Perasaan seperti inilah yang di dunia tasawuf dikenal sebagai istilah thulul ‘amal. Kata Thul artinya “panjang”, sedangkan ‘amal artinya angan-angan. Secara makna harfiyah ataupun dalam pandangan masyarakat pada umumnya memang tidak ada masalah.
Perasaan bahwa kehidupan dunia akan bertahan lama adalah penyakit yang paling berbahaya bagi manusia. Sebab, perasaan yang seperti inilah yang membuat manusia terjerumus dalam kemaksiatan. Dengan memiliki perasaan akan hidup lama membuat mereka lupa akan mati, lupa akan taubat, serta lupa akan akhirat. Imam al-Ghazali menyebutkan, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan manusia selalu berbuat kemaksiatan, yaitu merasa ajalnya masih lama dan merasa bahwa banyak orang yang sepadan dengan dirinya atau bahkan lebih buruk dari dirinya. Dua perasaan inilah yang paling berpengaruh dalam membuat manusia ringan tanpa beban dalam melakukan maksiat, sekalipun mereka juga tau akan balasan kelak di akhirat.
Sebuah nasehat sufistik mengatakan, “Begitu banyak orang memikirkan bagaimana dia hidup, tapi jarang sekali yang memikirkan dia mati.”
Selain itu, perasaan seperti ini yang membuat manusia terjerumus ke dalam hidup yang cenderung materistik. Sebab, satu-satunya konsepsi masa depan yang tumbuh dibenaknya adalah hal duniawi. Perasaan ini sangat berbahaya bagi sepritual manusia. Kerena akan menimbulkan kecintaan terhadap dunia yang membuat manusia lupa akan akhirat. Dalam urusan dunia mereka cepat-cepat sedangkan dalam urusan akhirat mereka menunda-nunda.
Oleh sebab itu, Imam Abdullah al-Haddad menyatakan dalam Nashoihu ad-Diniyah:
مِنْ أَضَرِّ الْاَشْيَاءِ عَلىَ الْاِنْسَانِ طُوْلُ الْاَمَلِ
“Diantara hal yang paling berbahaya bagi ummat manusia adalah thulul-amal.”
Impian yang panjang (thulul ‘amal) akan menghalangi manusia untuk mengingat kematian. Padahal, secara logika, siapa yang tau akan waktu yang akan datang atau waktu esok. Waktu yang lewat adalah sejarah, yang sekarang adalah anugerah, dan waktu yang akan datang adalah misteri. Sebab, tidak ada yang tau kapan seseorang akan mati. Kondisi apapun tidak menjadi acuan akan datangnya kematian. Kematian akan datang kapanpun sesuai takdir tuhan. Memiliki impian yang panjang membuat manusia lupa akan hal tersebut.
Imam Abdullah al-Haddad membagi manusia ditinjau dari kecederungan mereka terhadap kematian menjadi tiga kelompok.
Pertama, para nabi dan kaum shiddiqin. Mereka berada ditingkat teratas dalam hal selalu mengingat kematian dan nihil angan kehidupan. Mereka adalah golongan yang tidak memiliki angan-angan kehidupan duniawi sama sekali. Mereka senantiasa menyadari hadirnya kematian dalam setiap waktunya. Semangat mereka akan akhirat berada di titik paling puncak. Bahkan seandainya mereka mendapatkan imformasi dari malaikat bahwa akan mati besok, maka semangat mereka terhadap amal akhirat sudah tidak mungkin bertambah lagi, kerena sudah mencapai seratus persen.
Kedua, orang-orang saleh. Mereka memiliki angan-angan kehidupan duniawi yang minim, sehingga tidak sampai menyababkan mereka lalai akan urusan akhirat. Mereka senantiasa bersiap menjemput ajal, akan tetapi tidak terus-menerus merasakan hadirnya kematian. Mereka belum memiliki hati yang kuat untuk senantiasa merasakan kematian dalam setiap waktunya, seperti yang dialami oleh para nabi dan kaum shiddiqin. Angan-angan kehidupan dalam batas wajar seperti inilah, dalam istilah tasawuf disebut dengan qoshrul ‘amal (angan-angan kehidupan yang minim).
Ketiga, orang-orang yang tertipu. Merekalah kelompok thulul ‘amal yang membuat mereka lupa akan kematian dan akhirat. Walaupun dalam pikiran mereka sempat terlintas perihal kematian, maka mereka buru-buru menghilangkannya dangan cara menjelajahi pikiran dan perasaan dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu. Ada ulama yang mengatakan, “Seandainya orang semacam ini memiliki dunia dan seisinya (saat datangnya ajal), maka dia pasti rela mengorbankan seluruh hartanya untuk membeli penundaan ajal dalam satu jam saja, agar bisa bertaubat kepada Allah.” Namun, saat itu pintu taubat sudah ditutup.
Menurut Imam Abdullah al-Haddad, ketika ada orang yang menghabiskan waktu dan potensinya untuk membangun kahidupan duniawi, sehingga dia lupa sama sekali khidupan akhirat, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, sebenarnya dia percaya akan kematian dan akhirat, namun kepercayaan itu tertutupi oleh tebalnya angan-angan kehidupan duniawi (thulul amal) yang bersarang di pikirannya. Kemungkinan kedua, dia memang tidak terlalu yakin dengan keberadaan akhirat dan pembalasan amal. Tipe kedua ini sudah masuk dalam golongan orang-orang kafir. Wal-‘iyadzu billah.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebutkan, faktor utama munculnya perasaan seperti ini adalah kecintaan terhadap hal duniawi. Cinta dunia membuat manusia memiliki impian yang panjang sehingga membuat mereka lupa akan kematian. Semakin besar rasa cinta terhadap dunia, maka semakin lupa pula akan akhirat. dunia dan akhirat memang tidak bisa disatukan. Satu sama lain saling bertolak belakang. Harus ada satu dari keduanya untuk menjadi pilihan.
Kendati demikian, Imam Ghazali juga membarikan tips agar tidak memiliki pesaan seperti ini. Menurutnya, obat yang manjur dalam mengobati penyakit ini adalah memperbanyak mengingat kematian. Semakin banyak seseorang mengingat kematian dan akhirat, maka semakin sedikit pula angan-angan kehidupan duniawinya. Wa Allahu A’lam
________________________
Sumber : https://www.al-ummah.net/bahaya-thulul-amal-menurut-tasawuf/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar