Pengantar Redaksi :
- Ambil hikmahnya, sekalipun itu berbeda dengan keyakinan. Tuntunan itu, bisa berasal darimana saja, selama itu baik dan berguna, tidak ada salahnya untuk dipahami dan diadopsi sebagai 'tambahan' pengetahuan hidup.
- Batasan antara Syariat dan Hakikat harus jelas. Dan ilmu yang berada didunia ini, berlaku general, untuk siapa saja.
- Meskipun ini adalah cerita dalam jagad pewayangan, yang notabene adalah peninggalan budaya dari para leluhur negeri ini, alangkahnya baiknya, untuk dijadikan "referensi" kaidah berkehidupan, sebagai ilmu tambahan dalam hidup dan kehidupan.
- Jadi, pesan moral implisit yang kuat dalam kisah di bawah ini artinya,
manakala sudah berani memilih pilihan hidup atau profesi haruslah setia
memakai sumpah atau ikrar yang diucapkan. Jangan seperti Resi Wisrawa.
Sudah mengikrarkan diri menjadi pendeta atau brahmana atau pun ulama
contohnya, namun demi kepentingan sesaat yang bersifat pribadi, sengaja melakukan tindak perbuatan yang bertentangan memakai nilai &
istiadat yang dianutnya.
- Orang tua mengasihi anak artinya hal wajar, namun usahakan jangan
hiperbola. Apalagi memanjakannya memakai setiap kemauannya dituruti.
Resi Wisrawa mengalami nasib buruk karena terlampau ingin memenuhi
kehendak Prabu Danapati yang nir bisa diwujudkan oleh sang anak sendiri.
- Kemudian, interaksi seks itu usahakan nir melulu didasarkan atas
nafsu semata. Di sana terkandung satu tujuan, titipan dari Sang Maha
Pencipta, buat melestarikan spesies kita, umat manusia. Doa, impian
& syarat mental yang kuat dari sang Calon Ayah & Sang Calon Ibu
yang mengiringi pembuahan sel telur oleh sperma akan membantu Sang Maha
Pencipta meniupkan ruh yang baik kepada Sang Penerus. Kalau hanya nafsu
yang dikedepankan, Dasamuka lah wujudnya. Nafsu akan mengakibatkan
Angkara. Bijak & masih relevan memakai kekinian toh?
__________________________________
*)) Updated and Realease at Jkt 29012020
Antara Kutukan & Nikmat Birahi
Dalam sejarah manusia, yang namanya harta, tahta dan wanita adalah
batu ujian bagi makhluk yang namanya laki-laki. Batu ujian ini tingkat
daya ujinya bergradasi sesuai dengan sasaran atau subyek ujinya.
Mudahnya kata, semakin tinggi tingkatan seseorang akan diuji oleh
sesuatu yang daya godanya akan semakin tinggi pula.
Alkisah, di kerajaan Lokapala yang sedang berkuasa adalah Prabu
Danaraja, putra dari Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Kabar-kabar
angin yang sampai ditelinganya membawa berita yang sangat menggetarkan
jiwa mudanya. Harta dan tahta sudah berada dalam genggaman, tidak lain
karena posisinya sebagai seorang raja tentunya. Yang masih kurang dalam
hidupnya, karena belum hadirnya seorang wanita sebagai pendampingnya
yang sekaligus akan berperan sebagai Ibu Negara.
Maka ketika kabar kecantikan Dewi Sukesi sampai di telinganya,
segeralah sang raja mengirim utusan untuk segera melamar sang Dewi.
Adapun yang diutus adalah Resi Wisrawa, ayah sang raja.
Di jagat pewayangan tersebutlah ada satu ilmu nggegirisi yang bernama
Ilmu Sastrajendra Hayuningrat. Sebagai seorang Resi yang telah malang
melintang disegenap ilmu guna kasantikan, maka Resi Wisrawapun menguasai
ilmu ini, bahkan dalam tataran tertinggi.
Dewi Sukesi, yang gadis remaja dan konon kecantikannya mampu
menggoncangkan Kahyangan, mendengar pula bahwa dimuka bumi ini ada ilmu
yang unik ini. Maka betapa inginnya gadis itu menguasainya. Konon untuk
menyaring para pelamarnya yang ribuan jumlahnya, yang terdiri dari para
kesatria, raja dan bahkan para resi, Dewi Sukesi punya permintaan.
Barang siapa yang mampu mengajarkan Ilmu Sastrajendra Hayuningrat pada
dirinya, itulah yang lamarannya bakal diterima.
Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk
dapat memahami isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur
diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai. Rasajati memperlambangkan jiwa
atau badan halus ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang baik maupun yang
buruk atau jahat. Nafsu sifat itu ialah; Lumamah (angkara murka),
Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan
hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya sesuatu
masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka,
kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu
Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik
bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu menghalang-halangi
tindakan yang tidak senonoh.
Saat wejangan tersebut dimulai, para dewata di kahyangan marah
terhadap Resi Wisrawa yang berani mengungkapkan ilmu rahasia alam
semesta yang merupakan ilmu monopoli para dewa. Para Dewa sangat
berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke manusia. Karena
apabila hal itu terjadi, apalagi jika pada akhirnya manusia
melaksanakannya, maka sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia
akan menjadi makhluk sempurna di mata Penciptanya.Dewata tidak dapat
membiarkan hal itu terjadi. Maka digoncangkan seluruh penjuru bumi. Bumi
terasa mendidih. Alam terguncang-guncang. Prahara besar melanda seisi
alam. Apapun mereka lakukan agar ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di
jalankan.
Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh Sukesi. Untuk tidak
terungkap di alam manusia, maka Bhatara Guru langsung turun tangan dan
berusaha agar hasil dari ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para dewa.
Karenanya ilmu tersebut harus tetap utuh berada dalam rahasia dewa.
Oleh niat tersebut maka Bhatara Guru turun ke bumi masuk ke dalam badan
Dewi Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi tergoda dengan Resi Wisrawa. Dalam
waktu cepat Dewi Sukesi mulai tergoda untuk mendekati Wisrawa. Namun
Wisrawa yang terus menguraiakn ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan
kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru terpental keluar
dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja.
Dipanggilnya permaisurinya yaitu Dewi Uma turun ke dunia. Bhatara Guru
masuk menyatu raga dalam tubuh Resi Wisrawa sedang Dewi Uma masuk ke
dalam tubuh Dewi Sukesi.
Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan oleh Resi
Wisrawa kepada Dewi Sukesi, datanglah suatu percobaan atau ujian hidup.
Sang Bhatara Guru yang menyelundup ke dalam tubuh Bagawan Wisrawa dan
Bhatari Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi memulai gangguannya
terhadap keduanya. Godaan yang demikian dahsyat datang menghampiri kedua
insan itu. Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang menerima pengejawantahan
Bhatara Guru dan Dewi Uma secara berturut-turut terserang api asmara dan
keduanya dirangsang oleh nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama
semakin tinggi. Tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan Sukesi. Dan
terjadilah hubungan yang nantinya akan membuahkan kandungan.
Begawan Wisrawa lupa, bahwa ia pada hakekatnya hanya berfungsi
sebagai wakil anaknya belaka. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum
wejangan Sastra Jendra selesai, keburu hubungan antara Resi Wisrawa
dengan Dewi Sukesi terjadi, kenyataan mengatakan mereka sudah merupakan
suami-istri. Seusai gangguan itu Bathara Guru dan Dewi Uma segera
meninggalkan dua manusia yang telah langsung menjadi suami istri.
Sadar akan segala perbuatannya, mereka berdua menangis menyesali yang
telah terjadi. Namun segalanya telah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari segala uraian yang
gagal diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan
menjadi malapetaka besar dunia dikemudian hari. Tetapi apapun hasilnya
harus dilalui. Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi membeberkan semuanya apa
adanya kepada sang ayah Prabu Sumali.
Dengan arif Prabu Sumali menerima kenyataan yang sudah terjadi. Dan
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan seluruh
sayembara ditutup.
Berbulan-bulan di Lokapala, Danaraja menunggu datangnya sang ayah
yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah mendengar kabar bahwa
sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh Resi Wisrawa.
Sampai suatu saat Wisrawa dan Sukesi kembali ke Lokapala. Dengan
sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah
yang kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang
itu tampak pudar. Danaraja, merasa mendapatkan suasana yang tidak
nyaman, kemudian bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya,
Wisrawa menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan secara terus
terang mengakui segala dosa dan kesalahannya. Namun kesalahan tersebut
merupakan kesalahan yang amat teramat fatal dimata Danaraja. Mendengar
penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat kecewa dan marah besar.
Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya tega mencederai hati
putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung. Danaraja
lalu mengusir kedua insan yang telah berstatus sebagai suami-istri
tersebut keluar dari negara Lokapala. Akhirnya dengan penuh duka,
sepasang suami istri itu kembali ke negara Alengka.
Dalam perjalanan kembali menuju Alengka, Dewi Sukesi yang sudah mulai
hamil itu tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnya yang mulai kehilangan
tenaga tampak kuyu dan pucat. Setelah berbulan-bulan perjalanan yang
melelahkan, tiba saat melahirkan. Di tengah hutan belantara padat, Dewi
Sukesi tak kuasa lagi menahan lahirnya sang bayi. Akhirnya lahirlah
jabang bayi itu dalam bentuk gumpalan daging, darah dan kuku. Dewi
Sukesi terkejut juga Resi Wisrawa. Gumpalan itu bergerak keluar dari
rahim sang ibu menuju kedalam hutan. Kesalahan fatal dari dua orang
manusia menyebabkan takdir yang demikian buruk terjadi. Gumpalan darah
itu bergerak dan akhirnya menjelma menjadi tiga bayi berwajah raksasa,
dua orang bayi laki-laki raksasa sebesar bukit dan satu orang bayi
perempuan yang ujud tubuhnya ibarat bidadari, tetapi wajahnya berupa
raksasa perempuan.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya dapat berserah diri sepenuhnya
kepada kehendak Sang Penguasa Alam. Ketiga bayi itu lahir ditengah hutan
diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar. Auman harimau dan
kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian mencekam
mengiringi kelahiran ketiga bayi yang diberi nama Rahwana, Sarpakenaka
dan Kumbakarna. Dengan kepasrahan yang mendalam, Wisrawa dan Sukesi
membawa ketiga anak-anaknya ke Alengka.
Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka dengan duka yang
sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu raksasa yang baik hati
ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka Wisrawa
dan Sukesi membesarkan ketiga putra-putri mereka dengan setulus hati.
Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh menjadi raksasa dan raksesi beringas,
penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana tampak semakin perkasa dan
menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya kasar dan biadab.
Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin menjelma
menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka
selalu mencari pria siapa saja dalam bentuk apa saja untuk dijadikan
pemuas nafsunya.
Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga
sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Ia juga memiliki
sifat dan pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun
tercermin sifat dan watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar
nafsu. Namun perasaan gundah dan sedih menggelayut di relung hati Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir dalam wujud raksasa dan
raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya yang keempat.
Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau raseksi?
Dosa apakah yang telah mereka lakukan? Ataukah akibat dari gejolak nafsu
yang tak terkendali sebagai akibat penjabaran Ilmu Sastrajendra
Hayuningrat yang telah dilakukan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi?
Sadar akan kesalahannya yang selama ini terkungkung oleh nafsu kepuasan,
Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi, istrinya untuk bersemadi, memohon
pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta memohon agar dianugerahi
seorang putra yang tampan, setampan Wisrawana/ Danaraja, putra Resi
Wisrawa dengan Dewi Lokawati, yang kini menduduki tahta kerajaan
Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah mencapai tingkat
kesempurnaan, Resi Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi untuk
melakukan semadi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Dewata
Agung.
Berkat ketekunan dan kekhusukkannya bersamadi, doa permohonan Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi diterima oleh Dewata Agung. Setelah
bermusyawarah dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan
Resi Wisnu Anjali, sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada
menitis pada jabang bayi dalam kandungan Dewi Sukesi. Dengan menitisnya
Resi Wisnu Anjali, maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang
bayi lelaki yang berwajah sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya
keputihan dan sinar matanya sangat jernih. Sebagai seorang brahmana yang
sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Resi Wisrawa dapat membaca
tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak akan menjadi
seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. la kelak
akan menjadi seorang satria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda
tersebut, Resi Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu, Gunawan
Wibisana. Karena wajahnya yang tampan dan budi pekertinya yang baik,
Wibisana menjadi anak kesayangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Dengan
ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan
Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berwujud raksasa, Kumbakarna
memiliki watak dan budi yang luhur, yang selalu berusaha mencari
kesempurnaan hidup.
Nun jauh di negara Lokapala, Prabu Danaraja masih memendam rasa
kemarahan dan dendam yang sangat mendalam kepada ayahnya. Hingga detik
ini dia masih tidak dapat menerima perlakuan ayahnya yang dianggapnya
mengkhianati dharma bhaktinya sebagai anak. Sang Resi Wisrawa sebagai
ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah
dengan tulus murni dari dalam bathin yang paling dalam memberikan cinta
dan kehormatan pada ayah kandung junjungannya. Rasa ini benar-benar tak
dapat ia tahan hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang
sudah tidak bisa ditawar lagi. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh
bala tentara Lokapala dan memimpinnya sendiri untuk menyerang Alengka
dan membunuh ayahnya sendiri yang sudah tidak memiliki kehormatan lagi
dimatanya.
Alengka dan Lokapala bentrok dan terjadi pertumpahan darah.
Pertumpahan darah yang ditujukan hanya untuk dendam seorang anak pada
ayahnya. Resi Wisrawa tidak dapat diam melihat semua ini. Ribuan nyawa
prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang telah penuh dengan
dosa. Wisrawa segera turun ke tengah pertempuran dan menghentikan semuanya.
Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya sendiri. Dengan mata
penuh dendam, Danaraja mengayunkan pedang menebas leher Wisrawa. Darah
mengucur deras, Wisrawa roboh di tengah-tengah para prajurit kedua
negara. Melihat Resi Wisrawa tewas dalam peperangan melawan Prabu
Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk membalas dendam kematian suaminya.
Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh
Dewi Sukesi. Kepada keempat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan
mampu mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti Rawarontek,
yaitu meski tubuh hancur berkeping keping akan tetap dapat bersatu dan
hidup lagi asal menyentuh tanah. Untuk dapat mengalahkan dan membunuh
Prabu Danaraja. Mereka harus pergi bertapa, mohon anugrah Dewata agar
diberi kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja, yang sesungguhnya masih
saudara satu ayah mereka sendiri, sebagai bekal menuntut balas atas
kematian ayah mereka. Berangkatlah mereka melaksanakan perintah ibunya.
___________________________________
Upload by Cak1 @Jkt 29012020
Source : https://ayamtrondol.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar