PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Rabu, 08 Agustus 2012

Ki Manteb Soedarsono, Hidayah Lewat Sang Buah Hati

Sang anak tak henti-hentinya mengajak dia untuk mengerjakan shalat.

Anak adalah anugerah Allah yang tak terhingga. Ia bagaikan permata dalam sebuah keluarga. Menghadirkan kesenangan dan kebahagiaan di kala susah. Dan menjadi penghibur di saat sedih. Karena itu, tak lengkap bila kebahagiaan yang dirasakan tanpa kehadiran seorang anak dalam keluarganya.

Sebagai seorang anak, sudah semestinya untuk menaati segala yang diperintahkan kedua orang tuanya, selama perintah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana bila anak tak mau menuruti kehendak orang tuanya, sementara orang tuanya masih belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang Muslim? Berdosakah ia (anak itu)?

Mungkin, pertanyaan itu layak diajukan pada dalang kondang, Ki Manteb Sudarsono (60). Bagaimana tidak, bila seharusnya seorang anak berkewajiban untuk taat dan menuruti perintah orang tuanya, ternyata sang anak justru melakukan perlawanan hingga melancarkan aksi mogok.

Dan ternyata, aksi mogok anaknya itu, membuat hati Ki Manteb 'Oye' Sudarsono luluh. Dan ia pun 'harus' menuruti kemauan sang anak. Ia takluk. Padahal, dalam keseharian, sang dalang yang pernah dijuluki sebagai dalang setan ini, terbiasa tegar dan teguh saat memainkan anak wayang adegan perang tanding dalam dunia pakeliran.

Dalang kondang yang piawai dalam bidang olah sabethingga dijuluki dalang setan ini tidak kuasa menghadapi gerilya si buah hati, hingga akhirnya memeluk Islam. Perjuangan panjang ditempuh si bungsu, Danang buah perkawinan dengan Srisuwarni (almarhumah). Ketika itu, si bocah baru duduk di kelas tiga sekolah dasar (SD). Namun, bocah berperawakan mungil itu mampu meluluhkan hati sang bapak yang berhati keras dan temperamental dalam bersikap.

Menurut Ki Manteb, saat itu ia tengah duduk termenung di teras rumah di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Cuaca gerah lantaran sengatan terik matahari persis di atas ubun-ubun. Ia melihat si anak, Danang, dan bocah sebayanya, tengah berjalan kaki di pematang sawah hendak menjalankan shalat Jumat.

''Wow iya, bocah semono mlaku telung kilometer turut galengan panas-panas neng desa tonggo mung arep shalat Jemuah, (Oh iya, anak segitu jalan kaki tiga kilometer di pematang sawah, panas-panas, ke desa tetangga hanya untuk melaksanakan shalat Jumat),'' batinnya.

Saat itu, keimanan Ki Manteb, masih campur aduk. Islam tidak, Hindu tidak, dan Kristen juga tidak. Melihat anaknya sedang menuju masjid, terenyuh juga hatinya yang keras bagai batu itu. Ia terketuk. Dalam hatinya, ia berkata, Seandainya di dekat rumahnya ada masjid, pasti anaknya tidak lari panas-panas di pematang sawah sambil menggamit kain sarung kalau hanya untuk melaksanakan shalat Jumat.

Menjelang pelaksanaan shalat Jumat, Ki Manteb menghampiri si anak. Ia menyarankan, agar anaknya naik mobil diantar sopir menuju masjid, biar tidak kepanasan. Tak dinyana, sarannya itu ditampik sang anak. Anaknya bersikap acuh. dan mengatakan sesuatu yang sangat menusuk hatinya. ''Mending jalan. Biar jauh jaraknya ke masjid, pasti pahalanya banyak. Saya mau naik mobil, asal bapak juga ikut shalat,'' tegas Danang.

Pernyataan anaknya itu, benar-benar membuatnya harus berpikir keras. Namun, tak sempat ia memberikan jawaban, sang anak sudah pergi. Tinggal dia sendiri sambil termenung. Ia membayangkan sikap anaknya yang  atos (keras) seperti sikapnya selama ini. Ia merasa berat melaksanakan shalat. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu lainnya pun sering ia tinggalkan.

Namun, sikap anaknya yang keras dan mengatakan hanya akan mau naik mobil kalau dia juga shalat, terus membayanginya. Ia lalu berencana untuk membangun masjid di dekat rumahnya. Tak berapa lama kemudian, rencananya itu ia wujudkan dengan membangun masjid. Apalagi, ketika itu kariernya sebagai dalang, juga makin naik pamor. Dan dalam tempo delapan bulan, berdirilah sebuah masjid. Persis di depan rumahnya.

Namun, ketika masjid sudah berdiri, bukannya tambah senang, sebaliknya ia merasa hatinya tambah gundah. Sebab, ia tidak pernah datang ke masjid. Apalagi melakukan shalat di dalamnya. Hampir setiap hari, Ki Manteb jadi bahan ejekan dan olok-olokan rekan seprofesinya. Saban pentas wayang kulit sebulan sekali,  Selasa Legen memperingati hari kelahirannya di rumahnya, ia mesti kena sindir. Setiap dalang yang pentas mengkritik. ''Lha iya, sudah bangun masjid megahnya seperti ini,  kok belum shalat juga,'' sindir para dalang itu.

Begitu juga dengan sikap Danang. Si kecil ini tak bosan-bosan mengajaknya untuk mendirikan shalat. Bahkan, si bocah yang baru kelas tiga SD itu, meminta bantuan Ki Anom Suroto salah seorang dalang senior agar membujuk bapaknya untuk shalat.

''Pakde, mbok bapak diajak shalat. Wong sudah membangun masjid, kok belum shalat juga,'' rayu Danang pada Ki Anom. Dan, dalang kondang asal Solo itu pun terenyuh dengan permintaan Danang. Ia membujuk Ki Manteb untuk mendirikan shalat.

Keras bagai batu

Berbagai bujukan dan rayuan, baik dari anaknya maupun rekan sesama dalang, tak menggoyahkan hati Ki Manteb untuk mengerjakan shalat. Ia malah makin kukuh pada keyakinannya. Islam tanpa harus shalat. Hatinya mengeras bagai batu karang. Tak runtuh oleh deburan ombak yang keras.

Namun, upaya Danang tak berhenti sampai di situ. Sikap keras ayahnya, ia lawan dengan keras pula. Mogok. Danang emoh pulang dan tinggal di rumah. Ia lebih memilih masjid sebagai sarana untuk mengubah sikap ayahnya.

Hari-harinya dihabiskan di masjid. Berangkat sekolah dari masjid. Pulang sekolah juga ke masjid. Tidak mau pulang ke rumah. Tidur juga di masjid. Kalau tidak dikirim  ransum (makanan--red) dari rumah, juga tidak mau makan.

Ibundanya, Srisuwarni, yang mengalah. Setiap hari, sang bunda mengirim bekal makan ke masjid untuk anak tercinta. Melihat hal ini, emosi dalang pengagum sosok Buto Cakil dan 'Ketek' Anoman ini, makin tak keruan. Ia dongkol campur jengkel. Ki Manteb menganggap anak  ragil (bungsu), sudah tidak bisa diatur. Batinnya muntab. ''Dasar anak kurang ajar, berani mengatur orang tua,'' batin Ki Manteb.

Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun, perang urat syaraf antara anak dan bapak ini, tak berhenti juga. Belum ada gencatan senjata atau kata damai di antara keduanya. Perang terus berlanjut, hingga tiga tahun lamanya.

Selama itu pula, Ki Manteb dan anaknya neng-nengan (diam, tak bertegur sapa) dengan anaknya, Danang. Tidak ada komunikasi ini sejak Danang duduk di kelas tiga hingga kelas enam SD. ''Anak itu saya biarkan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995,'' ungkap Ki Manteb.

Namun, hidayah Allah SWT, akhirnya mampu membuka hati Ki Manteb yang keras bagai batu itu menjadi lembut. Ketika itu, Desember 1992, istrinya, Srisuwarni, dan kedua anaknya (Danang dan Gatot) hendak melaksanakan umrah. Mereka bertiga, hendak pamit ke Tanah Suci.

Dari sini, mulai muncul kesadaran Ki Manteb. ''Saya ini bekerja cari duit, ya untuk anak istri.  Masak, anak istri di Makkah, saya ongkang-ongkang sendirian di rumah,'' ujarnya. '' Keglelengan (kesombongan) saya saat karier menanjak, duit banyak, saat itu runtuh perlahan-lahan. Ini semua karena terpengaruh anak-istri. Maka, saya memutuskan, saya harus ikut umrah juga,'' lanjutnya. Ia mengaku kalah dengan sikap anaknya.

Karena itu, sebelum berangkat umrah, Ki Manteb mengikrarkan diri mengucap dua kalimat syahadat di masjid yang dibangunnya. Kalangan seniman, pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama diundang. Termasuk Bupati Karanganyar saat itu, Sudarmaji. Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, KH Muhammad Amir SH, yang menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Semua agama

Awalnya, Ki Manteb mengaku, tak begitu yakin dengan semua agama yang ada. Baginya, agama apa pun, sama saja. Karena itu pula, ia pernah mengikuti semua agama dan aliran kepercayaan. Pernah menjadi penganut agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, maupun beragam aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (YME). Berpindah-pindah agama hal yang biasa. Dan, selalu berakhir dengan ketidakyakinan dan ketenteraman. Menurut Ki Manteb, kala itu, semua agama itu baik. Semua itu tergantung pada manusia yang menjadi penganutnya.

Namun, setelah memahami dan mendalami serta merasakan betapa kuatnya keyakinan sang anak terhadap agama Islam, ia pun merasa lebih tenteram saat menjadi seorang Muslim. ''Hati ini teduh, damai, dan pasrah pada Tuhan,'' terangnya.

Maka, pada 1996, bersama keluarganya, Ki Manteb menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, ia sempat mengisi pentas wayang kulit di Hari Ulang Tahun (HUT) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atas permintaan Pak Harto dan Ibu Tien. Ketika itu, Pak Harto mendoakannya agar menjadi haji yang mabrur. Dan saat tengah menunaikan ibadah haji, ia menerima kabar bahwa Ibu Tien Soeharto meninggal dunia.

Seusai melaksanakan rukun Islam yang kelima, ia pun menyandang predikat haji. Nama itu, ternyata menambah beban baginya. Sebab, sepulang dari haji itu, berbagai olok-olokan kembali dialaminya dari sesama dalang. Ada yang menyebutnya sebagai kaji abangan, kaji kejawen, kaji merah, kaji campur bawur, kaji etok-etokan, dan sebagainya. Namun, semua itu ia abaikan. Ia yakin, yang mengolok-olok itu belum tentu lebih baih baik dari yang diolok-olok. ''Malah  sudo (berkurang) dosanya,'' katanya.

Pasrah dan Tawakkal Pada Allah


Sejak menjadi Muslim, Ki Manteb Sudarsono merasakan sebuah keajaiban dalam dirinya. Ia merasa semakin pasrah dan tawakkal kepada Allah. Dahulunya, kata Ki Manteb, hidupnya serba  kemrungsung (tergesa-gesa). ''Kalau lagi sepi  job (kerja), saya bingung, gelisah. Nanti makan dari mana, ya. Namun, sekarang lebih  semeleh (berserah diri). Ada  job atau tidak, biasa saja. Semua rezeki, Allah yang mengatur,'' terangnya.

Dan, benar saja. Semua dijalani mengalir seperti air. Falsafah Jawa,  Urip iku sakdermo nglakoni (Hidup itu hanya sekadar menjalankan), terasa tepat untuknya. Kalau lagi sepi  job, justru ia manfaatkan untuk beribadah. Dan kalau lagi ramai tanggapan (permintaan), ia senantiasa ingat Allah. ''Sekarang lebih gampang bersyukur. Selalu bersikap pasrah dan berserah diri kepada yang kuasa. Hidup ini dinikmati serba tenteram dan damai selalu,'' ujarnya.

Ki Manteb menyatakan, seorang dalang memiliki peran yang sangat penting. Terutama dalam upaya sosialisasi, penerangan, dan mengajak masyarakat pada kebaikan. Karena itu, dibutuhkan wawasan dan pengetahuan keagamaan untuk mengajak orang. ''Dalang mesti mampu menyampaikan pesan  amar ma'ruf nahi munkar dalam dunia pekeliran,'' ujarnya. (sumber : ROL)

Kamis, 26 Juli 2012

Sang Pemenang Ujian Kehidupan

Who has created death and life that He may test you which of you is best in deed. And He is the All Mighty, the oft Forgiving.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Al Mulk : 2) 

Yang menjadikan mati dan hidup 

Kehidupan, suatu kata yang sangat singkat sesuai dengan hakikatnya, cepat dalam mengatakannya dan cepat pula berlalu. Rasanya dibayangan penulis, masih terhenyak dengan kehidupan masa kecil ketika dibelai kasih kedua orang tua, berlari-lari dengan langkah kecil makhluk mungil ditaman dengan riang, canda ria dikala masih di awal sekolah, lalu meningkat dengan kehidupan remaja dengan segala permasalahannya, hingga lulus dari sekolah tinggi, menikah, berkeluarga, punya keturunan dan berlanjut pada suatu saat satu persatu orang terdekat yang dicintai meninggalkan kita. 

Dan kita pun hanya menikmati kenangan foto mereka dipajang diruang tamu, dengan sejuta kenangan tersimpan lewat senyuman mereka pada foto tersebut dan kelak kitapun akan mengalami saat yang sama, serta kan dikenang pula oleh anak maupun cucu. Dan itulah kehidupan, yang bisa punya arti yang sangat dalam, kadang membuat dada bergetar kala sedih ataupun kebahagiaan yang mampu meneteskan air mata.

Kehidupan, untuk menjelaskannya Allah menguraikan misteri itu pada awal ayat tersebut, Allah lah yang menciptakannya, dan Allah memberikan penekanan terhadap hakikat kehidupan itu dengan menyebut kata maut yang disebut terlebih dahulu, kemudian baru di sebut hidup? Padahal manusia hidup terlebih dahulu sebelum mati?

Kalau direnungkan susunan tersebut, nyatalah bahwa tujuannya ialah memberi peringatan kepada manusia bahwa hidup ini tidaklah berhenti hanya di dunia ini saja. Ini adalah peringatan kepada manusia agar mereka sadar akan mati disamping dia terpesona oleh hidup. Banyak manusia yang lupa akan mati itu, bahkan takut menghadapi maut karena hatinya yang terikat kepada dunia.

Kita lahir didunia, sudahlah pasti kita kan mati jua, sebab kita telah menempuh hidup, dan di antara waktu hidup dan mati itulah kita anak adam menentukan nilai diri.

"Karena dia akan menguji kamu, manakah diantara kamu yang terlebih baik amalannya" 

Orang yang berfikiran sehat tentu sadar akan kematian akan mendatanginya, sekalipun dia tidak tahu kapan akan hadir dihadapannya, dan karenanya tidak ada satupun yang akan diingatnya kecuali Allah sepanjang masanya, bila hal itu meresap didalam kalbunya maka ia akan sepenuh hati akan menyiapkan persediaan untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi padanya, bahkan seluruh pemikiran akan tertuju ke arah itu agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan yang tiada tara.

Yang menjadi pertanyaan besar, apa yang dilakukan dan diperjuangkan hamba-Nya menghadapi ujian Allah dalam kehidupan ini, untuk tampil sebagai Sang Pemenang Ujian Kehidupan. Ya semua orang amat mengidamkan sebutan ini, As Syahid Sayyid Quthb seorang ulama Mesir, menyebutkan bahwa kriteria Sang Pemenang adalah hamba Allah yang mewakafkan seluruh kehidupannya hanya untuk beribadah kepada-Nya, memperjuangkan aqidah serta agama yang dimilikinya, mempertahankan aqidah ditengah percaturan hidup, mempertahankan aqidah untuk tidak goncang karena godaan nikmatnya dunia maupun ancaman dari pihak pihak yang tak menginginkan aqidah tersebut tumbuh. Dengan memperjuangkan aqidahnya, jiwa menjadi bebas dari perhambaan hidup, aqidahnya tidak dikurbankan karena cinta hidup, bahkan lebih suka mati, berkorban karena aqidah dan lepas bebas dari ikatan dunia dengan segala kenikmatannya demi mempertahankan aqidah.

Begitulah Hidup dengan segala ragamnya, senang dan susah, kaya dan miskin, bukanlah neraca terbesar dalam pertimbangan kesuksesan bahkan semua itu adalah ujian dari-Nya. Tidak juga sebagai barang dagangan yang dihitung untung dan ruginya, kemenangan terhadap ujian tidak hanya terbatas pada suatu yang lahir, dan kemenangan itu hanya sebagian dari banyak kemenangan.

Nilai terbesar dalam perhitungan Allah adalah kemenangan aqidah, perniagaan yang beruntung di pasar Allah adalah perniagaan iman, kemenangan dalam bentuknya tertinggi ialah kemenangan mental atas material, kemenangan aqidah atas penderitaan, kemenangan iman atas fitnah, maka dalam hal ini jiwa sang pemenang adalah menang atas ketakutan dan penderitaan, menang atas kemewahan hidup duniawi, menang atas fitnah, menang karena keyakinan yang diaktualkan dalam kehidupan, suatu kemenangan yang mengangkat derajat manusia universal.

Semua manusia akan mati juga dengan berbagai sebab, dalam kemaksiatan maupun dalam keimanan, tetapi tidak semua manusia memperoleh kemenangan yang hakiki, derajat mereka tidak semuanya menaik, jiwa mereka tidak semuanya menjadi bebas lepas diatas ufuk ini, kemenangan itu semata mata karena pilihan dan penghormatan Allah kepada sebagian manusia yang mulia dari hamba-Nya.

Begitulah hakekat Sang Pemenang, dan perlu diingat ladang perjuangan atas ujian Allah itu selalu terjadi di sepanjang masa dan disetiap tempat di alam ini, tidak terbatas pada satu profesi, bisa mahasiswa, pekerja, professional, menteri, militer, dosen atau apapun, dan para pemenang atas ujian ini tidaklah terbatas di satu generasi saja, dan malaikat pun menjadi saksi dan ikut serta dalam seluruh peristiwa bumi ini, dan malaikat pun menyaksikan seluruh arwah yang mulia , dan malaikat bersanjung dan mengucapkan salam atas mereka, dan nilai sanjungan malaikat ini lebih besar dan lebih hebat dari segala sanjungan manusia di muka bumi ini. Kesudahan setelah itu adalah akhirat, dan ini adalah awal dari kehidupan sebenarnya , dan ini pula suatu masa yang panjang dan sangat luas, dan berlakulah segala saat pertanggungjawaban selama hidup di dunia yang singkat di dunia, dari situlah, maka Allah memberikan janji kepada sang pemenang atas kemenangan aqidah, iman dan kesabarannya menerima ujian serta kemenangannya dalam menghadapi percaturan hidup.

Sang Pemenang adalah hamba hamba Allah yang selalu melaksanakan apa yang dikehendaki Allah, dimana saja, kapan saja dan bagaimana saja. Mereka akan terus bekerja layaknya seorang buruh Sang Pemilik Segala Urusan untuk memperoleh hasil yang telah tertentu, dan Allah memberikan imbalan yang indah khusus untuk mereka yang menjadi sang Pemenang ;

Pertama, mereka akan memperoleh ketentraman hati, perasaan bangga, gambaran yang indah, bebas lepas dari segala ikatan dan tarikan, serta bebas dari rasa takut dan bimbang dalam situasi apapun.

Kedua, mereka akan mendapatkan sanjungan dari malaikat serta sebutan dan kehormatan, kendati ketika itu mereka dimuka bumi ini menjadi manusia yang kecil.

Ketiga, akan menerima hasil besar yaitu berupa hisab yang mudah dan kenikmatan yang besar di akhirat nanti.

keempat, menerima hasil yang paling indah yaitu keridhaan Allah.

Indahnya sebagai Sang Pemenang Ujian Kehidupan , sebuah kasih sayang yang akan diberikan Allah kepada hamba-Nya yang ingin berhasil dalam perjuangan hidupnya, dan Benarlah wasiat Ali RA dalam uraian yang indah : Wahai para hamba Allah ! bertakwalah kepada Allah dan berbekallah untuk kematian anda dengan amal kebajikan. Belilah kenikmatan abadi dengan kesenangan dunia yang fana. Bersiaplah untuk perjalanan itu karena anda sedang digiring, dan persiapkanlah diri anda untuk kematian, karena ia sedang melanglang di atas anda. Jadilah manusia yang bangun bila dipanggil, dan yang mengetahui bahwa dunia ini bukanlah tempat kediaman, dan karena itu tukarkanlah dia dengan akhirat. 

Dia adalah Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun 

Begitulah perjalanan kehidupan yang selalu terbentang dengan ujian Allah, kala suatu saat berhasil menghadapinya, tapi kadang kala pula manusia tidak terhindar dari kesalahan dan gagal menghadapi ujian itu, yang penting kemampuannya untuk dapat bangkit kembali, seseorang yang mampu bangkit kembali setelah terjerumus tidak akan putus asa, tetapi menyedihkan bila mendengar bahwa banyak orang yang gagal dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi diam dan menetap di kesesatan dan akhirnya mati sebagai orang yang nista, tersungkur dan tidak bangkit lagi.

Seharusnya dalam menghadapi Ujian Allah tersebut kita harus menyadari bahwa Allah adalah maha perkasa lagi maha Pengampun, dengan mendahulukan sifat Allah yang bernama Al-Aziz, yang maha Perkasa dijelaskan bahwa memang Allah tidak boleh dipermain mainkan. Dihadapan Allah tidak boleh beramal yang separuh hati, tidak boleh beramal yang ragu ragu, melainkan dikerjakan dengan bersungguh sungguh, hati hati dan penuh disiplin. Karena kalau tidak demikian. Tuhan akan murka , tetapi Allah pun memiliki sifat Al-Ghafur, Maha Pengampun atas hambaNya yang gagal dalam ujiannya dengan tidak sengaja melanggar hukum Tuhannya dan selalu berniat bangkit dan hendak berbuat amalan yang lebih baik, tetapi tidak mempunyai tenaga yang cukup buat mencapai yang lebih baik itu. Pada waktu itulah Allah menunjukkan belas kasihanNya, karena tidaklah Allah memberati seseorang kecuali sekedar kesanggupan yang ada padanya. Dan yakinlah Allah akan memberi pertolonganNya sesuai kepada hambaNya yang ingin berbuat baik sesuai ketentuanNya. Tidak ada kekhawatiran terhadap hamba yang selalu berjuang dan meniti Ujian Allah, bangkitlah dan impikan akhir yang baik di akherat kelak, itulah yang dinanti Sang Pemenang Ujian Kehidupan. (sumber : eramuslim)

Sabtu, 21 Juli 2012

Keutamaan Puasa Ramadhan


Segala puji bagai Allah. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi terakhir, Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabat dan siapa saja yang mengambil petunjuknya hingga hari kiamat.
Adapun selanjutnya:

Puasa memiliki berbagai keutamaan, sehingga sudah selayaknya engkau, wahai saudaraku Muslim, memperhatikan puasamu. Di antara keutamaan puasa Ramadhan:
1.      Puasa Ramadhan merupakan sebab penghapusan dosa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ))
"Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
[HR. As-Syaikhân]
Sabda Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang lain:
(( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ))
"Antara shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara itu semua, jika dosa besar dapat dihindari."
[HR. Muslim dan selainnya]
2.      Balasan pahala puasa tidak terhingga. Tidak ada batasan jumlahnya.  
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((قال الله تعالى :كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ))
"Allah -ta'âla- berfirman: 'Seluruh amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya."
[HR. As-Syaikhân]
Dalam riwayat Muslim:
(( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي))
"Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah -azzawajalla- berfirman, ‘Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya. Dia meninggalkan nafsu dan makanannya demi Aku."
[HR. As-Syaikhân]
3.      Bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari bau minyak misk. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ))
"Demi yang jiwa Muhammad berada di tanggan-Nya, sungguh bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari pada bau misk."
[HR. Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim)]
4.      Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- :
((وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ))
“Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan yang membuatnya berbahagia; bahagia ketika berbuka puasa dan bahagia ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya.”
[HR. Syaikhân)
5.      Puasa adalah tameng dan pelindung. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
((وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ))
“Puasa adalah tameng.”
[HR. Syaikhân]
6.      Puasa memberi syafaat kepada pengamalnya pada hari kiamat. Dalam Hadits Abdullah Ibnu Amr -radiallahu'anhu- Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
(( الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ))
“Puasa dan al-Quran memberi syafaat kepada seseorang pada hari kiamat. Puasa berkata, “Wahai Tuhanku, aku cegah dia dari makan dan nafsunya di siang hari, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Al-Quran berkata: “Aku cegah dia dari tidur malamnya, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Nabi berkata: “Keduanya pun memberinya syafaat.”
[HR. Ahmad dan Hakim. Hadits sahih]
7.      Di surga terdapat pintu bernama Ar-Royyân yang dimasuki hanya oleh orang-orang yang puasa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
(( وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ))
“Siapa yang termasuk ahli puasa, akan dipanggil dari pintu surga ar-Royyân.”
[HR. Syaikhân]
Sabdanya -shalallahu alaihi wasallam- yang lain:
(( إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ))
“Di surga ada pintu yang disebut ar-Royyân. Orang-orang yang puasa akan masuk dari pintu itu pada hari kiamat, tidak seorang pun masuk selain mereka. Diserukan: “Mana orang-orang yang berpuasa!” Maka mereka pun mendatanginya. Tidak seorang pun dari mereka selain memasukinya. Jika semua telah masuk, pintu pun ditutup, tak seorang pun memasukinya setelah itu.”
8.      Puasa sehari fii sabilillah (dalam jihad), menjauhkannya dari panas neraka jahanam sejauh 70 tahun. Sebagaimana sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-:
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ حَرَّ جَهَنَّمَ عَنْ وَجْهِهِ سَبْعِينَ خَرِيفًا))
“Siapa yang puasa sehari dalam jihad, Allah jauhkan dengan satu hari itu panas neraka jahanam dari wajahnya sejauh 70 tahun.”
[HR. An-Nasai dan Ibnu Majah. Hadits sahih. As-Syaikhân juga meriwayatkan yang serupa]

Jumat, 20 Juli 2012

Berani HIDUP !

Aktivitas harian kadang menghadirkan rasa bosan sampai ke tingkat jenuh. Badan malas bergerak dan otak jadi malas mikir. Sangat tidak produktif! Yah, hari itu giliran saya mengalami entah untuk yang keberapa kalinya. Walau telah banyak buku teori yang dibaca sebagai penangkal, masih saja gagal.

Bermalas-malasan menjadi satu-satunya pilihan sambil berusaha merangkai khayalan yang indah tentang segala obsesi yang belum tercapai. Silih berganti dengan berandai-andai yang tanpa sadar membawa kepada rasa putus asa, "andai saja…" dan sederet rasa penyesalan yang tak kunjung usai. (Jauh sekali dari ummat dambaan Rasulullah: seorang mukmin yang kuat).

Kuasa Allah mengalihkan khayalan itu jadi sebuah perenungan yang panjang. Suara hati berebutan dalam proses penyadaran.

"Kamu Pengecut, kamu tidak berani hidup! Orang yang berani hidup akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, karena hidup yang sekarang hanyalah sementara. Dia takkan menyia-nyiakannya, dia ingin hidup bahagia selamanya disamping Rabbul Izzati”

“Bukankah kamu pernah membaca? Rasulullah bersabda “dunia adalah sebaik-baik kendaraan menuju akhirat". Dengan caramu sekarang, jangan harap deh kamu bisa menghasilkan yang terbaik".

"Wake up donk! Atau kamu ingin bergabung bersama mereka yang bunuh diri hingga kamu tidak perlu lagi capek di hari esok atau kamu akan biarkan syarafmu tegang terus jadi tidak berfungsi hingga esok hari tidak usah berpikir lagi?”.

“Allah kuasa memberi peringatan dalam bentuk apapun. Kenapa harus menunggu peringatan itu datang kalau akal sehat masih mampu memperbaiki kesalahan yang terjadi? Menurut berita terbaru, 3 dari 1000 orang di Indonesia sakit jiwa. Kamu ingin menambah panjang daftar itu?”

Na’udzubillaahi min dzalik. Saya sadar... kemalasan telah 'mengecilkan' keberadaan Sang Khalik yang telah mempersembahkan semua yang terbaik untuk hamba-Nya. Awan beraneka rupa, tak pernah sama dari hari ke hari. Dihadirkan-Nya duka agar saya bisa merasakan indahnya bahagia, dihadiahi-Nya rasa gagal agar saya bisa memanjatkan syukur yang tak berhingga ketika berhasil. Sayalah yang menjadikan hidup terasa menjemukan. Astaghfirullahal’adziim. Sesungguhnya Allah tidak pernah zalim kepada hamba-hambaNya. Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazhaalimin.

Ya, segala hal yang bersifat manusiawi selalu bisa jadi alasan hingga kita permisif dalam menyikapi kemalasan dan kejenuhan. Bukan berarti, kita harus memaksakan diri dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan! Masih banyak alternatif lain untuk menjadikan hidup bermakna. Hobi tidak pernah mendatangkan rasa jenuh bukan? Namanya juga hobi –hal-hal yang disukai dan disenangi. Bagi yang hobi memasak, segera bangkit dari tempat tidur, masak makanan terbaik dan suguhkan untuk keluarga tercinta. Bagi yang hobi jalan-jalan, simaklah keagungan ciptaan-Nya dan ajaklah anak yatim, bahagiakan hati mereka. Percayalah, kebahagiaan itu menular! Bagi yang hobi membaca, bacalah sebanyak-banyaknya buku, cari hikmahnya dan ceritakan kepada yang lain. Tanpa disadari, kita sudah berdakwah. Atau langkahkan kaki ke rumah sahabat lama, guru atau orang yang pernah menyakiti kita sekalipun. Yakinlah, silaturahmi bisa merubah suasana hati. Dan jika memang terlalu lelah, berdzikirlah dalam diam... rasakan bahwa Dia begitu dekat... dekaaaat sekali...

Ah, ternyata dunia ini sungguh indah. Kunci menghilangkan rasa jenuh, ternyata sangat sederhana: BERGERAK! Hingga kita akhirnya hanya punya dua pilihan: ingin hidup seratus tahun lagi untuk berkarya atau ingin mati besok karena kita yakin hidup kita selama ini telah mengantongi cukup bekal dalam menyongsong kehidupan hakiki di surga-Nya. BERANI HIDUP!!!  Waallahualam. (sumber : Eramuslim)
 

Kamis, 19 Juli 2012

Absen Sidang Itsbat Bukti Muhammadiyah Bukan Kaum Peragu

Bukan Muhammadiyah kalau masih alami keraguan. Kalimat tersebut sangat cocok jika dikaitkan dengan situasi sekarang, ketika pemerintah (kembali) lakukan permulaan Ramadan yang kemungkinan berbeda dari Muhammadiyah melalui Sidang Itsbat. Berbeda sebenarnya tidak menjadi masalah, karena perbedaan itu adalah rahmat. Namun kalau kemudian yang berbeda memaksa untuk sama dengan alasan taat, ini pasti akan menimbulkan masalah bagi umat. Yang perlu digarisbawahi barangkali, Sidang Itsbat ini lebih erat kaitannya pada kepentingan para pejabat, meski mengorbankan banyak keinginan umat.

Tanpa disadari, Sidang Itsbat yang dilakukan pemerintah, sebenarnya gambaran ketidakpastian dan ketidakkonsistenan kebijakan pejabat kita, sehingga bukan manfaat yang didapat, melainkan keraguan. Nah, sekali-sekali ragu, mungkin wajar. Namun apabila setiap tahun diciptakan keraguan, itu konyol namanya. Begitu pula ketika penentuan awal/akhir Ramadan menimbulkan ketidakpastian masyarakat, maka keraguan permanen pun akhirnya menjadi efek keraguan sistemik di lingkungan kehidupan masyarakat. Baik keraguan saat menjelang Ramadan, maupun saat akan meninggalkannya, bahkan usai meninggalkannya pun, efek dari sisa-sia keraguan itu masih melekat, hingga tahun berikutnya.

Tidak seperti gaya ragu pemerintah, penetapan Kalender Islam, khususnya terkait Ramadan, bukanlah hal baru bagi ormas Islam. Bahkan kelompok-kelompok atau aliran Tareqat Naqsabandiyah di Padang misalnya, sudah lakukan salat tarawih dua hari sebelum pemerintah umumkan keputusannya. Mereka berani melakukan salat tarawih lebih awal, karena keyakinan mereka yang mantap tanpa ragu. Hanya mengingatkan, ibadah tentunya tidak patut jika kemudian disamakan dengan persoalan demokrasi atau plurasisme lain yang bisa diseret-seret pada isu-isu kebersamaan, persatuan, dan penyeragaman.

Begitu juga Muhammadiyah. Secara rinci dan jelas Muhammadiyah jauh-jauh hari telah mengumumkan ketegasannya dalam mengamalkan ibadah Ramadhan. Baik itu cara mempersiapkan, cara menjalani, cara mengamalkan, dan cara mengakhirinya. Bahkan, Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, telah umumkan pula kapan Idul Fitri 1 Syawal, 1 Dzulhijjah, Hari Arafah 9 Dzulhijjah, dan Idul Adha 1433 H. Perhitungan Muhammadiyah yang sudah mengadopsi ilmu Hisab modern, jelas tanpa kesulitan dapat menentukan hari-hari penting tersebut tanpa menimbulkan keraguan umat umumnya, dan warga Muhammadiyah sendiri. Hal ini tentu menunjukkan kekonsistenan misi Muhammadiyah dalam rangka mencerahkan umat, dan dalam rangka menempatkan Ramadhan sebagai salah satu bulan ladang ibadah tanpa perlu menyulitkan warganya.

Bagi organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan 1 abad silam, penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9 Dzulhijjah, maupun Idul Adha, realitasnya tidak sesulit saat membuat kalender tahunan, maupun saat membuat daftar jadwal shalat 5 waktu yang dijalankan oleh umat Islam secara rutin. Apalagi pada jaman internet dan satelit seperti sekarang ini, jelas tidak akan disia-siakan kemanfaatannya, sehingga tidak akan membuat Muhammadiyah alami penyakit akut berupa ketertinggalan ilmu dan keusangan cara berpikir maupun cara menemukan solusi. Sejak KH Ahmad Dahlan muda, Muhammadiyah telah manfaatkan semangat modernitas dan cara-cara terbaik menuntun umat, dalam rangka ibadah maupun interaksi sosial, tanpa melupakan ayat Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW.

Oleh karenanya, ketika Muhammadiyah mengumumkan keputusan 1 Ramadhan 1433 H/2012 M jatuh pada 20 Juli 2012, ini mengandung arti bahwa Muhammadiyah tidak bisa disebut berbeda dengan pemerintah. Justru kebalikannya - seperti yang belum lama ini diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr H Agung Danarto, M.Ag - justru pemerintahlah yang berbeda dengan Muhammadiyah. Karena konsistensi dan kemantapannya, Muhammadiyah telah jalankan misinya tanpa harus memaksa pihak lain untuk ikut bersama-sama Muhammadiyah.

Dengan cara ini, umat Islam tidak perlu ramai-ramai pergi ke pantai atau pucuk gunung. Masyarakat tidak perlu lari-lari ke atau pencakar langit, atau malah adakan begadang saat subuh hanya untuk melihat hilal yang tentu sangat sulit jika terhalang kabut atau ada asap kapal di pantai dan seterusnya. Yang kita lupakan, halangan-halangan terhadap hilal, sebenarnya sangat mudah ditembus dengan perhitungan, karena pada dasarnya hilal itu ada. Hanya manusialah yang pada masa lalu, belum memiliki cara hitung yang canggih seperti sekarang.

Dengan metode yang dipakai Muhammadiyah, masyarakat tak perlu menduga-duga seputar sosok-sosok petugas pengintip hilal. Masyarakat tidak perlu berpikiran negatif, misalnya nilai ketaatan petugas, nilai kesehatan petugas, atau bahkan keikhlasan petugas saat bekerja. Umat Islam juga tidak lagi mendengar adanya sumpah atas kesaksian-kesaksian petugas di pantai. Tidak ada lagi gontok-gontokan akibat 2 (dua) petugas melihat hilal, sementara belasan yang lain mengaku tidak melihat. Yang berlebihan dan janggal adalah menentukan pola ibadah dengan melalui metode demokrasi. Suara terbanyak. Penglihat terbanyak. Poin yang ingin dicari kira-kira adanya hilal, terlihatnya hilal, atau pengakuan tidak melihat hilal?

Hilal pasti ada. Terlihatnya belum tentu. Mengapa? Karena terlihatnya hilal, tentu banyak hambatan seperti cuaca, kondisi petugas penglihatnya, maupun alat yang digunakan. Namun kalau ukurannya adalah pengakuan penglihat hilal, tampaknya akan menimbulkan banyak keraguan dan tandatanya seperti yang saya tulis di atas. Apakah cara ini bisa dijamin akurasi dan kejujurannya? Wallahua'lam bishawab.

Karena banyaknya keraguan itu, saya jadi ingat penjelasan Ketua Majelis Tarjih dan Majelis Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar, MA. Semangat Alquran dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, sesungguhnya jelas, yakni menggunakan perhitungan. Menggunakan hisab. Allah sendiri, sudah menginformasikan pada umat Islam bahwa matahari dan bulan, beredar menurut perhitungan.

Maka dari itu, meski matahari dan bulan tertutup awan sekalipun, meski matahari dan bulan tak bisa dilihat menggunakan teropong maupun alat elektronik lainnya pun, maka Allah telah memberikan solusi dengan perhitungan itu. Matahari dan bulan, tidak akan hilang dengan adanya awan yang menyelimutinya. Peredaran keduanya, tidak akan berhenti hanya gara-gara manusia gagal meneropongnya. Dan yang pasti, kerutinan gerak dua benda angkasa tersebut, pasti tidak akan berubah hanya gara-gara sekelompok manusia memutuskan bulan tidak terlihat saat Sidang Itsbat.

Ada hal lain yang perlu dicermati bahwa, pelaksanaan Sidang Itsbat cenderung terbukti sebagai bentuk intervensi pemerintah kepada persoalan umat Islam yang seharusnya bebas menjalankan keyakinannya tanpa perlu dipaksa sama. Intervensi semacam ini sangat berbahaya ketika pada saatnya, atas pertimbangan tertentu, seluruh ibadah umat dijadikan komoditi politik, sehingga bisa jadi suatu saat penentuan awal dan akhir Ramadhan, akan digulirkan menjadi Undang-Undang agar semua bisa sama dengan keinginan pemangku kebijakan. Makanya, intervensi yang terus menerus seperti saat ini, sangat berpotensi melanggar konstitusi.

Sidang Itsbat yang terjadi selama ini, juga lebih terkesan anti musyawarah, padahal semangat Sidang Itsbat mestinya musyawarah untuk mufakat. Semestinya Sidang Itsbat adalah forum yang saling menghargai dan menghormati pendapat, serta pandangan yang lain dan berbeda dengan keinginan pemerintah. Seperti Sidang Itsbat tahun lalu, yang masyarakat bisa melihat langsung dari televisi. Kenyataannya, ormas yang dianggap berbeda malah dicaci dan direndahkan, maka nilai sidang itu sebenarnya otomatis hilang. Dalam sidang tersebut, pemerintah bisa saja menghadirkan ahli-ahli atau pakar-pakar. Tentu saja, karena itu bukan forum politik, semestinya harus membawa ghirrah (semangat) Islam, adil dan tabayyun. Sayangnya, ahli yang diundang adalah ahli sesuai keinginnan pemerintah. Akibatnya, apa yang keluar dari mulutnya, bukanlah atas semangat Islam, melainkan semangat kaum pemarah. Tak heran apabila ada kesan, sebenarnya Sidang Itsbat hanyalah forum basa-basi untuk mengumumkan keputusan yang sudah dibuat sebelum sidang. Apabila pemerintah mengumpulkan Ormas hanya untuk mendengarkan caci maki dan pengumuman semata, maka apa urgensinya Sidang Itsbat?

Sungguh sebuah kehebatan apabila Umat Islam di Indonesia mau membuka Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.

Sungguh sebuah kehebatan pula, apabila Umat Islam berani belajar tanpa harus ketakutan untuk berbeda, hanya karena pemerintah ingin umat bisa bersamanya. Rasulullah sendiri sudah menginformasikan kondisi umat terdahulu dengan seperti itu, sangat lazim apabila kemudian hari, Muhammadiyah lakukan Hisab, karena pada esensinya, tanpa hisab, maka umat Islam tidak akan mampu membuat Kalender Islam buat dirinya sendiri.

Tentu sangat ironi apabila, hanya ingin shalat, ingin pergi haji, ingin berdoa, kita mesti secara manual pergi ke gunung-gunung dan lari pantai hanya untuk memastikan kapan tanggalnya. Wajar saja jika ahli dan penggagas Kalender Islam Internasional, Prof. Dr. Nidhal Guessoum kemudian mengkritik Umat Islam yang tidak segera berhasil menyusun kalendernya sendiri. Umat Islam kalah dengan umat terdahulu yang sudah berhasil menyusun kalender untuk ribuan tahun lamanya.

Sekali lagi, sebagai organisasi yang memiliki tanggungjawab besar, Muhammadiyah telah tegas dan tanpa ragu dengan keputusannya. Muhammadiyah telah ambil sikap yang tidak mungkin berubah, hanya gara-gara keinginan pihak tertentu agar Muhammadiyah mengalah dengan menaruh kebenaran di bawah tekanan kelompok yang tidak mengerti. Maka keputusan Muhammadiyah tidak ikut Sidang Itsbat adalah sebuah keputusan yang berdasar atas kepentingan umat, agar terjadi kemaslahatan dan tidak menimbulkan ketegangan di lingkungan umat, dan dengan itu, maka Muhammadiyah berusaha menjadi solusi atas banyaknya suara atas keraguan yang ada. Langkah Muhammadiyah ini, tentu bukan tanpa belajar dari tahun sebelumnya.

Pelaksanaan Sidang Itsbat, bagi Muhammadiyah tidak lebih banyak manfaat dibanding mudharatnya, sehingga ketidakikutsertaannya dianggap lebih baik bagi Muhammadiyah dan masyarakat banyak, ketimbang dipaksakan ikut namun menimbulkan suasana tidak sehat di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak ingin melihat Muhammadiyah dan Ormas Islam yang lain, dan juga dengan Pemerintah, terlibat keributan dalam sidang hanya gara-gara disebabkan tidak bertemunya antara sikap-sikap dan pandangan konsisten dan kelompok inkonsistensi saat rapat berlangsung.

Kenyataannya, shalat Jumat dan shalat wajib yang rutin, tidak pernah menjadi persoalan serius Pemerintah, maka semestinya penentuan tanggal Ramadhan juga tidak perlu menjadikan persoalan serius Pemerintah, yang dapat berpotensi menimbulkan ketegangan permanen dan keraguan setiap tahunnya. Kalau hanya terkait pengaturan tanggal merah yang dipersoalkan, tentu tidak perlu dikaitkan dengan perlu tidaknya seragam waktu Ramadhan maupun Idul Fitri.

Maka dari itu, dalam himbauannya, Muhammadiyah diantaranya hanya mengajak kepada warga Muhammadiyah untuk tetap berpegang teguh pada hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena adanya potensi berbeda dengan pihak lain, Muhammadiyah pun berharap agar warga Muhammadiyah memahami, menghargai dan menghormati adanya perbedaan itu, serta menjunjung tinggi keutuhan, kemaslahatan, ukhuwah dan toleransi, sesuai dengan keyakinan masing-masing, disertai kearifan dan kedewasaan, serta menjauhkan diri dari sifat yang mengarah pada hal-hal yang bisa merusak nilai ibadah itu sendiri. Dihimbau pula kepada Umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, agar menjadikan Bulan Ramadhan ini sebagai bulan instrospeksi.

Karena keistimewaan Ramadhan, Muhammadiyah juga menghimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah agar menyambut datangnya Ramadhan dengan rasa syukur dan gembira, serta berusaha bersungguh-sungguh untuk menunaikan puasa (shaum) sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tujuannya tidak lain, agar mendapatkan ridha dan karunia Allah SWT, dan dari ibadahnya itu, dapat dipantulkan melalui amalan sehari-hari di tengah masyarakat.

Kepada warga yang belum Muhammadiyah, maka diharapkan bisa menjauhi permusuhan maupun tindakan yang mengarah pada tumbuhnya benih-benih konflik. Khusus untuk industri hiburan, baik melalui media cetak maupun elektronik, dihimbau untuk mengedepankan nilai-nilai moral dan kebaikan. Dihimbau pula agar tidak ada yang mencoba menjual komoditi pornografi dan pornoaksi yang merusak akhlak dan tatanan bangsa, hanya demi meraih keuntungan materi. Sikap positif itu diperlukan, guna menunjukkan penghormatan terhadap hadirnya Ramadhan, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kehidupan bangsa.
Selamat Menjalankan Puasa!

Sumber Detik.com (19 Juli 2012)
Ditulis Oleh : Mustofa B Nahrawardaya (aktivis muda muhammadiyah)

Rabu, 11 Juli 2012

(Beginilah & Begitulah) Musuh Islam

Ibu Guru berjilbab rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari'at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, "Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah "Kapur!", jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah "Penghapus!" Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, "Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah "Penghapus!", jika saya angkat penghapus, maka katakanlah "Kapur!". Dan permainan diulang kembali. Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.

"Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika."

"Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?" tanya Guru kepada murid-muridnya. "Paham Bu Guru"

"Baik permainan kedua," Ibu Guru melanjutkan. "Bu Guru ada Qur'an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu "dijaga" sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?" Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur'an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet. "Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan..."

"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari'at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan."

"Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?" tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo'a dahulu sebelum pulang..."

Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

***

Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya: "Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu." (9:32).

Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Maka tampak dari luar masih Muslim, padahal internal dalam jiwa ummat, khususnya generasi muda sesungguhnya sudah ibarat poteng (tapai singkong, peuyeum). Maka rasakan dan pikirkanlah itu dan ingatlah bahwa dunia ini hanya persinggahan sementara, ingatlah akan Hari Pengadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab. (sumber : eramuslim)