PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Minggu, 09 Oktober 2022

KEMISKINAN & TAKDIR TUHAN

Seperti telah saya tulis kemarin, bahwa menjadi miskin tentu bukan keinginan manusia. Kemiskinan selalu saja terkait dengan problem yang terjadi ketika kemiskinan tersebut terjadi. Kemiskinan tentu saja juga bukan pilihan. Manusia dengan kemampuan rasionalitasnya tentu juga tidak ingin menjadi miskin. Kemiskinan semata-mata merupakan bagian dari kehidupan manusia yang memang harus terjadi. Meskipun sekali lagi, kemiskinan tersebut bukan kemauan dan bukan pula keinginan pelakunya.

Tentang keberadaan orang miskin, memang menjadi bagian dari sunnatullah. Di dunia ini memang ada orang yang menempati status sosial ekonomi rendah karena berbagai penyebabnya. Adanya dalil tentang zakat, infaq dan shadaqah yang harus diberikan kepada orang-orang miskin, kiranya bisa menjadi penanda bahwa kemiskinan memang bukan sesuatu yang ahistoris. Sepanjang sejarah kehidupan manusia tentu ada penggolongan sosial yang disebut miskin dan kaya. Mungkin terkecuali ketika manusia belum memasuki ”kawasan” komunitas atau masyarakat. Ketika manusia masih berkelompok sebagai pemburu maka situasi miskin dan kaya seperti sekarang  mungkin belum ada.

Memang Tuhan telah menentukan tentang umur dan rizki. Saya hanya akan membahas selintas tentang kaitan antara takdir dan rizki. Hal ini perlu dibahas, sebab jangan sampai ada pemikiran bahwa seseorang menjadi miskin karena takdir. Memang sudah ditakdirkan menjadi miskin. Takdir atau bahasa kesehariannya disebut sebagai ketentuan Tuhan tentu saja bisa diketahui setelah berbagai macam upaya dilakukan dan ternyata hasilnya seperti itu. Takdir terkait dengan hasil usaha yang sudah diketahui. Takdir tentang rizki memang menjadi ”kewenangan” Allah untuk menentukannya. Besaran rizki adalah ”wewenang” Allah untuk menentukannya.  Namun demikian, untuk mencapai besaran rizki, maka seseorang harus melakukan upaya untuk mencapainya.

Jadi, ada relasi antara usaha atau ikhtiyar dengan perolehan rizki seseorang. Seseorang yang berpangku tangan atau menganggur tentu tidak akan memperoleh apapun kecuali belas kasihan orang. Bahkan juga sangat mungkin, dia tidak memperoleh apapun karena ketiadaan usaha tersebut. Itulah sebabnya Allah menganjurkan agar seseorang berusaha sekeras-kerasnya agar memperoleh dunianya.  Bukankah terdapat hadist Nabi yang sangat populer bahwa ”bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya.”  Manusia harus berusaha untuk menghadapi kehidupan dunianya.

Untuk berusaha, maka dibutuhkan tiga hal utama, yaitu: kemampuan akal, kemampuan fisik dan struktur sosial yang mendukung akses ”keduniawian” tersebut. Melalui kemampuan akal, kecerdasan, pendidikan, keahlian atau profesionalitas, yang didukung oleh kesehatan fisik yang memadai serta didukung oleh struktur sosial yang memberi peluang untuk berusaha, maka dimungkinkan bahwa seseorang akan mampu berkembang dalam mengakses kehidupan duniawi.  

Untuk memahami tentang pentingnya struktur yang memberi peluang bagi pengentasan kemiskinan adalah apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Dukungan struktur yang baik terhadap kemungkinan akses ekonomi, ternyata bisa menjadi jalan keluar dari masalah kemiskinan. Dengan pemberian modal yang sesuai dengan kebutuhan mereka, maka mereka bisa mengakses perekonomian yang selama ini tertutup.

Nah jika demikian halnya, maka menjadi miskin bukan semata-mata takdir Tuhan yang bersangkutan untuk menjadi miskin, akan tetapi karena faktor duniawi yang memang mengharuskannya menjadi miskin. Seseorang yang tanpa pendidikan, keahlian, profesionalitas tentu akan memiliki akses yang berbeda dengan yang memilikinya. Seseorang yang hanya berpangku tangan juga tidak akan memperoleh apapun ketika yang bersangkutan berharap. Maka harapan, usaha dan kepastian ukuran hasilnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Dengan demikian, ketika memaknai takdir  kemiskinan, maka harus juga diperhatikan faktor-faktor pendukung terhadap keberlangsungan kemiskinan tersebut. Dengan penjelasan ini, kita tentu juga masih bisa bertanya apakah kemiskinan itu takdir Tuhan.

Wallahu a’lam bi al shawab…

____________________________________________________

Sumber : http://nursyam.uinsby.ac.id (Prof. DR.Nur Syam, M.Si)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar