Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT itu tidak melihat kalian dari rupa dan harta-harta kalian, namun Allah SWT melihat kalian dari hati-hati dan amal-amal kalian" (HR Muslim).
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ukuran kebaikan dan ketakwaan seseorang tidak dilihat dari bentuk, rupa maupun harta seseorang, melainkan dilihat dari hati orang tersebut. Sehingga belum tentu seseorang yang 'bentuk badan dan rupanya' baik dan ganteng, atau yang cantik lebih baik dari seseorang yang dari bentuk fisiknya tidak ganteng ataupun tidak cantik.
Demikian juga belum tentu seseorang yang memiliki harta yang lebih banyak ia lebih mulia (di sisi Allah) dibandingkan dengan seseorang yang hartanya sedikit. Namun kadar 'kebaikan' seseorang dilihat dari kebaikan hati orang tersebut. Sisi pandang Allah SWT terhadap manusia berbeda dengan sisi pandang manusia terhadap dirinya sendiri.
Karena kebanyakan manusia bersikap 'materialis' dalam memandang sesuatu; menilai seseorang dari 'uang' dan 'rupa'nya saja. Padahal seringkali bentuk 'lahiriyah' ini menipu banyak orang; sehingga bukan kebahagiaan yang diraih, namun ternyata justru kesengsaraan.
2. Sedangkan Allah SWT, menilai sesuatu dari 'hakikat' manusia itu sendiri, yaitu hati. Karena hati ini merupakan 'sentra' dari keseluruhan manusia; yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya, dan jika ia buruk maka buruk pula seluruh jasadnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Dari Nu'man bin Basyir RA, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa dalam diri manusia ada sekerat darah; yang apabila ia baik maka baik pula seluruh dirinya, dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh dirinya. Ketahuilah bahwa sekerat darah itu adalah hati." (HR Bukhari). Sehingga bertolak dari hadis ini, hendaknya manusia tidak 'silau' dengan sisi gemerlapnya seseorang, namun lebih lanjut harus berusaha bersikap menghargai manusia dengan 'hati'nya, dan bukan dari rupa dan hartanya saja.
3. Bahwa walaupun hakikat kebaikan manusia bersumber dari hati bukan berarti bahwa manusia tidak perlu beramal kebaikan secara lahiriyah. Karena seringkali manusia menjadikan ini sebagai 'tameng' kemalasannya dalam beramal.
Menurut mereka, 'biar tidak salat dan tidak puasa, yang penting hatinya baik.' Pandangan seperti ini merupakan pandangan yang bertolak belakang dari pengertian hati yang baik. Karena salah satu karakter mendasar hati yang baik adalah 'tingkah laku' yang baik pula. Karena tidak mungkin seseorang yang berhati baik bertingkah laku tidak baik.
Demikian juga sebaliknya, tidak mungkin hati yang buruk mereflesikan perbuatan yang baik. Kalaupun ada biasanya hanya berupa kepura-puraan saja, atau intensitasnya yang sangat rendah. Sehingga dari pemahaman seperti ini, hati yang baik selalu memiliki ciri pada tingkah laku yang baik pula. Oleh karena itulah seseorang hendaknya berusaha untuk dapat memiliki akhlak yang baik.
4. Hadis ini juga secara tidak langsung menganjurkan seseorang untuk beramal saleh. Karena amal saleh merupakan salah satu 'usaha' untuk mengasah hati menjadi hati yang baik. Dalam Al Qur'an Allah berfirman, "Barang siapa yang berusaha berpengang teguh pada tali Allah, maka sungguh ia telah diberi hidayah pada jalan yang lurus" (QS Ali Imran (3): 101).
Tempatnya hidayah dalam diri manusia adalah hati. Dan hati yang mendapat hidayah adalah hanya hati yang baik. Sedangkan untuk menuju hati yang baik adalah dengan cara mengasahnya dengan amal shaleh, yang disitilahkan dalam ayat di atas dengan 'berpegang teguh pada tali Allah'. Karena ukuran amal saleh adalah amal yang dipandang baik oleh Allah, dan bukan oleh segelintir manusia. Semoga Allah SWT berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang berhati baik. Amiin. Wallahu a'lam bis shawab.
*) Rikza Maulan Lc M Ag adalah Sekretaris Dewan Pengawas Syariah – PT Asuransi Takaful Keluarga.
(ramadan.detik.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar