Dari kecil, istilah ‘Sedulur Papat Limo Pancer‘
sudah akrab di telinga saya. Terminologi ini merupakan bukti luasnya
falfasah Jawa yang tak kalah enigmatis dan ilmiah dibandingkan ilmu-ilmu
modern era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
Masalahnya, orang Jawa, Nusantara, tidak mencari rumusan epistomologi,
ontologi, dan aksiologinya, namun justru hanyut dalam gelombang
pembidahan, penyirikan, dan pengafiran nilai-nilai, tradisi, dan budaya
khas Nusantara itu.
Jika dianalisis, Jawa itu tidak sekadar adiluhung, namun sangat ilmiah.
Namun dalam kajian perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, ada upaya
para ilmuwan “meninabobokkan” hal itu. Buktinya, peradaban Jawa Kuno
atau Nusantara Kuno tidak sering bahkan tidak pernah disebut dalam ilmu
modern. Adanya, hanya Yunani Kuno, Mesir Kuno, China Kuno. Di mana Jawa
atau Nusantara Kuno tersebut?
Hal itu diperkuat saat saya dan teman akademisi meneliti Kidung Wahyu Kolosebo
karya Kanjeng Sunan Kalijaga. Belum saya temukan rujukan asli, valid,
dan secara kualitas mampu menerjemahkan mahakarya Raden Mas Said
tersebut. Padahal, Kidung Wahyu Kolosebo ini sangat luar biasa yang sekarang justru jadi komoditas pentas dangdut.
"Selain Wahyu Kolosebo, ada kidung lain karya Sunan Kalijaga yang memuat
istilah Sedulur Papat Kelimo Pancer pada kurun abad 15-16. Dalam Suluk Kidung Kawedar, Kidung Sarira Ayu, pada bait 41 dan 42 tertulis Sedulur Papat Kelimo Pancer".
Bunyinya; Ana kidung akadang premati//Among tuwuh ing
kuwasanira//Nganakaken saciptane//Kakang kawah puniku//Kang rumeksa ing
awak mami//Anekakaken sedya//Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika//Kang
mayungi ing laku kuwasaneki//Anekaken pangarah//Ponang getih ing rahina
wengi//Angrowangi Allah kang kuwasa//Andadekaken karsane//Puser
kuwasanipun//Nguyu uyu sambawa mami//Nuruti ing
panedha//Kuwasanireku//Jangkep kadang ingsun papat//Kalimane pancer wus
dadi sawiji//Nunggal sawujudingwang.
Dalam lisanul jawi (lisan orang Jawa), secara leksikal, dapat
diartikan ke dalam beberapa poin. Pertama, ada nyanyian tentang saudara
kita yang merawat dengan hati-hati. Memelihara berdasarkan kekuasaannya.
Apa yang dicipta terwujud. Ketuban itu menjaga badan saya. Menyampaikan
kehendak dengan kuasanya. Adik ari-ari tersebut memayungi perilaku
berdasar arahannya.
Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya.
Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya.
Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya
sebagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini.
Dus, apakah ini syirik? Sangat konyol jika tak berbasis riset, kita
membidahkan kidung ini.
Epistemologi Sedulur Papat
Secara bahasa, ada yang menyebut Kiblat Papat Limo Pancer, Sedulur Papat Limo Pancer Kakang Kawah Adi Ari-ari.
Pemaknaan istilah ini tidak bisa sembarangan karena sangat enigmatis
dan penuh misteri, bahkan banyak kaum intelektual hanya menyebut sebagai
mitos. Apakah demikian? Jelas tidak.
Adi (2018) menerjemahkan secara ilmiah ke dalam beberapa bagian. Pertama, kakang kawah atau air ketuban. Kedua, adi ari-ari atau ari-ari. Ketiga, getih atau darah. Keempat, puser atau pusar. Kelima, pancer, yang berarti kita sendiri sebagai pusat kehidupan ketika dilahirkan.
Ketika sang jabang bayi lahir ke dunia melalui rahim ibu, maka semua
unsur-unsur itu keluar dari rahim ibu. Dengan izin Tuhan, unsur ini
menjaga manusia yang ada di bumi saat dilahirkan. Orang Jawa di dalam
doa sering menyebut untuk mendoakan pejaga yang tidak tampak ini (kakang kawah, adi ari-ari, getih dan puser).
"Sedulur papat juga dimaknai empat makhluk gaib yang tidak kasat mata
(metafisik). Mereka merupakan saudara yang setia menemani hidup manusia,
mulai dilahirkan di dunia hingga nanti meninggal dunia menuju alam
kelanggengan".
Riset Raharjo (2012:4), menyebut dalam ilmu Jawa terdapat jagat kecil (mikrokosmos) “kiblat papat” yang merupakan “kakang kawah adhi ari-ari”
dengan pusat manusia sendiri, sebagai satu kesatuan jiwa manusia untuk
meraih ketentraman hidup memiliki saudara alamiah dalam tubuhnya.
Kedalaman makna ini tidak cukup ditinjau dari aspek filologi atau
antropologi, namun harus menggunakan pendekatan lain yang lebih
kompatibel. Dalam falsafah Jawa, saat manusia dilahirkan dari rahim ibu
pasti membawa air ketuban, ari-ari, darah, dan tali plasenta. Masyarakat
Jawa meyakini bahwa keempat benda ini menyertai kehidupan manusia dan
selalu “menghidupi” secara batin sejak dilahirkan sampai meninggal
dunia.
Semua agama meyakini bawa hidup dan matinya seorang ditentukan oleh
Tuhan. Dalam kehidupan ini, selain alam fisik juga ada metafisik yang
dalam keyakinan Hindu disebut mikrokosmos yang merupakan unsur alam
dengan mengawinkan “sedulur papat” di atas sebagai bagian empat kiblat
dalam alam yang berupa tanah/bumi, air, api, dan angin.
"Konsep ini tentu selaras dengan kepercayaan semua agama di Nusantara
yang meyakini manusia hidup, mati, dan menyinergikan kehidupan-kematian
itu dengan tanah, api, air, dan angin. Tidak bisa tidak. Jika ada orang
mengingkari Sedulur Papat, otomatis mereka menolak kehidupan."
Dalang Ki Sigit Ariyanto (2017) pernah menafsir Sedulur Papat dengan sangat rinci. Pertama, watman, merupakan rasa cemas atau khawatir ketika seorang ibu hendak melahirkan anaknya. Watman
diartikan saudara tertua yang menyiratkan betapa utamanya sikap hormat,
sujud kepada orangtua khususnya ibu. Kasih sayang ibu ialah kekuatan
yang akan mengiringi hidup seorang anak.
Kedua, wahman yaitu kawah atau air ketuban. Fungsinya menjaga
janin dalam kandungan agar tetap aman dari goncangan. Ketika melahirkan,
air ketuban pecah dan musnah menyatu dengan alam, namun secara
metafisik ia tetap ada sebagai saudara penjaga dan pelindung.
Ketiga, rahman atau darah dalam persalinan sebagai gambaran
kehidupan, nyawa, dan semangat. Selalu ada sebagai saudara yang memberi
kehidupan dan kesehatan jasmani. Keempat, Ariman atau ari-ari (plasenta)
sebagai saluran makanan bagi janin. Ia merupakan saudara tak kasat mata
yang mendorong seseorang untuk mencari nafkah dan memelihara kehidupan.
Kelima, panceratau pusat yang berarti bayi itu sendiri dimaknai
juga sebagai ruh yang ada dalam diri manusia yang akan mengendalikan
kesadaran diri seseorang agar tetap eling lan waspada (ingat dan waspada). Ingat kepada sang pencipta dan menjadi insan yang bijaksana.
Dalam risetnya, Dewi (2017:4) juga menemukan, keempat saudarana watman, wahman, rahman, dan ariman
itu merupakan saudara manusia yang menemani secara metafisik. Sedulur
Papat menjadi potensi atau energi aktif dan pancer sebagai pengendali
kesadaran. Mereka adalah saudara penolong dalam mengarungi kehidupan
hingga seseorang kembali lagi pada sang pencipta.
"Artinya, tanpa mengenal Sedulur Papat kita sendiri akan susah menuju Tuhan".
Bukan Misteri
Dari epistemologi di atas sudah jelas dan ilmiah, manusia mau beragama atau ateis akan berteman dengan Sedulur Papat atau Kiblat Papat. Sebab, Sedulur Papat inilah yang akan memandu manusia menuju Tuhannya. Orang Jawa sendiri, menjadi Sedulur Papat Limo Pancer sebagai jimat, pakem, aturan, atau pedoman dalam berbagai kehidupan.
Apa wujudnya? Salah satunya filosofi Kiblat Papat Lima Pancer yang diartikan sebagai empat arah mata angin yaitu timur, selatan, barat dan utara sedangkan Lima Pancer yaitu tengah.
Bahkan, orang Jawa sendiri memasukkan itu ke dalam nama-nama hari
(pasaran) yang menjadi penentu jodoh, rezeki, dan nyawa manusia.
Wujudnya, berupa konsep hari seperti pasaran legi (timur), pahing (selatan), pon (barat), wage (barat), dan kliwon (tengah/pusat).
"Misalnya, dalam menanam jagung, ketika tidak mengindahkan konsep ini,
bisa jadi mereka puso alias gagal panen. Begitu pula dengan pemilihan
hari pernikahan, khitan, pindahan atau membangun rumah dan sebagainya".
Apakah hanya itu? Ternyata tidak. Kontekstualiasi Sedulur Papat juga
menjelmas dalam elemen dasar dalam kehidupan manusia. Seperti cipta,
rasa, karsa, dan karya. Tanpa keempat hal ini, bisa jadi manusia hidup
namun mati. Artinya, sangat konyol ketika manusia hidup namun tidak
memiliki cipta, rasa, karsa dan karya.
Islam sendiri sudah mengonsep hal itu dengan riil ke dalam bab nafsu,
tasawuf, dan kondisi hati manusia dalam Surat Al-Qiyamah (75:1-2). Dari
ayat itu, Winardi (2017) mengnalisis, manusia memiliki empat unsur
paling dasar, yaitu lawwamah, supiyah, amarah dan mutmainah.
Lawwamah
ini diartikan selemah apa pun manusia, pasti di dalam jiwanya terdapat
sifat kejam dan berani membunuh. Jika diilmiahkan, sifat ini menjadi pertanda setiap manusia hidup membutuhkan tanah sebagai salah satu sumber hidup atau dalam tubuh manusia pasti mengandung zat tanah. Lambang warna dari sifat aluamah yakni hitam.
Supiyah mengandung arti yaitu sebagai sahabat hidup manusia yang selalu menginginkan harta benda dalam kemegahan serta kemewahan dunia. Lambang warna dari sifat supiyah yakni kuning. Amarah
yaitu sifat selalu mengajak dan menginginkan hal berbau atau dalam
ranah politik, kecerdasan akan tetapi lebih cenderung dalam kesombongan.
"Lambang warna dari sifat ini merah. Mutmainah yaitu sifat cenderung mengajak dalam nafsu ketuhanan, beribadah kepada Tuhan. Lambang warna dari mutmainah yakni putih".
Dari keempat jenis ini, tidak mungkin manusia hanya memilih satu saja
karena sudah digariskan dalam kehidupan. Namun, di antara keempat itu
manusia harus dapat menyinergikan, memilah dan memilih mana yang potensi
benar-salah, baik-buruk, indah-jelek untuk menggapai kehidupan bahagia
dan pada akhirnya mengantarkan manusia kepada Tuhannya.
Tanpa Sedulur Papat Limo Pancer, bisa jadi manusia tidak tahu
dirinya. Bahkan, filsuf Martin Buber (1878-1965) jauh-jauh hari
menggagas konsep diri dalam kehidupan dengan tujuan agar manusia menjadi
dirinya sendiri meskipun dalam dirinya ada diri-diri yang lain. Dari
diri-diri yang lain itu, manusia harus dapat menggapai jati diri,
hakikat diri, dan harga diri agar tidak membelah diri.
Sedangkan konsep diri perspektif Ibnu Miskawaih (1994: 43-44), manusia memiliki tiga bagian, yaitu al-quwwah alnatiqah (fakultas berpikir), al-quwwah algadabiyyah (fakultas amarah), dan alquwwah al-shahwiyah (fakultas nafsu syahwat). Sedangkan Imam Al-ghazali (1960: 291) membuat episteme fakultas berpikir dengan al-nafs al-insaniyyah (jiwa sebagai esensi manusia), fakultas amarah dengan istilah al-nafs alhayawaniyyat, dan fakultas nafsu syahwat dengan istilah al-nafs al-hayawaniyyah.
"Diri manusia, menurut dua filsuf ini memiliki keutamaan dengan beberapa
syarat. Miskawaih dan Al-Ghazali mengemukakan ada empat keutamaan
tertinggi bagi manusia".
Mulai dari al-hikmat sebagai keutamaan akal, al-shaja‘ah keutamaan daya, al-gadab, al-‘iffah sebagai keutamaan daya al-shahwah, dan al-‘adalah sebagai keseimbangan daya itu. Keutamaan-keutamaan inilah yang harusnya digali, karena manusia selain badan, juga memiliki akal, nafsu/syahwat dan hati.
Sudah jelas, Sedulur Papat Limo Pancer merupakan bagian dari
diri manusia yang harus diijtihadi, digali, dan disinergikan ke dalam
kehidupan agar manusia dapat kembali kepada Tuhannya. Uniknya, saat ini
Indonesia berada pada era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 yang
secara leksikal merupakan kesamaan dari Sedulur Papat (Revolusi Industri
4.0), Limo Pancer (Society 5.0). Ini bukan kebetulan, namun memang
sudah sesuai dengan zeitgeist (spirit zaman).
"Jika kita tidak dapat mentransformasi teknologi batin pada Sedulur Papat Limo Pancer, maka akan susah bagi kita untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0".
Sebab, sinyal, kuota, internet, pulsa, semuanya adalah dunia maya,
makhluk gaib yang kita sembah setiap hari. Sedangkan Sedulur Papat Limo
Pancer jelas-jelas ada secara fisik saat kita lahir. Dus, kini siapa
yang lebih gaib dan mitos antara sinyal, pulsa, kuota dengan Sedulur Papat Limo Pancer ?
___________________________________________________________
Upload by Cak_1 @Jkt 06022020
Source : https://alif.id/read/hamidulloh-ibda/membongkar misteri sedulur papat limo pancer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar