Namun tak pula aku sanggup ke nerakaMu
Ampunkan dosaku terimalah taubatku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosaku
Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai
Dengan rahmatMu Tuhanku ampunkan daku
(Syair Abu Nawas)
Pernah Imam Al Ghazali menangis hingga keluar air matanya
usai memimpin sholat shubuh. Peristiwa tersebut membuat para muridnya
heran, “ini bukan kebiasaan guru,” pikir beberapa murid itu. Akhirnya
salah satu dari mereka memberanikan diri menghampiri sang guru. “Apa
gerangan yang membuat guru menangis,” tanyanya.
Mendapat pertanyaan dari seorang muridnya tidak membuat
sang guru langsung menjawab, bahkan Imam Al Ghazali memberikan
pertanyaan berturut-turut kepada murid yang bertanya tadi. “Kenapa Adam
a.s diusir Allah dari surga, kenapa pula dengan iblis, penghuni surga
yang kemudian dilaknat Allah dan menjadi ahlunnaar, berapa banyak
kesalahan Adam hingga ia harus menerima hukuman itu, berapa banyak pula
yang dilakukan iblis.”
Tanpa bermaksud memotong kisah diatas, sebenarnya kita
mencoba untuk sepakat bahwa Adam a.s, manusia pertama ciptaan Allah itu,
hanya sekali melakukan kesalahan terhadap Allah, yakni ketika ia tidak
patuh akan larangan Allah dengan mendekati pohon yang dilarang Allah
untuk didekatinya (QS. Al Baqarah:35). Akibat perbuatannya itulah Adam
terlempar dari surga dan terpisah dengan istrinya, Hawwa, setelah ia
mendapatkan berbagai kenikmatan dari Allah. Keadaan yang menimpa iblis
hampir serupa, bahwa ia hanya sekali melakukan kesalahan terhadap Allah,
yakni ketika perintah Allah untuk sujud kepada Adam seperti yang
dilakukan para malaikat dan makhluk lainnya, tidak ditaatinya karena
takabur (QS. Al Baqarah:34). Hanya saja, perbedaan keduanya terletak
pada sikap setelah mereka mendapat hukuman, Adam diterima taubatnya
dengan syarat mengikuti petunjuk Allah jika tidak ingin tergelincir
lagi, sedangkan iblis memilih menjadi musuh Allah dan orang-orang
beriman.
Penggalan kisah diatas sangat menarik untuk direnungkan
kembali dalam rentang waktu perjalanan hidup kita didunia memegang
amanah sebagai khalifah di bumi, meski proses pemilihan manusia sebagai
khalifah sempat diragukan oleh malaikat, makhluk Allah yang senantiasa
taat itu.
Pernahkah kita, dalam sehari saja, menghitung berapa
banyak perbuatan dosa kita. Baik dosa yang langsung terhadap Allah,
maupun dosa yang terkait dengan makhluk lainnya. Sebagai gambaran
tentang perbuatan dosa, Rasulullah pernah bersabda bahwa dosa adalah
ketika hati menjadi tidak tentram tatkala orang lain menyebutkannya.
Fenomena yang terjadi, banyak orang yang tersakiti dengan
tutur kata sarkas dan tidak sopan, pikirkan akibat yang timbul dari
kekikiran kita, berbagai perbuatan merusak tak pelak semakin mewarnai
tangan-tangan kotor ini. Belum lagi dengan sikap tidak amanah, fitnah,
takabur dan dusta. Serta puluhan, ratusan bahkan ribuan atau jutaan lagi
perbuatan jahat dan maksiat. Mungkin jika kita mencoba menghitungnya,
entah apa yang terbayang tentang tempat kita diakhirat nanti.
Kalaulah Adam yang hanya ‘sekali’ melakukan kesalahan
terhadap Allah harus terusir dari surga, sementara iblis yang juga
‘sekali’ kesalahannya dilaknat dan menjadi penghuni abadi neraka.
Pantaslah bila Imam Al Ghazali, seorang ahli ibadah, menangis meski
didepan muridnya, karena ia tidak bisa membayangkan adzab apa yang akan
diterimanya kelak berhadapan dengan Allah di hari akhir dengan wajah
penuh dosa. Tidak berlebihan pula apa yang dilakukan Rabi’ah Al
Adawiyah, perempuan yang menyerahkan seluruh cintanya kepada Allah
selalu merasa dirinya tidak pantas masuk surga dan meminta Allah untuk
menjauhkannnya dari sekedar wanginya surga jika ibadahnya dilakukan
semata untuk pahala dan surga Allah. Pantas pula jika Muhammad, Rasul
Allah, meski dirinya sudah dijamin Allah untuk masuk surga sebelum
manusia lainnya tetap sujud setiap malamnya hingga kakinya bengkak.
Allah telah menetapkan dalam firman-Nya bahwa segala yang
dilakukan manusia di dunia sekecil apapun akan mendapatkan balasannya,
entah itu kebaikan maupun kejahatan (QS. Al Zalzalah:7-8). Sementara
kebanyakan manusia sering lupa.
Bagi manusia beriman, tentu akan berbuat baik
sebanyak-banyaknya, karena hal itu akan sangat berbanding lurus dengan
perbuatan sebaliknya. Artinya semakin ia sering berbuat baik, maka tidak
membuka peluang sedikitpun baginya untuk berbuat jahat. Seiring dengan
itu, taubat dan memohon ampunan segera dilakukannya, yang mana maghfirah
Allah yang luasnya seluas langit dan bumi hanya disediakan bagi
orang-orang yang bertaqwa, kemudian meninggalkan perbuatan jahat yang
pernah dilakukannya (QS. Ali ‘Imran:133-135). (sumber : eramuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar