Musuh terbesar manusia adalah ketidaktahuannya sendiri. Ketidaktahuan
inilah yang akan terus menggoda manusia untuk membuat cerita-cerita
fantastis tentang dirinya, sesamanya, dan juga lingkungan sekitarnya.
Kecenderungan ini ada di setiap masa, dengan konteks dan spektrum yang
berbeda.
Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang manusia tentang dirinya
sendiri kita sebut sebagai sikap delusional atau waham kebesaran. Cerita
fantastis yang dibuat oleh seorang manusia tentang sesamanya kita sebut
sebagai gosip. Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang atau
sekelompok orang tentang lingkungan sekitarnya kita sebut sebagai mitos.
Di balik cerita-cerita megah dan fantastis itu sebenarnya terdapat
ketidaktahuan yang coba ditutupi dengan cerita khayal dan fantasi liar.
Untuk memahami sebuah peristiwa atau gejala alam yang tidak mampu ia
pahami, misalnya, manusia membuat penjelasan yang paling sederhana yang
sesuai dengan keyakinan personalnya. Dari situ kemudian lahir
mitos-mitos yang belakangan berguguran setelah terbantah oleh
temuan-temuan ilmiah.
Dulu, misalnya, nenek moyang kita percaya bahwa gerhana bulan itu
terjadi karena bulan dimakan oleh sesosok makhluk bernama Batara Kala.
Lalu muncul keyakinan turunan: jika sedang terjadi gerhana, kita tidak
boleh keluar rumah. Persis seperti inilah sikap dan pandangan sebagian
umat beragama dalam menghadapi virus corona.
Virus, meskipun memilik efek kausal yang jelas, merupakan entitas
biologis yang tak terlihat oleh mata telanjang. Untuk melihatnya, kita
memerlukan alat. Ketakterlihatan oleh mata telanjang inilah yang
menyisakan lubang ketidaktahuan bagi orang awam. Maka, untuk menutupi
lubang ketidaktahuan itu, mereka mencari satu penjelasan yang paling
sesuai dengan apa yang sudah diyakininya. Orang-orang beragama,
misalnya, akan memilih penjelasan yang didasarkan pada agama.
Hal tersebut sudah terbukti. Salah seorang penceramah dalam satu
kesempatan bilang bahwa corona adalah tentara Allah. Tentu pernyataan
ini tidak benar, tetapi tetap saja disampaikan, sebab ia sesuai dengan
keyakinan personal sang penceramah.
Sebab, jika memang benar bahwa corona adalah tentara Allah, maka tentu
ia hanya akan menyerang musuh-musuh Allah. Namun, faktanya, wabah ini
menyerang siapa saja, tak peduli apa suku dan agamanya. Apakah umat
muslim seperti di Iran, Arab Saudi, Bahrain, Malaysia, dan juga
Indonesia yang terkena corona juga termasuk musuh Allah? Tentu akan
sangat menyakiti sesama muslim jika penceramah tersebut berani menjawab
'iya'.
Terlepas dari soal etis atau tidak dalam melabeli seseorang sebagai
musuh Allah, hal yang sangat memilukan dari pernyataan tersebut adalah
ketiadaan sikap ilmiah: sebuah sikap yang lebih menghargai upaya empiris
dan rasional daripada praduga-praduga simplistik yang serampangan dalam
menjelaskan dan menyelesaikan persoalan. Karena tiadanya sikap ilmiah
inilah, kemudian muncul pernyataan-pernyataan lain yang lebih konyol,
seperti corona adalah azab Allah atau corona bisa ditangkal dengan doa
qunut.
Itulah sikap antisains yang bisa jadi justru lebih berbahaya daripada
corona itu sendiri. Sikap antisains lainnya yang ditunjukkan oleh
sebagian umat beragama belakangan ini adalah sikap tidak takut corona.
Mereka memiliki keyakinan teologis bahwa siapa pun yang akan terinfeksi
virus itu sudah ditentukan oleh Allah, sehingga kita tidak perlu takut
pada virusnya tetapi takutlah pada Allah.
Pada tingkat keyakinan, pandangan tersebut mungkin saja dibenarkan,
sebab di dalam teologi sendiri memang ada beragam pandangan, yang salah
satunya adalah pandangan fatalistik seperti itu. Namun, keyakinan
tersebut akan menjadi satu hal yang sangat berbahaya saat diturunkan
pada tingkat tindakan: orang-orang ngeyel dengan imbauan untuk
menghindari keramaian dan malah berkumpul dalam jumlah ribuan untuk doa
bersama atau kegiatan keagamaan lainnya. Alasannya: "Virus adalah
ciptaan Allah. Kami tidak takut pada virus, kami hanya takut pada
penciptanya, yaitu Allah."
Kebebalan yang dibungkus dengan narasi teologis dalam menyikapi virus corona itu mengingatkan saya pada novel The Plague
(1948). Novel yang ditulis oleh Albert Camus ini bercerita tentang Kota
Oran yang diserang wabah mematikan. Setidaknya ada dua tokoh penting
dalam novel ini, yaitu Dokter Bernard Rieux dan Pastur Paneloux.
Sebagai seorang dokter, Rieux tentu merespons wabah yang menyerang
banyak orang dan hewan itu dengan sikap ilmiah. Selain melakukan
upaya-upaya medis, Rieux juga mendesak pemerintah untuk mengambil
tindakan tegas guna menghentikan penyebaran wabah. Paneloux, sebagai
seorang pastur, malah berkhotbah dan mengajak umatnya untuk banyak
berdoa.
Dalam salah satu khotbahnya, Sang Pastur itu bahkan berkata:
Saudara-saudaraku! Bencana mencengkeram kota kita karena memang sepantasnyalah Anda sekalian mendapatkan kemalangan itu.
Pertama-tama bencana itu muncul dalam sejarah ialah untuk menyerang
musuh-musuh Tuhan. Fir'aun memerangi takdir Yang Kuasa, kemudian wabah
membuat dia bertekuk lutut. Sejak permulaan sejarah dunia, bencana Tuhan
mengalahkan orang-orang yang angkuh dan buta terhadap ajaran-Nya.
Renungkanlah itu baik-baik serta berlututlah kalian!
Dia adalah pastur yang sangat disegani. Saat khotbah tersebut
disampaikan, penduduk kota memenuhi ruangan gereja, bahkan sampai tumpah
hingga di halaman depan serta anak-anak tangga paling bawah. Begitu
Sang Pastur berkata, "Berlututlah kalian!", beberapa orang bahkan
langsung meluncur dari kursi mereka untuk berlutut sebagai tanda
penyesalan atas dosa-dosa.
Namun, setelah khotbah itu, wabah tidak juga mereda. Bahkan satu bocah
tanpa dosa meninggal karenanya. Di situ Dokter Rieux semakin jengkel
dengan Pastur Paneloux yang terus-menerus berkhotbah bahwa wabah adalah
azab Tuhan untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan setelah kematian bocah
tanpa dosa itu, Pastur Paneloux masih saja berapologi dalam khotbahnya
bahwa kematian tersebut adalah ujian keimanan.
Beberapa saat setelah itu, Sang Pastur sendiri yang sakit. Tetapi, dia
menolak untuk memanggil dokter, dan hanya pasrah pada Tuhan, dan
akhirnya dia pun meninggal. Tentu saja dia orang suci dan bukan musuh
Tuhan dan kita juga tidak tahu iman siapa yang sedang diuji saat dia
sendiri yang meninggal.
Jika Sang Pastur itu dianggap meninggal karena wabah, maka yang
membunuhnya sebenarnya bukan wabah, melainkan sikapnya sendiri yang
menjauhi sikap ilmiah. Saya berharap itu tidak terjadi pada masyarakat
Indonesia, masyarakat yang menaruh kepercayaan tinggi pada agama.
Memang tidak ada yang salah dengan berdoa. Hanya saja, untuk hal-hal
yang sekiranya masih bisa diupayakan oleh daya manusia, kita tak perlu
bikin repot Tuhan yang telah memberi kita akal agar menjadi makhluk
terbaik di antara makhluk-makhluk-Nya. Sikap ilmiah adalah upaya untuk
menggunakan akal sampai pada batas terjauhnya.
Jadi, dengan sikap ilmiah, kita sebenarnya ingin memastikan bahwa Tuhan menciptakan akal tidak sia-sia.
___________________________Ditulis oleh : Taufiqurrahman peneliti di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics
Source : https://news.detik.com/kolom/d-4953578/wabah-dan-sikap-ilmiah
Update by Cak1 @ Jkt 26032020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar