Bukan Muhammadiyah kalau masih alami keraguan. Kalimat tersebut sangat
cocok jika dikaitkan dengan situasi sekarang, ketika pemerintah
(kembali) lakukan permulaan Ramadan yang kemungkinan berbeda dari
Muhammadiyah melalui Sidang Itsbat. Berbeda sebenarnya tidak menjadi
masalah, karena perbedaan itu adalah rahmat. Namun kalau kemudian yang
berbeda memaksa untuk sama dengan alasan taat, ini pasti akan
menimbulkan masalah bagi umat. Yang perlu digarisbawahi barangkali,
Sidang Itsbat ini lebih erat kaitannya pada kepentingan para pejabat,
meski mengorbankan banyak keinginan umat.
Tanpa disadari, Sidang Itsbat yang dilakukan pemerintah, sebenarnya gambaran ketidakpastian dan ketidakkonsistenan kebijakan pejabat kita, sehingga bukan manfaat yang didapat, melainkan keraguan. Nah, sekali-sekali ragu, mungkin wajar. Namun apabila setiap tahun diciptakan keraguan, itu konyol namanya. Begitu pula ketika penentuan awal/akhir Ramadan menimbulkan ketidakpastian masyarakat, maka keraguan permanen pun akhirnya menjadi efek keraguan sistemik di lingkungan kehidupan masyarakat. Baik keraguan saat menjelang Ramadan, maupun saat akan meninggalkannya, bahkan usai meninggalkannya pun, efek dari sisa-sia keraguan itu masih melekat, hingga tahun berikutnya.
Tidak seperti gaya ragu pemerintah, penetapan Kalender Islam, khususnya terkait Ramadan, bukanlah hal baru bagi ormas Islam. Bahkan kelompok-kelompok atau aliran Tareqat Naqsabandiyah di Padang misalnya, sudah lakukan salat tarawih dua hari sebelum pemerintah umumkan keputusannya. Mereka berani melakukan salat tarawih lebih awal, karena keyakinan mereka yang mantap tanpa ragu. Hanya mengingatkan, ibadah tentunya tidak patut jika kemudian disamakan dengan persoalan demokrasi atau plurasisme lain yang bisa diseret-seret pada isu-isu kebersamaan, persatuan, dan penyeragaman.
Begitu juga Muhammadiyah. Secara rinci dan jelas Muhammadiyah jauh-jauh hari telah mengumumkan ketegasannya dalam mengamalkan ibadah Ramadhan. Baik itu cara mempersiapkan, cara menjalani, cara mengamalkan, dan cara mengakhirinya. Bahkan, Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, telah umumkan pula kapan Idul Fitri 1 Syawal, 1 Dzulhijjah, Hari Arafah 9 Dzulhijjah, dan Idul Adha 1433 H. Perhitungan Muhammadiyah yang sudah mengadopsi ilmu Hisab modern, jelas tanpa kesulitan dapat menentukan hari-hari penting tersebut tanpa menimbulkan keraguan umat umumnya, dan warga Muhammadiyah sendiri. Hal ini tentu menunjukkan kekonsistenan misi Muhammadiyah dalam rangka mencerahkan umat, dan dalam rangka menempatkan Ramadhan sebagai salah satu bulan ladang ibadah tanpa perlu menyulitkan warganya.
Bagi organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan 1 abad silam, penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9 Dzulhijjah, maupun Idul Adha, realitasnya tidak sesulit saat membuat kalender tahunan, maupun saat membuat daftar jadwal shalat 5 waktu yang dijalankan oleh umat Islam secara rutin. Apalagi pada jaman internet dan satelit seperti sekarang ini, jelas tidak akan disia-siakan kemanfaatannya, sehingga tidak akan membuat Muhammadiyah alami penyakit akut berupa ketertinggalan ilmu dan keusangan cara berpikir maupun cara menemukan solusi. Sejak KH Ahmad Dahlan muda, Muhammadiyah telah manfaatkan semangat modernitas dan cara-cara terbaik menuntun umat, dalam rangka ibadah maupun interaksi sosial, tanpa melupakan ayat Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW.
Oleh karenanya, ketika Muhammadiyah mengumumkan keputusan 1 Ramadhan 1433 H/2012 M jatuh pada 20 Juli 2012, ini mengandung arti bahwa Muhammadiyah tidak bisa disebut berbeda dengan pemerintah. Justru kebalikannya - seperti yang belum lama ini diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr H Agung Danarto, M.Ag - justru pemerintahlah yang berbeda dengan Muhammadiyah. Karena konsistensi dan kemantapannya, Muhammadiyah telah jalankan misinya tanpa harus memaksa pihak lain untuk ikut bersama-sama Muhammadiyah.
Dengan cara ini, umat Islam tidak perlu ramai-ramai pergi ke pantai atau pucuk gunung. Masyarakat tidak perlu lari-lari ke atau pencakar langit, atau malah adakan begadang saat subuh hanya untuk melihat hilal yang tentu sangat sulit jika terhalang kabut atau ada asap kapal di pantai dan seterusnya. Yang kita lupakan, halangan-halangan terhadap hilal, sebenarnya sangat mudah ditembus dengan perhitungan, karena pada dasarnya hilal itu ada. Hanya manusialah yang pada masa lalu, belum memiliki cara hitung yang canggih seperti sekarang.
Dengan metode yang dipakai Muhammadiyah, masyarakat tak perlu menduga-duga seputar sosok-sosok petugas pengintip hilal. Masyarakat tidak perlu berpikiran negatif, misalnya nilai ketaatan petugas, nilai kesehatan petugas, atau bahkan keikhlasan petugas saat bekerja. Umat Islam juga tidak lagi mendengar adanya sumpah atas kesaksian-kesaksian petugas di pantai. Tidak ada lagi gontok-gontokan akibat 2 (dua) petugas melihat hilal, sementara belasan yang lain mengaku tidak melihat. Yang berlebihan dan janggal adalah menentukan pola ibadah dengan melalui metode demokrasi. Suara terbanyak. Penglihat terbanyak. Poin yang ingin dicari kira-kira adanya hilal, terlihatnya hilal, atau pengakuan tidak melihat hilal?
Hilal pasti ada. Terlihatnya belum tentu. Mengapa? Karena terlihatnya hilal, tentu banyak hambatan seperti cuaca, kondisi petugas penglihatnya, maupun alat yang digunakan. Namun kalau ukurannya adalah pengakuan penglihat hilal, tampaknya akan menimbulkan banyak keraguan dan tandatanya seperti yang saya tulis di atas. Apakah cara ini bisa dijamin akurasi dan kejujurannya? Wallahua'lam bishawab.
Karena banyaknya keraguan itu, saya jadi ingat penjelasan Ketua Majelis Tarjih dan Majelis Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar, MA. Semangat Alquran dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, sesungguhnya jelas, yakni menggunakan perhitungan. Menggunakan hisab. Allah sendiri, sudah menginformasikan pada umat Islam bahwa matahari dan bulan, beredar menurut perhitungan.
Maka dari itu, meski matahari dan bulan tertutup awan sekalipun, meski matahari dan bulan tak bisa dilihat menggunakan teropong maupun alat elektronik lainnya pun, maka Allah telah memberikan solusi dengan perhitungan itu. Matahari dan bulan, tidak akan hilang dengan adanya awan yang menyelimutinya. Peredaran keduanya, tidak akan berhenti hanya gara-gara manusia gagal meneropongnya. Dan yang pasti, kerutinan gerak dua benda angkasa tersebut, pasti tidak akan berubah hanya gara-gara sekelompok manusia memutuskan bulan tidak terlihat saat Sidang Itsbat.
Ada hal lain yang perlu dicermati bahwa, pelaksanaan Sidang Itsbat cenderung terbukti sebagai bentuk intervensi pemerintah kepada persoalan umat Islam yang seharusnya bebas menjalankan keyakinannya tanpa perlu dipaksa sama. Intervensi semacam ini sangat berbahaya ketika pada saatnya, atas pertimbangan tertentu, seluruh ibadah umat dijadikan komoditi politik, sehingga bisa jadi suatu saat penentuan awal dan akhir Ramadhan, akan digulirkan menjadi Undang-Undang agar semua bisa sama dengan keinginan pemangku kebijakan. Makanya, intervensi yang terus menerus seperti saat ini, sangat berpotensi melanggar konstitusi.
Sidang Itsbat yang terjadi selama ini, juga lebih terkesan anti musyawarah, padahal semangat Sidang Itsbat mestinya musyawarah untuk mufakat. Semestinya Sidang Itsbat adalah forum yang saling menghargai dan menghormati pendapat, serta pandangan yang lain dan berbeda dengan keinginan pemerintah. Seperti Sidang Itsbat tahun lalu, yang masyarakat bisa melihat langsung dari televisi. Kenyataannya, ormas yang dianggap berbeda malah dicaci dan direndahkan, maka nilai sidang itu sebenarnya otomatis hilang. Dalam sidang tersebut, pemerintah bisa saja menghadirkan ahli-ahli atau pakar-pakar. Tentu saja, karena itu bukan forum politik, semestinya harus membawa ghirrah (semangat) Islam, adil dan tabayyun. Sayangnya, ahli yang diundang adalah ahli sesuai keinginnan pemerintah. Akibatnya, apa yang keluar dari mulutnya, bukanlah atas semangat Islam, melainkan semangat kaum pemarah. Tak heran apabila ada kesan, sebenarnya Sidang Itsbat hanyalah forum basa-basi untuk mengumumkan keputusan yang sudah dibuat sebelum sidang. Apabila pemerintah mengumpulkan Ormas hanya untuk mendengarkan caci maki dan pengumuman semata, maka apa urgensinya Sidang Itsbat?
Sungguh sebuah kehebatan apabila Umat Islam di Indonesia mau membuka Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Sungguh sebuah kehebatan pula, apabila Umat Islam berani belajar tanpa harus ketakutan untuk berbeda, hanya karena pemerintah ingin umat bisa bersamanya. Rasulullah sendiri sudah menginformasikan kondisi umat terdahulu dengan seperti itu, sangat lazim apabila kemudian hari, Muhammadiyah lakukan Hisab, karena pada esensinya, tanpa hisab, maka umat Islam tidak akan mampu membuat Kalender Islam buat dirinya sendiri.
Tentu sangat ironi apabila, hanya ingin shalat, ingin pergi haji, ingin berdoa, kita mesti secara manual pergi ke gunung-gunung dan lari pantai hanya untuk memastikan kapan tanggalnya. Wajar saja jika ahli dan penggagas Kalender Islam Internasional, Prof. Dr. Nidhal Guessoum kemudian mengkritik Umat Islam yang tidak segera berhasil menyusun kalendernya sendiri. Umat Islam kalah dengan umat terdahulu yang sudah berhasil menyusun kalender untuk ribuan tahun lamanya.
Sekali lagi, sebagai organisasi yang memiliki tanggungjawab besar, Muhammadiyah telah tegas dan tanpa ragu dengan keputusannya. Muhammadiyah telah ambil sikap yang tidak mungkin berubah, hanya gara-gara keinginan pihak tertentu agar Muhammadiyah mengalah dengan menaruh kebenaran di bawah tekanan kelompok yang tidak mengerti. Maka keputusan Muhammadiyah tidak ikut Sidang Itsbat adalah sebuah keputusan yang berdasar atas kepentingan umat, agar terjadi kemaslahatan dan tidak menimbulkan ketegangan di lingkungan umat, dan dengan itu, maka Muhammadiyah berusaha menjadi solusi atas banyaknya suara atas keraguan yang ada. Langkah Muhammadiyah ini, tentu bukan tanpa belajar dari tahun sebelumnya.
Pelaksanaan Sidang Itsbat, bagi Muhammadiyah tidak lebih banyak manfaat dibanding mudharatnya, sehingga ketidakikutsertaannya dianggap lebih baik bagi Muhammadiyah dan masyarakat banyak, ketimbang dipaksakan ikut namun menimbulkan suasana tidak sehat di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak ingin melihat Muhammadiyah dan Ormas Islam yang lain, dan juga dengan Pemerintah, terlibat keributan dalam sidang hanya gara-gara disebabkan tidak bertemunya antara sikap-sikap dan pandangan konsisten dan kelompok inkonsistensi saat rapat berlangsung.
Kenyataannya, shalat Jumat dan shalat wajib yang rutin, tidak pernah menjadi persoalan serius Pemerintah, maka semestinya penentuan tanggal Ramadhan juga tidak perlu menjadikan persoalan serius Pemerintah, yang dapat berpotensi menimbulkan ketegangan permanen dan keraguan setiap tahunnya. Kalau hanya terkait pengaturan tanggal merah yang dipersoalkan, tentu tidak perlu dikaitkan dengan perlu tidaknya seragam waktu Ramadhan maupun Idul Fitri.
Maka dari itu, dalam himbauannya, Muhammadiyah diantaranya hanya mengajak kepada warga Muhammadiyah untuk tetap berpegang teguh pada hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena adanya potensi berbeda dengan pihak lain, Muhammadiyah pun berharap agar warga Muhammadiyah memahami, menghargai dan menghormati adanya perbedaan itu, serta menjunjung tinggi keutuhan, kemaslahatan, ukhuwah dan toleransi, sesuai dengan keyakinan masing-masing, disertai kearifan dan kedewasaan, serta menjauhkan diri dari sifat yang mengarah pada hal-hal yang bisa merusak nilai ibadah itu sendiri. Dihimbau pula kepada Umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, agar menjadikan Bulan Ramadhan ini sebagai bulan instrospeksi.
Karena keistimewaan Ramadhan, Muhammadiyah juga menghimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah agar menyambut datangnya Ramadhan dengan rasa syukur dan gembira, serta berusaha bersungguh-sungguh untuk menunaikan puasa (shaum) sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tujuannya tidak lain, agar mendapatkan ridha dan karunia Allah SWT, dan dari ibadahnya itu, dapat dipantulkan melalui amalan sehari-hari di tengah masyarakat.
Kepada warga yang belum Muhammadiyah, maka diharapkan bisa menjauhi permusuhan maupun tindakan yang mengarah pada tumbuhnya benih-benih konflik. Khusus untuk industri hiburan, baik melalui media cetak maupun elektronik, dihimbau untuk mengedepankan nilai-nilai moral dan kebaikan. Dihimbau pula agar tidak ada yang mencoba menjual komoditi pornografi dan pornoaksi yang merusak akhlak dan tatanan bangsa, hanya demi meraih keuntungan materi. Sikap positif itu diperlukan, guna menunjukkan penghormatan terhadap hadirnya Ramadhan, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kehidupan bangsa.
Selamat Menjalankan Puasa!
Tanpa disadari, Sidang Itsbat yang dilakukan pemerintah, sebenarnya gambaran ketidakpastian dan ketidakkonsistenan kebijakan pejabat kita, sehingga bukan manfaat yang didapat, melainkan keraguan. Nah, sekali-sekali ragu, mungkin wajar. Namun apabila setiap tahun diciptakan keraguan, itu konyol namanya. Begitu pula ketika penentuan awal/akhir Ramadan menimbulkan ketidakpastian masyarakat, maka keraguan permanen pun akhirnya menjadi efek keraguan sistemik di lingkungan kehidupan masyarakat. Baik keraguan saat menjelang Ramadan, maupun saat akan meninggalkannya, bahkan usai meninggalkannya pun, efek dari sisa-sia keraguan itu masih melekat, hingga tahun berikutnya.
Tidak seperti gaya ragu pemerintah, penetapan Kalender Islam, khususnya terkait Ramadan, bukanlah hal baru bagi ormas Islam. Bahkan kelompok-kelompok atau aliran Tareqat Naqsabandiyah di Padang misalnya, sudah lakukan salat tarawih dua hari sebelum pemerintah umumkan keputusannya. Mereka berani melakukan salat tarawih lebih awal, karena keyakinan mereka yang mantap tanpa ragu. Hanya mengingatkan, ibadah tentunya tidak patut jika kemudian disamakan dengan persoalan demokrasi atau plurasisme lain yang bisa diseret-seret pada isu-isu kebersamaan, persatuan, dan penyeragaman.
Begitu juga Muhammadiyah. Secara rinci dan jelas Muhammadiyah jauh-jauh hari telah mengumumkan ketegasannya dalam mengamalkan ibadah Ramadhan. Baik itu cara mempersiapkan, cara menjalani, cara mengamalkan, dan cara mengakhirinya. Bahkan, Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, telah umumkan pula kapan Idul Fitri 1 Syawal, 1 Dzulhijjah, Hari Arafah 9 Dzulhijjah, dan Idul Adha 1433 H. Perhitungan Muhammadiyah yang sudah mengadopsi ilmu Hisab modern, jelas tanpa kesulitan dapat menentukan hari-hari penting tersebut tanpa menimbulkan keraguan umat umumnya, dan warga Muhammadiyah sendiri. Hal ini tentu menunjukkan kekonsistenan misi Muhammadiyah dalam rangka mencerahkan umat, dan dalam rangka menempatkan Ramadhan sebagai salah satu bulan ladang ibadah tanpa perlu menyulitkan warganya.
Bagi organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan 1 abad silam, penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9 Dzulhijjah, maupun Idul Adha, realitasnya tidak sesulit saat membuat kalender tahunan, maupun saat membuat daftar jadwal shalat 5 waktu yang dijalankan oleh umat Islam secara rutin. Apalagi pada jaman internet dan satelit seperti sekarang ini, jelas tidak akan disia-siakan kemanfaatannya, sehingga tidak akan membuat Muhammadiyah alami penyakit akut berupa ketertinggalan ilmu dan keusangan cara berpikir maupun cara menemukan solusi. Sejak KH Ahmad Dahlan muda, Muhammadiyah telah manfaatkan semangat modernitas dan cara-cara terbaik menuntun umat, dalam rangka ibadah maupun interaksi sosial, tanpa melupakan ayat Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW.
Oleh karenanya, ketika Muhammadiyah mengumumkan keputusan 1 Ramadhan 1433 H/2012 M jatuh pada 20 Juli 2012, ini mengandung arti bahwa Muhammadiyah tidak bisa disebut berbeda dengan pemerintah. Justru kebalikannya - seperti yang belum lama ini diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr H Agung Danarto, M.Ag - justru pemerintahlah yang berbeda dengan Muhammadiyah. Karena konsistensi dan kemantapannya, Muhammadiyah telah jalankan misinya tanpa harus memaksa pihak lain untuk ikut bersama-sama Muhammadiyah.
Dengan cara ini, umat Islam tidak perlu ramai-ramai pergi ke pantai atau pucuk gunung. Masyarakat tidak perlu lari-lari ke atau pencakar langit, atau malah adakan begadang saat subuh hanya untuk melihat hilal yang tentu sangat sulit jika terhalang kabut atau ada asap kapal di pantai dan seterusnya. Yang kita lupakan, halangan-halangan terhadap hilal, sebenarnya sangat mudah ditembus dengan perhitungan, karena pada dasarnya hilal itu ada. Hanya manusialah yang pada masa lalu, belum memiliki cara hitung yang canggih seperti sekarang.
Dengan metode yang dipakai Muhammadiyah, masyarakat tak perlu menduga-duga seputar sosok-sosok petugas pengintip hilal. Masyarakat tidak perlu berpikiran negatif, misalnya nilai ketaatan petugas, nilai kesehatan petugas, atau bahkan keikhlasan petugas saat bekerja. Umat Islam juga tidak lagi mendengar adanya sumpah atas kesaksian-kesaksian petugas di pantai. Tidak ada lagi gontok-gontokan akibat 2 (dua) petugas melihat hilal, sementara belasan yang lain mengaku tidak melihat. Yang berlebihan dan janggal adalah menentukan pola ibadah dengan melalui metode demokrasi. Suara terbanyak. Penglihat terbanyak. Poin yang ingin dicari kira-kira adanya hilal, terlihatnya hilal, atau pengakuan tidak melihat hilal?
Hilal pasti ada. Terlihatnya belum tentu. Mengapa? Karena terlihatnya hilal, tentu banyak hambatan seperti cuaca, kondisi petugas penglihatnya, maupun alat yang digunakan. Namun kalau ukurannya adalah pengakuan penglihat hilal, tampaknya akan menimbulkan banyak keraguan dan tandatanya seperti yang saya tulis di atas. Apakah cara ini bisa dijamin akurasi dan kejujurannya? Wallahua'lam bishawab.
Karena banyaknya keraguan itu, saya jadi ingat penjelasan Ketua Majelis Tarjih dan Majelis Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar, MA. Semangat Alquran dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, sesungguhnya jelas, yakni menggunakan perhitungan. Menggunakan hisab. Allah sendiri, sudah menginformasikan pada umat Islam bahwa matahari dan bulan, beredar menurut perhitungan.
Maka dari itu, meski matahari dan bulan tertutup awan sekalipun, meski matahari dan bulan tak bisa dilihat menggunakan teropong maupun alat elektronik lainnya pun, maka Allah telah memberikan solusi dengan perhitungan itu. Matahari dan bulan, tidak akan hilang dengan adanya awan yang menyelimutinya. Peredaran keduanya, tidak akan berhenti hanya gara-gara manusia gagal meneropongnya. Dan yang pasti, kerutinan gerak dua benda angkasa tersebut, pasti tidak akan berubah hanya gara-gara sekelompok manusia memutuskan bulan tidak terlihat saat Sidang Itsbat.
Ada hal lain yang perlu dicermati bahwa, pelaksanaan Sidang Itsbat cenderung terbukti sebagai bentuk intervensi pemerintah kepada persoalan umat Islam yang seharusnya bebas menjalankan keyakinannya tanpa perlu dipaksa sama. Intervensi semacam ini sangat berbahaya ketika pada saatnya, atas pertimbangan tertentu, seluruh ibadah umat dijadikan komoditi politik, sehingga bisa jadi suatu saat penentuan awal dan akhir Ramadhan, akan digulirkan menjadi Undang-Undang agar semua bisa sama dengan keinginan pemangku kebijakan. Makanya, intervensi yang terus menerus seperti saat ini, sangat berpotensi melanggar konstitusi.
Sidang Itsbat yang terjadi selama ini, juga lebih terkesan anti musyawarah, padahal semangat Sidang Itsbat mestinya musyawarah untuk mufakat. Semestinya Sidang Itsbat adalah forum yang saling menghargai dan menghormati pendapat, serta pandangan yang lain dan berbeda dengan keinginan pemerintah. Seperti Sidang Itsbat tahun lalu, yang masyarakat bisa melihat langsung dari televisi. Kenyataannya, ormas yang dianggap berbeda malah dicaci dan direndahkan, maka nilai sidang itu sebenarnya otomatis hilang. Dalam sidang tersebut, pemerintah bisa saja menghadirkan ahli-ahli atau pakar-pakar. Tentu saja, karena itu bukan forum politik, semestinya harus membawa ghirrah (semangat) Islam, adil dan tabayyun. Sayangnya, ahli yang diundang adalah ahli sesuai keinginnan pemerintah. Akibatnya, apa yang keluar dari mulutnya, bukanlah atas semangat Islam, melainkan semangat kaum pemarah. Tak heran apabila ada kesan, sebenarnya Sidang Itsbat hanyalah forum basa-basi untuk mengumumkan keputusan yang sudah dibuat sebelum sidang. Apabila pemerintah mengumpulkan Ormas hanya untuk mendengarkan caci maki dan pengumuman semata, maka apa urgensinya Sidang Itsbat?
Sungguh sebuah kehebatan apabila Umat Islam di Indonesia mau membuka Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Sungguh sebuah kehebatan pula, apabila Umat Islam berani belajar tanpa harus ketakutan untuk berbeda, hanya karena pemerintah ingin umat bisa bersamanya. Rasulullah sendiri sudah menginformasikan kondisi umat terdahulu dengan seperti itu, sangat lazim apabila kemudian hari, Muhammadiyah lakukan Hisab, karena pada esensinya, tanpa hisab, maka umat Islam tidak akan mampu membuat Kalender Islam buat dirinya sendiri.
Tentu sangat ironi apabila, hanya ingin shalat, ingin pergi haji, ingin berdoa, kita mesti secara manual pergi ke gunung-gunung dan lari pantai hanya untuk memastikan kapan tanggalnya. Wajar saja jika ahli dan penggagas Kalender Islam Internasional, Prof. Dr. Nidhal Guessoum kemudian mengkritik Umat Islam yang tidak segera berhasil menyusun kalendernya sendiri. Umat Islam kalah dengan umat terdahulu yang sudah berhasil menyusun kalender untuk ribuan tahun lamanya.
Sekali lagi, sebagai organisasi yang memiliki tanggungjawab besar, Muhammadiyah telah tegas dan tanpa ragu dengan keputusannya. Muhammadiyah telah ambil sikap yang tidak mungkin berubah, hanya gara-gara keinginan pihak tertentu agar Muhammadiyah mengalah dengan menaruh kebenaran di bawah tekanan kelompok yang tidak mengerti. Maka keputusan Muhammadiyah tidak ikut Sidang Itsbat adalah sebuah keputusan yang berdasar atas kepentingan umat, agar terjadi kemaslahatan dan tidak menimbulkan ketegangan di lingkungan umat, dan dengan itu, maka Muhammadiyah berusaha menjadi solusi atas banyaknya suara atas keraguan yang ada. Langkah Muhammadiyah ini, tentu bukan tanpa belajar dari tahun sebelumnya.
Pelaksanaan Sidang Itsbat, bagi Muhammadiyah tidak lebih banyak manfaat dibanding mudharatnya, sehingga ketidakikutsertaannya dianggap lebih baik bagi Muhammadiyah dan masyarakat banyak, ketimbang dipaksakan ikut namun menimbulkan suasana tidak sehat di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak ingin melihat Muhammadiyah dan Ormas Islam yang lain, dan juga dengan Pemerintah, terlibat keributan dalam sidang hanya gara-gara disebabkan tidak bertemunya antara sikap-sikap dan pandangan konsisten dan kelompok inkonsistensi saat rapat berlangsung.
Kenyataannya, shalat Jumat dan shalat wajib yang rutin, tidak pernah menjadi persoalan serius Pemerintah, maka semestinya penentuan tanggal Ramadhan juga tidak perlu menjadikan persoalan serius Pemerintah, yang dapat berpotensi menimbulkan ketegangan permanen dan keraguan setiap tahunnya. Kalau hanya terkait pengaturan tanggal merah yang dipersoalkan, tentu tidak perlu dikaitkan dengan perlu tidaknya seragam waktu Ramadhan maupun Idul Fitri.
Maka dari itu, dalam himbauannya, Muhammadiyah diantaranya hanya mengajak kepada warga Muhammadiyah untuk tetap berpegang teguh pada hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena adanya potensi berbeda dengan pihak lain, Muhammadiyah pun berharap agar warga Muhammadiyah memahami, menghargai dan menghormati adanya perbedaan itu, serta menjunjung tinggi keutuhan, kemaslahatan, ukhuwah dan toleransi, sesuai dengan keyakinan masing-masing, disertai kearifan dan kedewasaan, serta menjauhkan diri dari sifat yang mengarah pada hal-hal yang bisa merusak nilai ibadah itu sendiri. Dihimbau pula kepada Umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, agar menjadikan Bulan Ramadhan ini sebagai bulan instrospeksi.
Karena keistimewaan Ramadhan, Muhammadiyah juga menghimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah agar menyambut datangnya Ramadhan dengan rasa syukur dan gembira, serta berusaha bersungguh-sungguh untuk menunaikan puasa (shaum) sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tujuannya tidak lain, agar mendapatkan ridha dan karunia Allah SWT, dan dari ibadahnya itu, dapat dipantulkan melalui amalan sehari-hari di tengah masyarakat.
Kepada warga yang belum Muhammadiyah, maka diharapkan bisa menjauhi permusuhan maupun tindakan yang mengarah pada tumbuhnya benih-benih konflik. Khusus untuk industri hiburan, baik melalui media cetak maupun elektronik, dihimbau untuk mengedepankan nilai-nilai moral dan kebaikan. Dihimbau pula agar tidak ada yang mencoba menjual komoditi pornografi dan pornoaksi yang merusak akhlak dan tatanan bangsa, hanya demi meraih keuntungan materi. Sikap positif itu diperlukan, guna menunjukkan penghormatan terhadap hadirnya Ramadhan, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kehidupan bangsa.
Selamat Menjalankan Puasa!
Sumber Detik.com (19 Juli 2012)
Ditulis Oleh : Mustofa B Nahrawardaya (aktivis muda muhammadiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar