Hampir semua anak sangat menyukai cerita. Ketika kecil, saya dengan cepat tertarik dengan cerita-cerita yang dimulai dengan kalimat "Pada suatu hari." Cerita-cerita ini sering kali berakhir dengan "Mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Saya merasa bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang tergugah dengan kalimat itu. Kita semua, - bukan hanya anak-anak - menginginkan agar "pada suatu masa" dalam kehidupan kita dipenuhi dengan begitu banyak kebahagiaan yang akan menjadikan kita "bahagia selama-lamanya" karena harapan dan mimpi-mimpi yang telah menjadi kenyataan.
Tak bisa dibantah, kebahagiaan adalah satu kata yang paling dicari oleh hampir setiap orang. Mereka melakukan banyak hal, seperti sekolah, bekerja, menikah, berdoa, berinteraksi dengan orang lain dan aneka kegiatan hidup lainnya. Ujung-ujungnya, mereka berharap kebahagiaan mampir pada salah satu tahap kehidupan dan bertahan selamanya. Anda boleh melakukan survei di mana pun. Saya yakin, hasilnya akan menunjukkan hal yang saya sebut di atas. Semua orang berharap bisa hidup bahagia. Begitu dahsyatnya pesona kebahagiaan, sehingga banyak orang bersedia membayarnya dengan harga yang tinggi.
Ada orang yang mengartikan kebahagiaan sebagai kehidupan dengan harta yang berlebihan. Untuk mencapainya mereka mengerahkan segala upaya. Kalau perlu, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Ada juga istilah banting tulang, peras keringat. Untuk upaya yang keras seperti itu, bahkan seringkali terucap, jangankan yang halal, mencari harta yang haram di zaman seperti ini, susahnya minta ampun. Naudzu billaah. Ujung-ujungnya, begitu banyak orang membutakan mata dan hati mereka, untuk kemudian dengan berbagai alasan, mereka mencari, menumpuk dan menikmati harta yang campur-aduk antara halal dan haram. Mencari, menumpuk dan menikmati harta yang tidak jelas asal-usul halal dan haramnya.
Sampai kemudian, mereka sampai di suatu titik, di mana Tuhan mengirimkan pesan-pesan melalui berbagai kejadian buruk yang menimpa diri maupun orang-orang di sekelilingnya. Entah itu penyakit tak tersembuhkan, anak jadi pecandu narkoba, istri selingkuh bahkan menjemput kematian dengan menjatuhkan diri dari gedung bertingkat sambil bersenandung: I Believe I Can Fly. Harta memang bisa membawa manusia menuju kebahagiaan, tetapi bukan satu-satunya. Di tangan orang-orang yang serakah, harta menjadi sumber bencana. Dalam skala tertentu, negeri ini berada pada kondisi carut-marut seperti ini, salah satu penyebabnya adalah keserakahan beberapa manusia dalam mencari kekayaan.
Selain harta, banyak orang mencari kebahagiaan melalui jalan-jalan kekuasaan, jodoh, keluarga, ilmu pengetahuan, hubungan persahabatan atau kondisi kesehatan. Akan tetapi, meskipun kebahagiaan sudah menjadi tujuan manusia sejak lama, dan manusia sudah menguras akal, menghabiskan tenaga, waktu dan dana yang teramat besar untuk mendapatkannya, masih begitu banyak orang yang tidak puas akan hal ini.
Bukan karena mereka tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Sebagian besar dari mereka sudah mendapatkannya. Bahkan ada di antara mereka yang meraih posisi, di atas yang mereka inginkan.
Harta berlimpah, kekuasaan yang langgeng bertahun-tahun, jodoh lebih dari satu, keluarga dengan banyak anak, gelar akademis berderet-deret, ternyata bukan jalan kebahagiaan yang abadi. Hidup bahagia selama-lamanya, sepertinya hanya ada di dalam dongeng-dongeng masa kecil. Benarkah demikian?
Mungkin ada benarnya, apabila kita mengingat satu tema besar dari kehidupan, yaitu perubahan. Buku 'The Changes Master' menyebutkan bahwa sepanjang usia bumi, tidak ada satupun yang lepas dari perubahan. Tiada yang tetap kecuali perubahan. Perubahan adalah lagu abadi yang berputar sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dan ketika perubahan terus-menerus terjadi tanpa bisa dicegah, apa yang bisa dilakukan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang langgeng sebagaimana dongeng di masa kecil?
Sebuah peristiwa kecil mudah-mudahan bisa menjadi jawaban pertanyaan besar itu. Dan itu terjadi pada anak saya. Dalam banyak hal, saya memang banyak belajar dari kehidupannya. Sejak kecil, Riza, anak saya satu-satunya, sangat menyukai kereta api. Segala hal tentang kereta api menjadi koleksinya. Suatu ketika, kami melintas di jalan KH Abdullah Syafii. Menjelang rel kereta api, lonceng tanda kereta api hendak lewat mulai berbunyi.
Palang pintunya mulai bergerak menutup. Ketika itu, saya berniat untuk menerobos, karena biasanya kereta api melintas agak lama. Tidak ada satu pun mobil atau kendaraan lain yang bisa menghalangi. Tapi suara kecil anak saya, secara refleks memerintahkan kaki saya menginjak pedal rem, bukan gas.
"Berhenti Pak. Aku mau lihat kereta!"
Saya hampir yakin, ketika kita berada pada posisi demikian, biasanya kita mengambil langkah untuk melanjutkan perjalanan tanpa menunggu kereta api lewat karena jarang sekali ada orang yang mau berlama-lama menunggu antrian. Wajah-wajah kesal menunggu kereta api lewat biasanya terlihat pada sebagian besar pengemudi. Lain lagi dengan wajah anak saya. Ia tampak begitu gembira. Tidak ada rasa kesal sedikit pun di wajahnya.
Timbul satu pertanyaan. Peristiwanya sama, yaitu menunggu kereta api lewat. Tapi sikap yang timbul berbeda. Ada yang kesal. Ada yang menggerutu. Ada yang asyik bertelepon ria atau menjawab SMS. Tapi di luar itu, ada juga yang gembira menunggu rangkaian kereta api berlalu.
Di saat yang lain, saya banyak menemukan berbagai peristiwa, yang disikapi berbeda oleh orang-orang berbeda. Di negeri ini, begitu banyak kekurangan fisik pada diri seseorang digunakan untuk mengeruk belas kasih orang lain. Di sisi lain, saya banyak menemukan contoh lain, di mana orang-orang yang diberi karunia cacat fisik, berhasil keluar dari belenggu kecacatannya.
Sebut saja Helen Keller yang dilahirkan dalam keadaan buta, tapi tidak pernah melepas senyum dari bibirnya. Ada John Foppe anak muda tanpa lengan, atau Tony Christiansen, anak muda tanpa kaki, yang menjadi motivator kelas dunia. Di Banda Aceh, Allah mempertemukan saya dengan anak muda bernama Rahmat.
Ia masih kuliah, dan saat ini menjadi pemimpin dari puluhan pedagang kaki lima di kota Banda Aceh, untuk bersama-sama keluar dari himpitan kesulitan akibat Tsunami. Anak muda ini lahir tanpa lengan. Tapi saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia bisa melakukan hampr semua hal, tanpa bantuan orang lain. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya.
Bahkan sekali waktu ia pernah bergurau. Ia sedang bingung. "Saya bingung, bagaimana saya menerima buku catatan baik atau buruknya kehidupan saya di dunia ketika di akhirat nanti, karena saya tidak punya tangan?" katanya santai, ketika seorang ustadz selesai berceramah tentang hari pembalasan.
Benang merah beberapa peristiwa di atas adalah, bahwa setiap peristiwa, setiap kejadian, hadir di dalam kehidupan manusia dalam keadaan telanjang. Manusialah yang kemudian memberinya baju. Entah itu berkah, atau musibah. Entah itu kesenangan, atau kesusahan. Entah itu positif, atau negatif. Intinya, manusia lah yang memberi arti bagi setiap kejadian yang menimpa dirinya.
Di sinilah saya ingin menawarkan pada anda, satu cara lain dalam mencari kebahagiaan dalam kehidupan. Bukan dari faktor di luar diri, tetapi justru dari dalam diri kita sendiri. Berbeda dengan cara pertama, cara yang saya tawarkan tidak tergantung dari kejadian yang kita alami, tetapi dari perangkat sikap kita sendiri. Perangkat sikap yang diatur oleh otak dan hati. Kebahagiaan ini, sekali lagi, berasal dari dalam diri kita sendiri.
John Foppe, Tony Christiansen atau Rahmat, memberi arti positif bagi cacat tubuhnya. Di sisi lain, banyak orang normal yang memberi arti negatif bagi keutuhan fisiknya. Dan proses memberi arti itu lah yang kemudian menentukan, seseorang bisa berbahagia selamanya, atau sengsara seumur hidup.
Pendeknya, kita bisa bahagia atau sengsara, hanya dengan memberi arti bagi setiap peristiwa. Kita bisa memberi arti menyenangkan bagi setiap peristiwa untuk menjadi bahagia. Atau kita bisa memberi cap menyedihkan bagi setiap peristitiwa untuk menjadi sengsara. Pilihan ada di tangan kita masing-masing. Mau bahagia, atau mau sengsara seumur hidup. Kita semua, bebas menentukan pilihan.
Orang bodoh, kalah oleh orang pintar
Orang pintar, kalah oleh orang licik
Orang licik, kalah oleh orang beruntung
Saya dapat untaian inspiratif itu dari Pak Chairul Tanjung. Menarik, tapi izinkan saya sedikit menambahkan. Orang bebas, tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Jadi kalau Anda mau berbahagia dalam setiap episode kehidupan Anda, jadilah orang bebas. Kabar sedih atau gembira, anda tetap bahagia. Kejadian baik atau buruk, anda tetap bahagia. Anda miskin atau kaya, raut bahagia tidak bisa lepas dari wajah anda. Dalam posisi seperti ini, jangankan manusia. Bahkan Tuhan pun tidak bisa membuat Anda bersedih.
Selama ini mungkin kita mencari kebahagiaan melalui jalan-jalan kekuasaan, jodoh, keluarga, ilmu pengetahuan, hubungan persahabatan atau kondisi kesehatan. Mungkin kita mencarinya dari jalan yang lain, tetapi hampir pasti kita mencari sumber kebahagiaan dari luar diri sendiri. Padahal sumber kebahagiaan tidak ada di luar diri kita. Sumber kebahagiaan itu ada dalam diri kita. Tepatnya di otak dan hati kita masing-masing.
Sayangnya, kita lebih sering kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan kita. Bahkan lebih ekstrim lagi, kita lah yang dikontrol oleh pikiran dan perasaan itu, dalam bentuk hawa nafsu. Ketika kita menjadikan hawa nafsu sebagai hamba, maka ia akan bertindak sebagai hamba yang patuh. Tapi ketika hawa nafsu menjadi raja dalam diri kita, maka ia akan menjadi raja yang bengis.
Bahagia yang saya maksudkan di sini adalah bahagia yang unconditional. Bahagia tanpa syarat. Artinya, sedih atau senang, lagu yang diputar adalah lagu Kemesraan. Lain halnya dengan bahagia yang berasal dari luar diri. Ia selalu kondisional. Ada prasyarat sebelum kebahagiaan itu dirasakan. Lagu yang diputar, tergantung dari kondisi yang ada. Kalau senang, bisa lagu Kemesraan. Kalau kena musibah, lagunya Mimpi Sedih. Salah satu syairnya menyebutkan, "... Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan..."
Orang yang mampu menerima apapun keputusan Tuhan, ibarat laut, yang siap menerima apa saja yang datang. Tanpa memilih. Air got, air sungai, limbah pabrik dan sebagainya, diterima dengan lapang dada. Dalam posisi seperti ini, tidak seorang pun mampu membuatnya bersedih. (sumber : ramadan.detik.com)