Membunuh manusia bagi Raskolnikov bukan kejahatan, tapi hanya satu tindakan yang harus dipilihnya agar Sonia punya alasan untuk tidak menyukainya. Namun, kekasihnya itu justru tetap menyukainya meskipun sepanjang hidupnya menyesalkan tindakan pembunuhan yang dilakukan Raskolnikov itu sebagai sebuah kebodohan. Dalam pandangan Sonia, membunuh bukan sebuah kejahatan kemanusiaan, tetapi sebuah kebodohan yang layak disesalkan, karena Sonia dibutakan oleh rasa cintanya kepada Raskolnikov.
Sebaliknya, perasaan cinta yang hebat kepada Sonia membuat Raskolnikov memutuskan membunuh Lazaveta, karena hanya dengan jalan itu dia menyakini Sonia akan menolaknya sehingga dia akan bertemu jodoh lain yang lebih bagus dan hidup bahagia.
Raskolnikov adalah rekaan Fyodor Dostoyewsky, seorang sastrawan Rusia, yang menulis novel Kejahatan dan Hukuman ini. Di dunia nyata, ada banyak manusia seperti Raskolnikov. Di sekitar kita, ada banyak manusia yang lebih keji dan kejam dibandingkan Raskolnikov. Mereka, bahkan, tak membunuh secara langsung, tapi pelan-pelan. Orang yang dibunuh pun tak menyadari pembunuhan atas dirinya, dan malah mendukung usaha pembunuhan terhadap dirinya.
Untuk yang terakhir ini, kita bisa mengikuti sejarah kolonialisme. Di negara kita, meskipun kolonialisme Belanda sudah hengkang sejak tahun 1950 --pascarevolusi fisik yang ditandai dengan berakhirnya agresi militer kedua-- masih banyak warga bangsa yang memuja-puja Belanda. Mereka hidup nyaman saat Belanda berkuasa seperti para amtenaar, atau malah pejabat militer di KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger).
Di rumah-rumah tua dari keluarga raja-raja kecil di berbagai belahan negeri ini, sering dijumpai potret hitam-putih para keluarga raja, atau sertifikat-sertifikat yang dipajang di dinding dan pada sertifikat itu ada lambang Kerajaan Belanda. Para penghuni rumah itu selalu memuja Belanda sebagai "malaikat", karena leluhur mereka menjadi raja pada masa kekuasaan Belanda, dan hidup mereka menjadi terhormat padahal sebelumnya mereka bukan siapa-siapa di lingkungannya.
Memuja-muja penjajah sebagai "malaikat" dapat menimbulkan konflik. Revolusi sosial yang terjadi di Sumatra Utara salah satu contohnya. Ketika Allied Forces Nederland East Indie (AFNI), divisi milik Sekutu yang bertugas menerima penyerahan Jepang kepada Indonesia di bawah komando Brigjen T.E.D Kelly, mendaratkan kapal perangnya di Belawan, dari lambung kapal itu, ternyata, tidak hanya AFNI yang keluar, tapi juga NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
NICA adalah organisasi pemerintahan sipil yang dibentuk Belanda. NICA kemudian menghubungi para sultan di Deliserdang, menjanjikan akan kembali memberi mereka kemewahan hidup yang pernah hilang di zaman Jepang, tetapi mereka harus membantu Belanda menguasai kembali Sumatra Timur. Rakyat tidak menerima sikap para sultan, lalu meledak revolusi sosial yang membunuh keluarga para sultan, termasuk penyair Amir Hamzah.
Kita juga bisa menjejerkan daftar para koruptor, apalagi mereka yang sebelumnya berasal dari kalangan elite di negara ini. Sebut saja para wakil rakyat di DPR, mereka yang kemudian menjadi tersangka hingga terpidana dalam kasus korupsi, sesungguhnya adalah para pembunuh yang lebih kejam dibandingkan Raskolnikov.
Dengan kekuasaan untuk melegislasi peraturan perundang-undangan, para wakil rakyat merencanakan pembunuhan besar-besaran terhadap seluruh warga bangsa. Mereka menginisiasi revisi peraturan perundang-undangan agar lebih mengakomodasi kepentingan dirinya dan kelompoknya. Meskipun sadar dampaknya akan menyengsarakan dan membunuh rakyat, wakil rakyat bergeming dengan keputusannya, lalu tujuan utama dikristalisasi lewat negosiasi dan tawar-menawar kepentingan dengan eksekutif.
Peraturan perundang-undangan yang dilegislasi, terutama yang berkaitan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi, pada kenyataannya adalah dokumen berisi perjanjian pembunuhan rakyat secara pelan-pelan. Sejak pembahasan awal APBN maupun APBD dikomunikasikan untuk kepentingan rakyat agar terbangun tata simbolik yang stabil di dalam diri rakyat, namun pada kenyataannya, APBN maupun APBD hanya memuat daftar kepentingan anggota legislatif yang sudah diakomodasi atas nama publik konstituen. Satu per satu anggota legislatif kemudian ditangkap karena korupsi. Modusnya tak pernah jauh dari masalah bancakan anggaran dalam APBN maupun APBD.
Semua angka yang tertera dalam APBN maupun APBD, yang dipersiapkan untuk menjawab visi dan misi Presiden maupun Kepala Daerah dalam bentuk program-program kerja di kementerian dan lembaga, sudah distempel sebagai milik elite partai-partai politik tertentu. Kepemilikan diatur sejak penataan kabinet, bahwa menteri dari partai A akan menyerahkan semua urusan pengelolaan anggaran di kementeriannya kepada wakil rakyat di DPR yang berasal dari partai A
Kejahatan korupsi di negeri ini biasanya dilakukan berjamaah. Bila dalam berjamaah itu ternyata para koruptor tidak berasal dari partai yang sama, maka hubungan di antara mereka beririsan ketika mereka berasal dari alat kelengkapan DPR (komisi) yang sama. Para pelaku kejahatan itu pun biasanya bukan orang jahat berhati kejam dan penuh dendam, tapi mereka yang sering tampil di hadapan publik sebagai seorang agamis, seorang hakim yang adil, dermawan yang rutin menyumbang hartanya ke panti sosial, atau pejabat negara yang santun dan dikenal luas sebagai orang yang sangat baik.
Lantaran latar belakang para koruptor adalah orang baik-baik, kita semakin permisif atas perilaku kejahatan korupsi. Tak jarang terdengar, orang yang terlibat dalam korupsi dan tidak ikut menikmatinya, yang biasanya berasal dari lingkungan bukan elite, digiring sebagai terdakwa kemudian jadi terpidana. Publik memberi pembelaan, bahwa orang-orang seperti itu telah dikorbankan, seakan-akan mereka hanya tumbal dalam kejahatan yang sebetulnya dilakukan oleh orang lain. Proses penegakan hukum kemudian dikritisi sebagai hanya mampu menangkap "ikan-ikan kecil", tapi tidak kuasa menjaring "ikan-ikan bebar".
Gatot Pudjo Nugroho, mantan Gubernur Sumatra Utara yang divonis sebagai koruptor, pernah menjadi saksi dari sejumlah anggota legislatif yang jadi tersangka atas kasus korupsi yang sama. Di hadapan para jaksa, Gatot yang sejak awal karier sebagai Wakil Gubernur Sumatra Utara --menggantikan Gubernur yang terpaksa berhenti karena korupsi-- dicitrakan oleh partai politiknya sebagai "orang bersih" dan bebas dari segala bentuk kejahatan korupsi, mengatakan bahwa ada "uang ketok" yang mesti disetorkan bila legislatif di DPRD Sumatra Utara ingin melegislasi sebuah peraturan daerah yang menyangkut penggunaan uang rakyat.
"Uang ketok" adalah ongkos yang harus dibayarkan eksekutif kepada legislatif, seakan-akan pekerjaan melegislasi peraturan daerah adalah pekerjaan tambahan bagi legislatif yang berkaitan dengan profesionalisme wakil rakyat, dan tarifnya harus dinegosiasikan antara legislatif sebagai pemilik jasa legislasi dengan eksekutif selaku penerima jasa legislasi.
Kejahatan korupsi berlangsung sistemik. Ini tak hanya terjadi di Sumatra Utara, di daerah yang indeks korupsinya selalu lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Kejahatan korupsi yang sistemik ini patut disesalkan, karena ini membuktikan bahwa martabat telah hilang dari berbagai lini dalam masyarakat kita, entah itu di pemerintahan, legislatif, entah peradilan.
Rumus "jilat atas, injak bawah" cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan autentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
_____________________
Oleh : Budi Hatees peneliti di Sahata Institute, tinggal di Sipirok, Tapanuli Selatan
Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5230212/kejahatan-orang-baik-baik 27102020
Upload : by_Cak1 (@Jkt 27102020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar