Jika seluruh alam semesta lengkap dengan isinya tunduk pada Sang Maha Pencipta, maka bagaimana posisi manusia—dalam perannya sebagai khalifah fil ardh—yang enggan tunduk pada-Nya?
Sempurna, dalam perspektif ketuhanan, memang tak terbatas. Kamil (baca: sempurna) hanya dianugerahkan-Nya pada insan yang pantas menerima sebab keluruhan budi pekertinya, yakni baginda Rasulullah SAW (QS Al-Ahzab: 21).
Insan kamil sendiri diartikan sebagai manusia nan sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan sempurna adalah sempurna dalam ibadah dan penghidupannya. Dan seseorang dapat dianggap sempurna jika ia memiliki kriteria tertentu.
Kriteria tersebut dimiliki oleh manusia-manusia biasa yang mau berusaha untuk menjadi ‘luar biasa’ di hadapan Tuhannya. Mereka—terlepas dari para sufi, dai, ustaz, kai, atau orang biasa sekalipun—pada hakikatnya mampu meneladani segala teladan Rasulullah, jika ia meyakini Allah sebagai Rabb-nya, Alquran sebagai pedoman hidupnya, dan menjadikan Muhammad SAW sebagai sebaik-baiknya insan yang patut diteladani.
Jejak hidup Rasulullah SAW pun sudah terhimpun menjadi sebuah bacaan dari beragam sudut pandang. Tak terhitung berapa banyak sudah sirah nabawiyah yang mengulas lebih dalam baik kesahajaan, kehebatan, kesempurnaan, maupun keseharian beliau yang memang jauh dari kemewahan, namun menempati posisi mewah di hadapan Rabb-nya.
Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat. Karena segala sifat terpuji yang terhimpun dalam dirinya merupakan lautan budi pekerti yang tak pernah kering. Itulah cerminan abadi yang patut diteladani umat Islam, untuk meraih insan kamil.
Untuk dapat meraih derajat insan kamil, biasanya seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan para sufi pun lebih menonjolkan segi rohani dan spiritual.
Tentu prinsip ajarannya sesuai dengan tuntunan yang telah termaktub dalam Quran maupun hadits. Hasan Al-Basri, seorang sufi yang menuangkan prinsip khauf (takut) dan raja’ (pengharapan), juga Rabiah Al-Adawiyah, sufi wanita yang mencetuskan konsep mahabbah (cinta) pada Allah, adalah dalam upaya mencapai derajat insan kamil dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, bukan yang lain.
Tiada manusia yang sempurna. Begitu ungkapan yang sering kita dengar. Betul bahwa tiada manusia yang sempurna. Kita dianugerahi kekurangan agar dapat saling melengkapi antarmanusia lainnya.
Namun hakikatnya, semua manusia mampu berusaha untuk tidak menempatkan dunia sebagai tujuan, namun sebagai pemenuhan totalitas amalan ukhrawi yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Menyisihkan kepentingan dunia bukan berarti mengabaikan apalagi ‘meninggalkan’ kewajiban duniawi. Namun lebih dari itu, meneladani potret insan kamil ialah dengan menyeimbangkan kehidupan dunia, tempat kita beramal shaleh sebagai bekal akhirat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Qashash: 77).
________________________
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/01/12/mgi8j5-meneladani-insan-kamil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar