proses pendidikan. Rahim ibu hanya satu
dari berjuta-juta rahim milik manusia karunia Allah, dan hanya seorang
ibu yang paling memahami eksistensi rahim kepada buah hatinya.
Bukti
yang paling kasat mata dari dari ungkapan ini, bahwa dalam dekapan
ibunya, bayi lebih cepat dapat tidur pulas dengan nyaman dan terpuaskan
emosinya daripada dalam dekapan wanita lain. Hanya seorang ibu yang
paling mengerti rengekan dan tangisan buah hatinya, di saat suaminya
tengah dibuai mimpi indah memuaskan kantuknya. Saat orang lain lebih
suka memilih bentakkan dan gemerutuk gigi kemarahan, ibu lebih memilih
sapaan lembut dan senyum dikulum mengingatkan kesalahan buah hatinya.
Dan
subhanallah, ibu satunya-satunya orang yang dengan rahimnya, rela
menghisap cairan yang menyumbat hidung anaknya saat flu dan pilek. Dan
... ah, terlalu banyak untuk dikumpulkan.
Bagaimana dengan
ibu yang kejam, yang meninggalkan anaknya sendiri dalam ketakutan ?
Atau dengan sengaja membuangnya di tepi jalan dalam keadaan hidup atau
telah kaku membiru ? Apakah tidak ada rahim di dalam dirinya ? Bukan.
Mereka bukanlah ibu. Mereka hanya wanita biasa yang dengan alasan
tertentu mencampakkan sementara naluri keibuannya. Mereka bukanlah
seperti ibu Musa yang menghanyutkan bayinya di sungai karena perintah
wahyu untuk menyelamatkan bayinya dan akhirnya mendapatkan keleluasaan
menumpahkan rahimnyadi istana Fir'aun setelah bayinya dilarung.
Membuang
bayi yang masih merah di tong sampah, di tepi jalan, di terminal atau
dimana tempat umum adalah fenomena klasik. Terjadi dalam setiap kurun
dan tempat. Tidak hanya terjadi di satu zaman jahiliyah dulu di tanah
Arab, tetapi sampai kini di tanah Eropa, Australia, Afrika atau Asia
sampai ke tanah Melayu. Tentu dengan varian, karakter dan cara-cara yang
berbeda, tetapi sama dalam substansi.
Mengapa tetap
terjadi bayi-bayi dibuang dan dibunuh? Banyak hal yang bisa menjawabnya.
Yang paling klasik adalah kemiskinan dan kemunkaran zina sebagai
pemicunya. Kemiskinan dan zina adalah saudara kembar abadi. Keduanya tak akan pernah berpisah.
"Perzinaan mengakibatkan kemiskinan." (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab).
Maka Selama kemiskinan dan zina tetap marak, maka selama itu pula "kanibalisme" terhadapa bayi akan terus terjadi.
"Anak (terkadang) menyebabkan kedua orang tuanya kikir dan penakut." (HR. Ibnu Babawih dan Ibnu 'Asakir).
Maraknya
zina karena orang banyak berpaling dari Islam. Banyak pula orang yang
telah Islam, tetapi menghina lembaga perkawinan dengan menggampangkan
perceraian. Kasus-kasus perceraian yang diblow-up media, pada akhirnya
menjadi "pembenaran" sekelompok orang untuk menolak menikah.
Arti
pernikahan kemudian mengalami degradasi sakralitas sebatas akad sekedar
mendapat surat nikah. Karenanya banyak di antara mereka lebih memilih
cara hidup seperti hewan tanpa aturan nikah. Hidup serumah tanpa ikatan
pernikahan, karena menurutnya lebih simpel, praktis, tanpa beban. Kapan
saja dia mau, dia datang, kapan dia bosan, saat itu juga ia bebas
melenggang pergi.
Itulah falsafah hidup yang dibangun di
atas dasar meterialisme hedonistik. Maka yang paling ketiban sial adalah
wanita. Ia harus menanggung kehamilan, mengasuh dan membesarkan,
memberi makan dan segala kehidupan standar lainnya. Maka membuang darah
daging merupakan jalan pintas untuk keluar dari segala kerepotan itu.
Kejam? Ya, karena pelakunya hanyalah wanita dan bukan seorang yang berhati ibu pemilik madrasah pertama.
Zina dan membunuh bayi juga pernah digandengkan dalam satu informasi. Hadis riwayat Abdullah ra. menegaskan soal ini.
Abdullah ra berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah saw: Dosa apakah yang paling besar menurut
Allah? Rasulullah saw. bersabda: Engkau membuat sekutu bagi Allah,
padahal Dialah yang menciptakanmu. Aku berkata:Sungguh, dosa demikian
memang besar. Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: Engkau membunuh anakmu
karena takut miskin. Aku tanya lagi: Kemudian apa? Rasulullah saw.
menjawab: Engkau berzina dengan istri tetanggamu". (HR. Muslim)
Dengan
kata lain,selama masih berlangsung praktek-praktek perzinahan
(prostitusi, seks bebas), kemiskinan dan berbagai ketimpangan sosial,
maka kejahatan membuang bayi dan membunuhnya akan selalu mengikuti di
belakangnya.
Kembalilah pada Islam !!.
Inilah satu-satunya solusi yang paling efektif untuk menyelamatkan umat
manusia. Islam menawarkan obat atas segala penyakit masy arakat. Dalam
Islam akan ditemukan bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup dan
menata kehidupan.
Demi Allah, Islam menawarkan
solusi universal yang efektif di setiap zaman dan tempat dengan kata
kunci "jangan dekati zina", "pelihara kehidupanmu", "bantulah
orang-orang lemah", "ratakan kesejahteraan dengan zakat, infaq dan
sedekah" dan seterusnya. Tetapi kemudian kita akan geleng-geleng kepala,
sebab jalan ke arah itu banyak dirintangi oleh orang yang mengaku
muslim.
Falsafah hidup dalam Islam bersifat pasti, bukan
fatamorgana. Hidup bagi seorang muslim bukan sekedar menghirup dan
menghembuskan nafas O2, minum di kala haus, makan di kala lapar atau
melampiaskan nafsu seks saat birahi memuncak. Ada tanggung jawab moral
etik, baik tanggung jawab individu maupun sosial yang kelak akan
diperhadapkan dengan pengadilan Allah di akhirat.
Sebab
itu, pernikahan diperintahkan sebagaimana agama mengaturnya. Dan zina
diharamkan pada hakikatnya untuk menuntun manusia sampai kepada tanggung
jawabnya di hadapan diri, masyarakat dan Allah yang telah memberikannya
karunia rasa cinta dan birahi. Memang kenyataannya, aturan agama hanya
dapat diterima dan dipatuhi oleh manusia yang memiliki akal budi dan
fitrah yang sehat. Tidak bagi budak nafsu dan akal yang telah keruh atau
rusak.
Al-Qur'an secara tegas berada di barisan paling
depan soal perlindungan hak hidup anak. Bukan semata-mata sebagai respon
atas tradisi jahiliyah Arab pra Islam yang gemar mengubur bayi wanita
hidup-hidup. Tetapi karena Islam sebagai agama sangat menghargai
kehidupan dan menganggapnya sebagai anugerah dan rahmat Allah yang harus
dipelihara, betapapun keadaannya.
"Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar". (terjemah QS. Al Israa [17] : 31)
"Oleh
karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, barang
siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas. Kemudia banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi".(terjemah QS. Al-Maa'idah[5] :32)
Pada
akhirnya, negara sebagai pemegang "otoritas" kekuasaan bertanggung
jawab memecahkan persoalan ini. Negara perlu melacak sumber penyakit
utama maraknya zina dan pembunuhan atas-bayi-bayi tak berdosa itu. Baik
upaya yang bersifat pencegahan, pembinaan, hukum dan regulasi atau
undang-undang yang mangaturnya yang disesuaikan dengan karakteristik di
setiap negara. Bahkan ada negara yang sangat tegas dengan memberlakukan
hukum gantung bagi pelakunya. Semuanya dilakukan agar bencana
kemanusiaan ini bisa dihentikan.
Untuk Wanita Ibu
Menjadi
wanita adalah anugerah, menjadi wanita Ibu adalah anugerah dan
kehormatan. Ibu dan anak seperti dua sisi mata uang yang saling bertaut.
Dalam tataran idealisme, kebahagiaan Ibu adalah kebahagiaan anak,
kebahagiaan anak adalah kebahagiaan seorang Ibu. Keduanya berkewajiban
untuk saling memuliakan.
Seorang sahabat bertanya, "Ya
Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan
persahabatanku?" Nabi Saw menjawab,"ibumu...ibumu...ibumu, kemudian
ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat
kepadamu." (Mutafaq'alaih).
"Cintailah anak-anak
dan kasihsayangi lah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka
tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi
mereka rezeki". (HR. Ath-Thahawi).
Kematian Anak Bukan Derita, Tapi Kebahagiaan Ibu
Hati
seorang ibu tidak pernah berpaling dari cinta anak. Begitu besar
cintanya, mengalahkan dari cinta apapun selain cintanya kepada Allah.
Begitulah ibu yang menjadi madrasah bagi buah hatinya. Dari rahimnya
lahir mujahid Islam yang keras berjuang untuk agamanya.
Dari
tangannya lahir generasi terampil yang memberi banyak manfaat kepada
kemanusiaan. Dari perhatiannya lahir jiwa-jiwa yang mampu memberi
kehangatan hidup pada sesama. Wajarlah, ketika sang buah hati diasuh
dengan baik atau diambil ruhnya oleh Allah, Rasulullah menghiburnya
dengan kenikmatan surgawi.
"Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan diasuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga". (HR. Bukhari)
"Seorang
ibu yang kematian tiga orang puteranya lalu berserah diri (pasrah)
kepada Allah, rela dan ikhlas, maka dia akan masuk surga. (HR. Muslim)
Apa
hendak dikata, zaman semakin tua dan kejam. Rasa malu sudah banyak
tercerabut dari hati wanita. Kasih sayang sudah terbang dari setiap hati
manusia. Sehingga kita heran seribu heran, Singa si raja hutan yang
buas, masih sayang sama anaknya. Tetapi kemarin, hari ini, mungkin juga
esok, masih kita dapati wanita yang tega membunuh bayinya.Lalu di mana
lokasi surga untuk wanita pembunuh bayinya? Padahal setiap "rahim"wanita
bisa bicara dan menggugat :
Rahim adalah cabang dari
nama Arrahman (ArrahmanArrahim). Rahim mengucapkan keluhan dan
pengaduan: "Ya Robbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku
telah diperlakukan dengan buruk oleh keluarga dekatku. Ya Robbi, aku
telah dizalimi mereka, ya Robbi, ya Robbi." Lalu Allah menjawab:
"Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubunganKu dengan orang yang
menghubungimu dan Aku putus hubunganKu dengan orang yang memutus
hubungannya dengan kamu. (HR. Bukhari)
Kenapa wanita terus yang disalahkan? Tidak. Laki-laki yang mengantarkan wanita berlaku demikian sama buruknya.
Allahu a'lam.
Semoga Ramadhan semakin mempertajam naluri Ibu dan perlindungan Ayah. Aamiin.
________________________
Adopted from : abdul_mutaqin@yahoo.co/ Eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar