“Apakah
manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika
demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?”
Jika
kita memiliki sebuah keinginan, lantas kita sudah mengerahkan seluruh
usaha untuk mencapainya, namun ternyata Allah tak juga memperkenankan
kita meraih impian tersebut, apakah lantas kita berhak untuk ‘mencaci’
Allah? Apakah itu kemudian membuat kita sah menyalahkan takdir?
Seorang
teman beberapa saat lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan
beasiswa internasional bahwa dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang
tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yang pertama.
Rekan saya tersebut telah lima kali mengikuti program ini, sejak
menyelesaikan S1 Hukum di sebuah universitas kesohor di Bandung. Dan
yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu hingga
ke tahap-tahap akhir.
Yang
terakhir diikutinya –tahun ini—ia telah melewati seleksi awal, dari
seribu orang, tinggal tersisa seratus. Dari seratus orang yang tersisa,
ia lolos ke lima puluh orang yang mengikuti seleksi di Jakarta. Di sana,
ia pun terpilih dalam lima kandidat penerima beasiswa kuliah di
Austria. Tapi, apa lacur… pengumuman terakhir tidak mencantumkan
namanya.
Kekecewaan,
jelas saya bisa menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes
yang ia jalani menunjukkan bahwa ia mampu dan layak. Usaha yang ia
lakukan pun bukan lagi sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tidak
terhitung lagi berapa besar biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian
tes itu, dari penyediaan berkas, akomodasi dan transportasi, juga
kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi, sekali lagi, ia mengalami
kegagalan pada saat-saaat terakhir.
Dari
teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu menera
pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita
harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas
apa pun yang terjadi pada diri kita.
Ketidaklulusan
teman saya dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya
tidak mampu. Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa
kali menunjukkan bukti bahwa ia layak menerima. Tapi sekali lagi,
pemasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak.
Inilah yang saya katakan pada teman saya tersebut.
Bermimpi
bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib.
Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.
Sampai
hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi.
Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi akuntan sebagaimana
dari awal saya sekolah di SMEA, saya telah meletakkannya sebagai
cita-cita. Kalaupun kemudian saya ‘tersesat’ ke bidang yang lain, itu
adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha
untuk ‘berdamai’ dengan-Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.
Kalaupun
hingga saat ini saya tak juga ‘mampu’ untuk kuliah, bukan lantas saya
berhak dengan semena-mena mematikan impian saya yang saya anggap ‘mulia’
ini. Konon, saya telah memaksimalkan usaha saya. Namun, biaya adalah
hal pokok bagi saya, dan rasanya memang tak cukup hanya dengan tekad.
Pernah
ada seorang teman yang mengatakan, “yang penting adalah niat.” Tapi,
untuk saya, hal itu tidak berlaku. Masih kurang besarkah niat saya?
Seberapa besar kemampuan niat untuk seorang dengan ekonomi di bawah
pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat SMEA pun saya harus
pontang-panting mengejar bayaran-bayasan SPP dan sebagainya.
Saat
‘uang tabungan’ saya raib begitu saja, saya masih bisa menghibur diri,
“Nantilah, saya akan melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. Saat
ini, yang harus saya lakukan adalah menabung.” Tapi, lagi-lagi,
kehendak Allah bicara lain. Ijazah SMP dan SMEA saya ikut raib ulah
sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu saya sangat ‘bodoh’ dengan
bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT yang mengaku akan
memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan sesudah itu,
saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.
Dengan
semua itu, impian saya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut
terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya tidak boleh demikian, menganggap
takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana
tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup
seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat
saya terantuk kegagalan, yang saya lakuikan adalah memutar ulang
pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan
memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.
Hidup
bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha. Dari ‘menulis,’ saya
menemukan satu pelajaran berharga. Pertama kali menulis, tulisan saya
ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan mencoba. Saya menulis dan
menulis kembali. Hingga… akhirnya tulisan saya diterima sebuah media,
berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya berikutnya. Di tahun 2001
untuk pertama kalinya ada sebuah penerbit yang mau membukukan
tulisan-tulisan tersebut.
Tulisan-tulisan
saya yang tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk
sampah, bukanlah sebuah kegagalan, tetapi proses. Jika tidak melewati
fase itu, saya yakin saya tak akan pernah sampai pada kondisi yang
sekarang.
Kegagalan
bagi saya adalah sebuah perjalanan. Terserah apakah kita akan berhenti
sebelum sampai ke tujuan atau kita melanjutkannya dengan berbagai beban
konsekuensi dari perjalanan itu sendiri.
Saya
mengambil sebuah perumpamaan. Kita pernah sekolah di SD, lantas
melanjutkan ke SMP, SMA, hingga kemudian kuliah. Jika telah lulus kuliah
dan melamar pekerjaan, apakah kita memakai ijazah SD dan SMP untuk
melamar pekerjaan? Tentu tidak. Kita hanya memakai ijazah SMA atau
sarjana.
Jika
demikian adanya, mengapa kita harus susah-susah sekolah di SD dan SMP?
Mengapa kita tidak langsung saja kuliah atau sekolah di SMA?
Ini
pertanyaan konyol, memang. Tapi bukankah benar demikian? Tanpa melalui
SD dan SMP, kita tak akan pernah sampai ke SMEA atau kuliah. Kendati
tidak dipakai dalam melamar pekerjaan, bukan lantas berarti ijazah SD
dan SMP kita tidak berguna, bukan?
Begitulah
dengan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kegagalan itu bukanlah
sesuatu yang ‘tidak berguna,’ sebab kegagalan itulah yang menempa kita,
memberi pembelajaran kepada kita tentang kematangan, konsep persaingan…
atau barangkali Allah tengah menarbiah kita untuk meyakini bahwa Dia-lah
penentu segala urusan. Kegagalan membuat kita semakin mengimani takdir.
Belajar
berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yang ‘dikaruniakan’ Allah
kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan
seterusnya. Kita tidak memerlukan ijazahnya, tetapi kita menjalani
prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah ‘ijazah’ kesuksesan,
tetapi ‘proses’ dan ‘menjadi.’
Konon,
seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih
dari lima alenea pembuka. Dari kelima alenea pembuka itu, ia memilih
satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete
dari program di komputernya. Sekali lagi, apakah keempat alenea yang
terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus
bersusah payah menulis empat alenea itu?
Silakan Anda menjawab sendiri.
Hidup
bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat
itu adalah semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya
kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu”.
(sumber : eramumuslim by Sakti Wibowosakti@syaamil.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar