PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Senin, 15 Agustus 2011

Menggapai Hati yang Bersih

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT itu tidak melihat kalian dari rupa dan harta-harta kalian, namun Allah SWT melihat kalian dari hati-hati dan amal-amal kalian" (HR Muslim).

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ukuran kebaikan dan ketakwaan seseorang tidak dilihat dari bentuk, rupa maupun harta seseorang, melainkan dilihat dari hati orang tersebut. Sehingga belum tentu seseorang yang 'bentuk badan dan rupanya' baik dan ganteng, atau yang cantik lebih baik dari seseorang yang dari bentuk fisiknya tidak ganteng ataupun tidak cantik.

Demikian juga belum tentu seseorang yang memiliki harta yang lebih banyak ia lebih mulia (di sisi Allah) dibandingkan dengan seseorang yang hartanya sedikit. Namun kadar 'kebaikan' seseorang dilihat dari kebaikan hati orang tersebut. Sisi pandang Allah SWT terhadap manusia berbeda dengan sisi pandang manusia terhadap dirinya sendiri.

Karena kebanyakan manusia bersikap 'materialis' dalam memandang sesuatu; menilai seseorang dari 'uang' dan 'rupa'nya saja. Padahal seringkali bentuk 'lahiriyah' ini menipu banyak orang; sehingga bukan kebahagiaan yang diraih, namun ternyata justru kesengsaraan.

2. Sedangkan Allah SWT, menilai sesuatu dari 'hakikat' manusia itu sendiri, yaitu hati. Karena hati ini merupakan 'sentra' dari keseluruhan manusia; yang jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya, dan jika ia buruk maka buruk pula seluruh jasadnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Dari Nu'man bin Basyir RA, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa dalam diri manusia ada sekerat darah; yang apabila ia baik maka baik pula seluruh dirinya, dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh dirinya. Ketahuilah bahwa sekerat darah itu adalah hati." (HR Bukhari). Sehingga bertolak dari hadis ini, hendaknya manusia tidak 'silau' dengan sisi gemerlapnya seseorang, namun lebih lanjut harus berusaha bersikap menghargai manusia dengan 'hati'nya, dan bukan dari rupa dan hartanya saja.

3. Bahwa walaupun hakikat kebaikan manusia bersumber dari hati bukan berarti bahwa manusia tidak perlu beramal kebaikan secara lahiriyah. Karena seringkali manusia menjadikan ini sebagai 'tameng' kemalasannya dalam beramal.

Menurut mereka, 'biar tidak salat dan tidak puasa, yang penting hatinya baik.' Pandangan seperti ini merupakan pandangan yang bertolak belakang dari pengertian hati yang baik. Karena salah satu karakter mendasar hati yang baik adalah 'tingkah laku' yang baik pula. Karena tidak mungkin seseorang yang berhati baik bertingkah laku tidak baik.

Demikian juga sebaliknya, tidak mungkin hati yang buruk mereflesikan perbuatan yang baik. Kalaupun ada biasanya hanya berupa kepura-puraan saja, atau intensitasnya yang sangat rendah. Sehingga dari pemahaman seperti ini, hati yang baik selalu memiliki ciri pada tingkah laku yang baik pula. Oleh karena itulah seseorang hendaknya berusaha untuk dapat memiliki akhlak yang baik.

4. Hadis ini juga secara tidak langsung menganjurkan seseorang untuk beramal saleh. Karena amal saleh merupakan salah satu 'usaha' untuk mengasah hati menjadi hati yang baik. Dalam Al Qur'an Allah berfirman, "Barang siapa yang berusaha berpengang teguh pada tali Allah, maka sungguh ia telah diberi hidayah pada jalan yang lurus" (QS Ali Imran (3): 101).

Tempatnya hidayah dalam diri manusia adalah hati. Dan hati yang mendapat hidayah adalah hanya hati yang baik. Sedangkan untuk menuju hati yang baik adalah dengan cara mengasahnya dengan amal shaleh, yang disitilahkan dalam ayat di atas dengan 'berpegang teguh pada tali Allah'. Karena ukuran amal saleh adalah amal yang dipandang baik oleh Allah, dan bukan oleh segelintir manusia. Semoga Allah SWT berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang berhati baik. Amiin. Wallahu a'lam bis shawab.

*) Rikza Maulan Lc M Ag
adalah Sekretaris Dewan Pengawas Syariah – PT Asuransi Takaful Keluarga.

(ramadan.detik.com)

Rezeki Yang Berkah

Dalam sejarah umat Islam, enterpreneurship merupakan bagian yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Dalam perjalanan hidup beliau, Rasulullah SAW sejak kecil sudah ditinggalkan kedua orangtuanya, sehingga beliau sudah ditempa hidup mandiri.

Mulai dari menggembalakan kambing pada umur tujuh tahun. Pada usia dua belas tahun sudah ikut berniaga ke Negeri Syam. Usia 25 tahun sudah delapan belas kali berjalan ke luar negeri untuk kepentingan berniaga. Melakukan transaksi bisnis. Beliau pun terkenal sebagai profesional muda yang sukses.

Perjalanan hidup Rasulullah SAW adalah sejarah yang diciptakan Allah SWT, sedemikian rupa untuk menginspirasi bahwa enterpreneurship itu bagian penting dari kehidupan kita juga. Inti dari enterpreneurship adalah kemampuan meng-create manfaat.

Rasulullah SAW beniaga tanpa perlu modal. Beliau memiliki kepribadian yang sangat mulia, sehingga masyarakat berlomba-lomba menitipkan modalnya dan puas. Para pembeli pun puas karena melihat akhlak mulia Rasulullah SAW dalam berniaga. Pemodal dan pembeli sama-sama puas. Inilah inti dalam berniaga secara Islam, tidak ada kezaliman sama sekali.

Seorang pecinta Allah dalam berbisnis memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan seorang pebisnis yang hanya orientasi duniawi. Seorang pebisnis pecinta dunia dengan pecinta Allah apa perbedaannya?

Kalau pecinta Allah berniaga bukan semata-mata uang, transaksi, tapi bisnis itu adalah amal saleh. Dari hatinya ia meyakini yang memberi rezeki bukan pembeli, melainkan Allah SWT. Pembeli hanya jalan rezeki dari Allah. Sehingga dia berakhlak memperbaiki cara berniaganya, bukan supaya orang membelinya, melainkan supaya Allah ridha kepadanya.

Keberhasilan seorang pedagang, bukan mendapatkan uang, melainkan niat baiknya, akhlaknya mulia, dan caranya benar. Maka Allah berikan rezeki yang berkah. Tatkala dalam berbisnis ada yang tidak diharapkan, misalnya calon pembeli tidak jadi membelinya, itu tidak akan menjadi persoalan, karena ganjaran berusahanya sudah tercatat di sisi Allah. Kalau pencinta akhirat, sibuk dengan bisnisnya supaya Allah suka kepadanya, maka Allah SWT pun gerakan rezeki yang berkah padanya.

Kunci dari enterpreneurship yang berkah adalah keyakinan bahwa rezeki itu milik Allah. Yakin bahwa rezeki itu datangnya dari Allah SWT. Allah SWT yang membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya dengan Maha Bijaksana dan Adil. Kunci dari keyakinan ini adalah bersandarnya hati hanya pada Allah SWT, selain Allah SWT hanyalah sebagai jalan.

Kalau pencinta dunia, sibuk ikhtiar mencari rezeki agar dunia datang kepadanya. Bahkan tidak mempedulikan ibadah-ibadah sebagai kewajibannya kepada Allah. Ketika ada kesempatan, ia pun bisa menghalalkan berbagai cara hanya untuk meraih keuntungan.

Secara umum rezeki dibagi tiga jenis:

1. Rejeki yang Dijamin

Tidak ada satu makhluk pun yang melata melainkan sudah dijamin rezekinya. Tentunya rezeki dalam jenis ini rezeki yang sebatas menopang kehidupannya, di antaranya seperti makan, kebutuhan metabolisme tubuh, dan sebagainya. Ini adalah rezeki dasar yang terendah. Siapa pun menerima jatah rezeki ini.

"Tidak suatu binatang pun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya."(QS 11:6)

2. Rezeki yang Digantungkan

"Tidaklah manusia mendapat apa-apa, kecuali apa yang telah dikerjakannya" (QS 53: 39)

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka." (QS 13: 11)

Setiap manusia memiliki dosis kemampuannya masing-masing. Jika kita ikhtiar maka kita bisa berjumpa dengan rezeki kita sesuai dengan tingkat ikhtiarnya. Rezeki yang tergantung ini bisa kita raih di antaranya dengan seberapa besar lompatan kita untuk mendapatkannya. Ini merupakan sunnatullah yang merupakan perwujudan keadilan Allah.

Kalau kita tidak ikhtiar, maka akan mendapatkan sesuai dengan kemalasan kita. Tetapi kalau ikhtiar kita di jalan Allah, sesuai dengan perintah Allah maka Allah akan menuntun kita berjumpa dengan takdir kita. Seperti orang yang masuk hutan, dan dituntun oleh ahlinya. Jika kita menjalankan sesuai perintah Allah, maka Allah akan menuntun kita.

Orang yang bisnis dalam keadaan patuh bertakwa kepada Allah, ia tidak akan stres dengan bisnisnya. Walaupun banyak pesaing baginya tidak ada masalah, karena mereka juga hamba-hamba Allah yang tengah mencari nafkah pula, dibagikan rezekinya juga oleh Allah SWT.

3. Rezeki yang Dijanjikan

Allah SWT menjanjikan rezeki bagi orang-orang tertentu di antaranya orang yang senantiasa bersyukur atas apa pun yang dikaruniakan Allah. Orang yang senantiasa berbagi, sedekah, juga mereka itu yang pasti akan diberi ganjaran lebih.

Mungkin ketika ada calon pembeli yang menawar rendah harga dasarnya saja, orang ini ingin berbagi agar Allah ridha, dan orang itu bahagia. Hal ini wujud dari syukurnya pula kepada Allah.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim: 7)

Bisnis bagi kita bukan semata-mata mencari kertas uang. Kertas tersebut ketika diperoleh kemudian akan berpindah lagi ke tangan orang lain. Terlalu rendah apabila bisnis kita hanya diukur dengan uang, bagi kita bisnis sebagai amal saleh yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah.

Rezeki yang dijanjikan akan diberikan pula kepada mereka yang bertakwa, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:

"Barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka," (At-Thalaq: 2-3)

Salah satu indikator orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa jujur dalam berbagai aspek kehidupannya. Demikian pula dalam hal urusan mencari nafkah. Rasulullah SAW juga menjanjikan bagi seorang pedagang yang jujur, kedudukannya di akhirat bisa dekat dengan nabi, derajat yang sangat tinggi yang sulit dijangkau, karena ia berhasil mengalahkan kelicikan, keserakahan, ketamakan terhadap dunia, dan kedengkian. Pebisnis yang jujur luar biasa derajatnya di sisi Allah.

"Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin dan para syuhada" (HR at-Tirmidzi dan ad-Darimi)

Semoga bisnis kita makin mendekatkan diri kepada Allah, sehingga akan senantiasa mendatangkan rezeki yang berkah. Rezeki yang berkah tandanya membuat hidupnya tentram, urusan akan diurai oleh Allah SWT menjadi sempurna. Kemudian kita akan dibuat kaya hati.

Sedikit apa pun karunia kenikmatan, akan disyukurinya. Dunia pun akan merunduk padanya. Nama baik, kehormatan pun otomatis akan terjaga, karena ciri pebisnis Muslim dalam mencarinya senantiasa ada di jalan Allah. Sehingga ketika berjumpa dengan rezekinya, dirinya lebih mulia daripada apa yang didapatnya itu.

Ketika sudah mendapatkan, ia distribusikan di jalan Allah juga, sehingga ia makin bertambah mulia dengan rezekinya. Inilah orang-orang yang beruntung, yang menjadikan usaha bisnisnya untuk menjadi jalan taqarub, mendekat kepada Allah.

*) KH Abdullah Gymnastiar adalah Dewan Pembina DPU Daarut Tauhiid.

(sumber : ramadan.detik.com)

Minggu, 14 Agustus 2011

Menyikapi Ketentuan Allah SWT

Percayalah bahwa tidak ada satu pun kejadian yang merupakan suatu 'kebetulan' belaka, bahwa seluruh kejadian terjadi atas izin Allah Penguasa Kejadian. Ada dua hal dalam menyikapi suatu kejadian/ ketentuan. Pertama, ketentuan yang direncanakan Allah SWT. Kedua, kejadian yang diundang oleh perbuatan kita sendiri.

Jika ada kejadian yang dianggap buruk, jangan sekali-kali 'dilemparkan' kepada Allah, karena itu merupakan rangkaian takdir akibat dari perbuatan sendiri, karena setiap berbuat dosa Allah Maha Menyaksikan dan akan kembali kepada dirinya sendiri. Mustahil Allah berbuat zalim kepada hamba-Nya. Sebagaimana yang disampaikan oleh cicit Nabi SAW, Sayyidina Ali Zainal Abidin, "Dosa-dosa yang mendatangkan bencana: tidak membantu orang yang sedang menderita, tidak menolong orang yang sedang teraniaya, tidak peduli terhadap amar ma’ruf dan nahi munkar".

Dalam menjalani hidup, kita mempunyai pilihan-pilihan dan rencana, tapi tidak semua terwujud sesuai dengan keinginan kita, karena Allah SWT mempunyai rencana juga terhadap diri kita atau takdir tertentu untuk kita sudah direncanakan Allah SWT. Semua yang menimpa kita sudah tertulis di lauhul mahfudz.

Jika kita ditimpa keburukan, maka yang harus dilakukan adalah mentafakuri kejadian buruk tersebut, kira-kira dosa apa yang mengundang takdir tersebut? Lalu bertobatlah, karena dengan bertobat akan ada rangkaian takdir berikutnya yang terbaik.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS al-Hadid (57): 22-23)

Dalam menjalani hidup di dunia, kita harus sangat siap dengan kejadian yang tidak terduga dan tidak diinginkan. Manusia mempunyai rencana, Allah juga mempunyai rencana. Dan yang pasti akan terjadi adalah rencana Allah SWT.

Bagi orang yang beriman, semua takdir Allah baik. Maha Suci dan Maha Terpelihara Allah dari perbuatan buruk, kesalahan, kezaliman dan ketidaksempurnaan dalam menetapkan takdir.

Kebanyakan manusia dalam menghadapi takdir yang dianggap buruk, sering salah persepsi atau berburuk sangka kepada Allah, sehingga kecewa, mengeluh dan mengadu kepada orang lain atas perbuatan Allah; juga sering salah dalam menyikapinya seolah-olah mampu menyelesaikannya sendiri, seharusnya serahkan segala urusan kepada Allah –tentunya dibarengi dengan ikhtiar dan doa juga. Dan hakikatnya Allah-lah yang menyelesaikan dan mengurus semua masalah.

Jangan takut menghadapi takdir yang dianggap buruk, karena semuanya pasti akan terlewati dan berakhir. Apabila tidak berhasil menjalaninya, bisa jadi karena ia salah dalam menyikapinya. Perkuat pula melakukan amalan-amalan dan doa tertentu yang bisa mengubah takdir yang dianggap buruk menjadi baik. Jadikan pula kekuatan tauhid untuk bekal menyikapi takdir dan menempa diri untuk semakin dekat kepada Allah SWT.

*) KH Abdullah Gymnastiar
adalah Dewan Pembina DPU Daarut Tauhiid.

(sumber: ramadan.detik.com)

Hidup Bahagia Sepanjang Hari

Hampir semua anak sangat menyukai cerita. Ketika kecil, saya dengan cepat tertarik dengan cerita-cerita yang dimulai dengan kalimat "Pada suatu hari." Cerita-cerita ini sering kali berakhir dengan "Mereka hidup bahagia selama-lamanya."

Saya merasa bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang tergugah dengan kalimat itu. Kita semua, - bukan hanya anak-anak - menginginkan agar "pada suatu masa" dalam kehidupan kita dipenuhi dengan begitu banyak kebahagiaan yang akan menjadikan kita "bahagia selama-lamanya" karena harapan dan mimpi-mimpi yang telah menjadi kenyataan.

Tak bisa dibantah, kebahagiaan adalah satu kata yang paling dicari oleh hampir setiap orang. Mereka melakukan banyak hal, seperti sekolah, bekerja, menikah, berdoa, berinteraksi dengan orang lain dan aneka kegiatan hidup lainnya. Ujung-ujungnya, mereka berharap kebahagiaan mampir pada salah satu tahap kehidupan dan bertahan selamanya. Anda boleh melakukan survei di mana pun. Saya yakin, hasilnya akan menunjukkan hal yang saya sebut di atas. Semua orang berharap bisa hidup bahagia. Begitu dahsyatnya pesona kebahagiaan, sehingga banyak orang bersedia membayarnya dengan harga yang tinggi.

Ada orang yang mengartikan kebahagiaan sebagai kehidupan dengan harta yang berlebihan. Untuk mencapainya mereka mengerahkan segala upaya. Kalau perlu, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Ada juga istilah banting tulang, peras keringat. Untuk upaya yang keras seperti itu, bahkan seringkali terucap, jangankan yang halal, mencari harta yang haram di zaman seperti ini, susahnya minta ampun. Naudzu billaah. Ujung-ujungnya, begitu banyak orang membutakan mata dan hati mereka, untuk kemudian dengan berbagai alasan, mereka mencari, menumpuk dan menikmati harta yang campur-aduk antara halal dan haram. Mencari, menumpuk dan menikmati harta yang tidak jelas asal-usul halal dan haramnya.

Sampai kemudian, mereka sampai di suatu titik, di mana Tuhan mengirimkan pesan-pesan melalui berbagai kejadian buruk yang menimpa diri maupun orang-orang di sekelilingnya. Entah itu penyakit tak tersembuhkan, anak jadi pecandu narkoba, istri selingkuh bahkan menjemput kematian dengan menjatuhkan diri dari gedung bertingkat sambil bersenandung: I Believe I Can Fly. Harta memang bisa membawa manusia menuju kebahagiaan, tetapi bukan satu-satunya. Di tangan orang-orang yang serakah, harta menjadi sumber bencana. Dalam skala tertentu, negeri ini berada pada kondisi carut-marut seperti ini, salah satu penyebabnya adalah keserakahan beberapa manusia dalam mencari kekayaan.

Selain harta, banyak orang mencari kebahagiaan melalui jalan-jalan kekuasaan, jodoh, keluarga, ilmu pengetahuan, hubungan persahabatan atau kondisi kesehatan. Akan tetapi, meskipun kebahagiaan sudah menjadi tujuan manusia sejak lama, dan manusia sudah menguras akal, menghabiskan tenaga, waktu dan dana yang teramat besar untuk mendapatkannya, masih begitu banyak orang yang tidak puas akan hal ini.

Bukan karena mereka tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Sebagian besar dari mereka sudah mendapatkannya. Bahkan ada di antara mereka yang meraih posisi, di atas yang mereka inginkan.
Harta berlimpah, kekuasaan yang langgeng bertahun-tahun, jodoh lebih dari satu, keluarga dengan banyak anak, gelar akademis berderet-deret, ternyata bukan jalan kebahagiaan yang abadi. Hidup bahagia selama-lamanya, sepertinya hanya ada di dalam dongeng-dongeng masa kecil. Benarkah demikian?

Mungkin ada benarnya, apabila kita mengingat satu tema besar dari kehidupan, yaitu perubahan. Buku 'The Changes Master' menyebutkan bahwa sepanjang usia bumi, tidak ada satupun yang lepas dari perubahan. Tiada yang tetap kecuali perubahan. Perubahan adalah lagu abadi yang berputar sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dan ketika perubahan terus-menerus terjadi tanpa bisa dicegah, apa yang bisa dilakukan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang langgeng sebagaimana dongeng di masa kecil?

Sebuah peristiwa kecil mudah-mudahan bisa menjadi jawaban pertanyaan besar itu. Dan itu terjadi pada anak saya. Dalam banyak hal, saya memang banyak belajar dari kehidupannya. Sejak kecil, Riza, anak saya satu-satunya, sangat menyukai kereta api. Segala hal tentang kereta api menjadi koleksinya. Suatu ketika, kami melintas di jalan KH Abdullah Syafii. Menjelang rel kereta api, lonceng tanda kereta api hendak lewat mulai berbunyi.

Palang pintunya mulai bergerak menutup. Ketika itu, saya berniat untuk menerobos, karena biasanya kereta api melintas agak lama. Tidak ada satu pun mobil atau kendaraan lain yang bisa menghalangi. Tapi suara kecil anak saya, secara refleks memerintahkan kaki saya menginjak pedal rem, bukan gas.

"Berhenti Pak. Aku mau lihat kereta!"

Saya hampir yakin, ketika kita berada pada posisi demikian, biasanya kita mengambil langkah untuk melanjutkan perjalanan tanpa menunggu kereta api lewat karena jarang sekali ada orang yang mau berlama-lama menunggu antrian. Wajah-wajah kesal menunggu kereta api lewat biasanya terlihat pada sebagian besar pengemudi. Lain lagi dengan wajah anak saya. Ia tampak begitu gembira. Tidak ada rasa kesal sedikit pun di wajahnya.

Timbul satu pertanyaan. Peristiwanya sama, yaitu menunggu kereta api lewat. Tapi sikap yang timbul berbeda. Ada yang kesal. Ada yang menggerutu. Ada yang asyik bertelepon ria atau menjawab SMS. Tapi di luar itu, ada juga yang gembira menunggu rangkaian kereta api berlalu.

Di saat yang lain, saya banyak menemukan berbagai peristiwa, yang disikapi berbeda oleh orang-orang berbeda. Di negeri ini, begitu banyak kekurangan fisik pada diri seseorang digunakan untuk mengeruk belas kasih orang lain. Di sisi lain, saya banyak menemukan contoh lain, di mana orang-orang yang diberi karunia cacat fisik, berhasil keluar dari belenggu kecacatannya.

Sebut saja Helen Keller yang dilahirkan dalam keadaan buta, tapi tidak pernah melepas senyum dari bibirnya. Ada John Foppe anak muda tanpa lengan, atau Tony Christiansen, anak muda tanpa kaki, yang menjadi motivator kelas dunia. Di Banda Aceh, Allah mempertemukan saya dengan anak muda bernama Rahmat.

Ia masih kuliah, dan saat ini menjadi pemimpin dari puluhan pedagang kaki lima di kota Banda Aceh, untuk bersama-sama keluar dari himpitan kesulitan akibat Tsunami. Anak muda ini lahir tanpa lengan. Tapi saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia bisa melakukan hampr semua hal, tanpa bantuan orang lain. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya.

Bahkan sekali waktu ia pernah bergurau. Ia sedang bingung. "Saya bingung, bagaimana saya menerima buku catatan baik atau buruknya kehidupan saya di dunia ketika di akhirat nanti, karena saya tidak punya tangan?" katanya santai, ketika seorang ustadz selesai berceramah tentang hari pembalasan.

Benang merah beberapa peristiwa di atas adalah, bahwa setiap peristiwa, setiap kejadian, hadir di dalam kehidupan manusia dalam keadaan telanjang. Manusialah yang kemudian memberinya baju. Entah itu berkah, atau musibah. Entah itu kesenangan, atau kesusahan. Entah itu positif, atau negatif. Intinya, manusia lah yang memberi arti bagi setiap kejadian yang menimpa dirinya.

Di sinilah saya ingin menawarkan pada anda, satu cara lain dalam mencari kebahagiaan dalam kehidupan. Bukan dari faktor di luar diri, tetapi justru dari dalam diri kita sendiri. Berbeda dengan cara pertama, cara yang saya tawarkan tidak tergantung dari kejadian yang kita alami, tetapi dari perangkat sikap kita sendiri. Perangkat sikap yang diatur oleh otak dan hati. Kebahagiaan ini, sekali lagi, berasal dari dalam diri kita sendiri.

John Foppe, Tony Christiansen atau Rahmat, memberi arti positif bagi cacat tubuhnya. Di sisi lain, banyak orang normal yang memberi arti negatif bagi keutuhan fisiknya. Dan proses memberi arti itu lah yang kemudian menentukan, seseorang bisa berbahagia selamanya, atau sengsara seumur hidup.

Pendeknya, kita bisa bahagia atau sengsara, hanya dengan memberi arti bagi setiap peristiwa. Kita bisa memberi arti menyenangkan bagi setiap peristiwa untuk menjadi bahagia. Atau kita bisa memberi cap menyedihkan bagi setiap peristitiwa untuk menjadi sengsara. Pilihan ada di tangan kita masing-masing. Mau bahagia, atau mau sengsara seumur hidup. Kita semua, bebas menentukan pilihan.

Orang bodoh, kalah oleh orang pintar
Orang pintar, kalah oleh orang licik
Orang licik, kalah oleh orang beruntung

Saya dapat untaian inspiratif itu dari Pak Chairul Tanjung. Menarik, tapi izinkan saya sedikit menambahkan. Orang bebas, tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Jadi kalau Anda mau berbahagia dalam setiap episode kehidupan Anda, jadilah orang bebas. Kabar sedih atau gembira, anda tetap bahagia. Kejadian baik atau buruk, anda tetap bahagia. Anda miskin atau kaya, raut bahagia tidak bisa lepas dari wajah anda. Dalam posisi seperti ini, jangankan manusia. Bahkan Tuhan pun tidak bisa membuat Anda bersedih.

Selama ini mungkin kita mencari kebahagiaan melalui jalan-jalan kekuasaan, jodoh, keluarga, ilmu pengetahuan, hubungan persahabatan atau kondisi kesehatan. Mungkin kita mencarinya dari jalan yang lain, tetapi hampir pasti kita mencari sumber kebahagiaan dari luar diri sendiri. Padahal sumber kebahagiaan tidak ada di luar diri kita. Sumber kebahagiaan itu ada dalam diri kita. Tepatnya di otak dan hati kita masing-masing.

Sayangnya, kita lebih sering kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan kita. Bahkan lebih ekstrim lagi, kita lah yang dikontrol oleh pikiran dan perasaan itu, dalam bentuk hawa nafsu. Ketika kita menjadikan hawa nafsu sebagai hamba, maka ia akan bertindak sebagai hamba yang patuh. Tapi ketika hawa nafsu menjadi raja dalam diri kita, maka ia akan menjadi raja yang bengis.

Bahagia yang saya maksudkan di sini adalah bahagia yang unconditional. Bahagia tanpa syarat. Artinya, sedih atau senang, lagu yang diputar adalah lagu Kemesraan. Lain halnya dengan bahagia yang berasal dari luar diri. Ia selalu kondisional. Ada prasyarat sebelum kebahagiaan itu dirasakan. Lagu yang diputar, tergantung dari kondisi yang ada. Kalau senang, bisa lagu Kemesraan. Kalau kena musibah, lagunya Mimpi Sedih. Salah satu syairnya menyebutkan, "... Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan..."

Orang yang mampu menerima apapun keputusan Tuhan, ibarat laut, yang siap menerima apa saja yang datang. Tanpa memilih. Air got, air sungai, limbah pabrik dan sebagainya, diterima dengan lapang dada. Dalam posisi seperti ini, tidak seorang pun mampu membuatnya bersedih. (sumber : ramadan.detik.com)

Ingatlah! Suatu Saat, Kecantikan Tak Lagi Berarti

“Jeng, tahu nggak, ibu muda cantik yang Jeng ajak bicara ketika pengajian Muharram kemarin sudah meninggal!”

“Innalillahi wa innailaihi raaji’uun. Sepertinya Jeng Nida tidak punya sakit yang serius. Lalu beliau meninggal karena apa Jeng Lis?” tanya Ratna penasaran.

“Lha, ya itu yang menjadi teka-teki. Katanya tidak ada tanda-tanda kalau Jeng Nida mau meninggal. Waktu pagi dan siang hari beliau biasa momong bayinya. Eh, tiba-tiba malam hari meninggal.”

“Eh, Jeng, bagaimana ya kalau itu terjadi pada kita?”

“Jangan ngomong gitu ah, ngeri! Lagian anak-anak kita masih kecil. Kasihan kalau tidak ada ibunya!”

***
Obrolan tersebut menunjukkan betapa misteriusnya kematian. Datangnya tak disangka-sangka, hadirnya pun tak diharapkan. Padahal kita tahu dan sering menyaksikan kejadian alamiah ini.

Kullu nafsin dzaaiqatul-mauut
. Tiap-tiap yang berjiwa pasti mati.

Kematian sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa. Sebagai wanita, hampir setiap hari kita melihat kematian. Ketika kita memasak ikan atau ayam, maka ikan dan ayam tersebut tadinya hidup, lalu mati.

Tapi herannya, banyak di antara kita yang tak bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari peristiwa ini. Kematian di sekeliling kita, termasuk dalam rutinitas kerja, tak mampu menggetarkan hati.

Kematian tetangga pun tetap tak memecut hati untuk mengingat kematian. Bahkan bencana dahsyat seperti tsunami di Aceh, banjir lumpur di Jember, tanah longsor di Banjarnegara, yang menelan ratusan korban, tak juga menyadarkan kita akan dekatnya kematian. Barulah ketika salah seorang keluarga meninggal dunia, kita tersentak dan merasa sangat kehilangan. Kita merasa bagaikan orang yang paling menderita di dunia. Tak jarang sampai tak sadarkan diri.

Seharusnya, kita senantiasa sadar akan adanya hidup setelah kematian. Dengan begitu kita bisa menyikapi kematian dengan bijaksana.

Anak-anak pun harus diajari apa hakikat kematian itu. Dengan demikian mereka memiliki sikap yang benar ketika menghadapi kematian. Setidaknya, mereka tidak trauma berkepanjangan ketika suatu hari orang-orang yang mereka cintai pergi ke alam baka.

Selalu Ingat

Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti punya maksud atas setiap kematian. Buat kita yang masih hidup, kematian tak lain adalah peringatan agar kita tidak terlena kepada kehidupan yang semu, lalu lalai dari tujuan hidup yang sebenarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menangguhkan (kematian)-ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang orang yang saleh.’” (Al-Munaafiqun: 9-10)

Begitulah manusia, tempat lalai dan lupa, selalu menunda-nunda pekerjaan yang baik dan terlalu panjang cita-cita. Ketika ajal mejemput, barulah menyesal karena lupa mempersiapkan hari esok.

Jika diingatkan secara halus tak bisa, perlu peringatan keras (berupa kematian) agar manusia mau introspeksi diri. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik nasihat adalah kematian.”

Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu mengingat mati. Bahkan, ziarah kubur yang dulunya dilarang bagi kaum wanita, kemudian malah dianjurkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi, seperti kutipan di bawah ini:

Pada suatu hari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah datang dari kuburan. Lalu aku bertanya padanya, “Wahai Ummul-Mukminin, darimanakah engkau?” ‘Aisyah menjawab, “Dari kuburan saudaraku, Abdurrahman.’ Kemudian kutanyakan lagi, “Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” ‘Aisyah menjawab, “Benar, beliau pernah melarang ziarah kubur, akan tetapi kemudian beliau menyuruhnya.” Adz-Dzahabi mengatakan hadits ini shahih.

Membuat Hidup Optimis

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bila kamu berada pada waktu sore, maka janganlah menantikan waktu pagi. Dan bila kamu berada pada waktu pagi, jangan nantikan waktu sore. Pergunakan masa sehatmu untuk menyongsong masa sakitmu, dan pergunakan masa hidupmu untuk menyongsong saat kematianmu.” (Riwayat Bukhari)

Waktu terus berlalu dan tak bisa diulang kembali. Inilah konsep hidup yang dinamis. Sebagai Muslimah, tiada kata nanti untuk berbuat kebaikan. Tiada kamus malas dalam kehidupan.

Dengan selalu mengingat bahwa hidup adalah ladang menanam amal kebaikan, yang akan dituai setelah kematian, bisa menumbuhkan motivasi yang besar untuk selalu berkarya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya untuk orang lain?

Nah, seharusnya seorang Muslimah tidak perlu takut menghadapi kematian. Justru kematian adalah gerbang menuju hidup yang abadi. Menghadap Ilahi adalah kebahagian sejati. Dengan adanya konsep hidup setelah mati, hidup Muslimah jadi terarah pasti.

Tetapi kita juga dilarang berharap kematian sekalipun penderitaan menimpa bertubi-tubi. Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu sekalian mengharapkan mati. Karena kalau ia orang baik, maka mungkin masih bisa menambah kebaikannya, dan kalau ia jahat maka mungkin ia akan menghentikan kejahatannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Seandainya terpaksa harus menginginkan mati, maka hendaklah berdoa, “Allaahumma ahyinii maa kaanatil-hayaatu khairan lii, watawaffanii idzaa kaanatil wafaatu khairan lii” (Wahai Allah, lanjutkan hidupku ini kalau hidup ini memang baik bagiku, dan matikanlah aku seandainya mati itu lebih baik bagiku). (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Sejarah telah mencatat begitu banyak Muslimah maju ke medan perang dan tak takut mati. Pada awal perjuangan Islam, justru istri dan putri-putri Nabi menjadi penyokong perjuangan tegaknya Islam. Tak bisa diukur begitu besar pengorbanan yang mereka berikan. Pada kurun waktu berikutnya, tak sedikit Muslimah yang ikut berperang di garis belakang. Bahkan ketika keadaan mendesak, mereka tampil di garis depan.

Pahala menjadi seorang syahidah mampu mengalahkan rasa takut akan kematian. Bila non-Muslim ingin hidup selamanya, maka sebaliknya, Muslimah menantikan syahid di jalan Allah. Tak ada kematian yang sia-sia dalam Islam. Walau mati di tempat tidur, jika diniatkan ibadah, tetap bisa masuk surga. Apalagi yang jelas-jelas ada dalilnya, seperti ibu yang meninggal ketika melahirkan dan sebelum menyapih anaknya.

Jadi, tak ada alasan bagi kita untuk takut mati. Yang penting bagaimana kita menyiapkan diri untuk menyongsongnya. (sumber : hidayatulloh.com)

Memupuk Amal di Usia Senja


MEMUPUK amal shalih semestinya dilakukan sejak muda. Dengan begitu, perjalanan hidup kita akan sarat dengan amal kebaikan sebagai syarat mencapai khusnul khatimah, akhir kehidupan yang baik.

Namun, kalau usia ditakdirkan sampai lanjut, lalu belum juga menyadari pentingnya memupuk amal baik, tentu ini suatu musibah dan perlu diingatkan.

Tidak sedikit orang yang mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika usia senja. Tapi karena dia mampu manfaatkan seluruh waktu sisanya untuk beramal baik, akhirnya bisa mendapatkan khusnul khatimah.

Orang tersebut sangat mensyukuri petunjuk yang diperoleh itu. Dia terima sebagai satu karunia besar sebagai bukti kasih sayang Allah kepadanya. Dia begitu ngeri membayangkan betapa celakanya seandainya masih berlarut-larut dalam kezhaliman sampai tiba ajalnya.

Kalau seseorang memperturutkan keinginan hawa nafsu, sampai kapanpun tidak akan berhenti. Tidak sedikit orang yang sampai tua tidak pernah berpikir untuk melakukan amal baik sebagai bekal paling berharga untuk hari esok yang abadi. Tidak memanfaatkan uangnya, misalnya, untuk membantu kesulitan orang lain dan kemaslahatan umat.

Kegembiraannya adalah bila harta bendanya terus bertambah. Dengan sejumlah harta yang dimiliki itu, alangkah indahnya kalau sebagian disalurkan kepada orang-orang miskin. Jelas, itu berarti membahagiakan sekian banyak orang sekaligus bakal mendatangkan ganjaran di sisi Allah.

Tentu saja tidak dilarang mencari dan meraup apa saja yang mampu diperoleh, asal dengan cara yang benar dan tidak bakhil. Orang bakhil diancam oleh Allah dengan neraka.

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-sekali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah (neraka).” (Al-Humazah: 1-4)

Sebenarnya, selain ancaman kecelakaan di akhirat yang sudah sangat pasti, di dunia inipun orang tersebut akan merasakannya. Sejumlah uang dan harta yang dikumpulkan akan mengganggu pikiran dan perasaannya dikala sudah renta. Sebab pada saat seperti itu, kebutuhan terhadap makanan yang enak-enak sudah menurun. Demikian pula keinginan untuk berjalan-jalan, misalnya, sudah terganggu oleh mata yang makin kabur. Pendengaran juga sudah tidak jelas. Lalu apa yang bisa dinikmati dan dibangga-banggakan?

Malah bisa jadi anak dan cucunya akan bergantian datang memperbodohnya agar dapat menguras seluruh harta kekayaannya!

Rakus dan Panjang Angan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Anak cucu Adam akan menjadi tua renta, namun ada dua hal yang masih tetap bersamanya, yaitu rakus dan panjang angan-angan.” (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, kedua hal di atas tidak boleh dituruti. Itu adalah tantangan yang harus dilawan dengan keimanan dan keyakinan yang terpatri di dalam jiwa.

Sebagai orangtua, siapapun harus berpikir positif. Kecenderungan untuk rakus terhadap dunia hendaknya dibendung dan diredam. Apalagi kalau kebiasaan menipu dan meraih kekayaan dengan manipulasi masih dipertahankan, na’udzu billahi min dzalik.

Angan-angan yang masih jauh beterbangan untuk membangun istana yang lebih indah daripada yang ada sekarang, hendaknya sudah diikat dan diarahkan kepada cita-cita untuk mendapatkan istana di surga. Untuk itu, memiliki harta di usia lanjut itu adalah karunia yang harus disalurkan ke jalan yang diridhai Allah.

Hal lain yang tak kalah penting adalah memanfaatkan waktu untuk banyak berdzikir, merenung, dan istighfar.

Kehidupan Abu Dzar Al-Ghiffari, salah seorang sahabat Nabi, sangat patut dijadikan pelajaran. Pada usia tuanya, dia memilih tinggal di sebuah kemah yang jauh dari keramaian. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan puasa, dzikir, membaca, dan berpikir.

Seorang sahabat mengunjunginya lalu bertanya, “Dimana kekayaan duniamu?”

Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkan dunia di rumahku. Bukankah Rasulullah telah berpesan kepada kita bahwa, ‘Di depan nanti akan ada tantangan yang sangat berat dan hanya orang yang tidak dibebani dunia yang mampu melewatinya’?”

Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyyah, di masa tuanya tidak punya rumah, kekayaan, pangkat, dan kedudukan. Tempat tinggalnya cuma sebuah kamar kecil yang menempel di Masjid Jami’ Bani Umayyah. Sehari hanya makan sepotong roti, pakaiannya hanya dua lembar, dan terkadang tidurnya di masjid. Tapi dia ceritakan tentang dirinya, “Surgaku ada di dalam dadaku, kematianku adalah syahid, penjara bagiku adalah tempat merenung, dan pengusiran diriku adalah sebuah perjalanan wisata.”

Mungkin kehidupan seperti itu sulit kita ikuti. Tapi, marilah menyadari betapa indahnya kehidupan orang yang tidak diperbudak oleh dunia. Demikianlah kondisi orang yang telah mampu mematri iman di dalam dadanya dan mengerti hakikat hidup yang sebenarnya. Yang demikian ini kebahagiaannya jauh melebihi orang-orang yang masih mudah tertarik gebyar dunia.

Sikap yang Tepat

Apa yang mesti diperbuat terhadap harta benda yang kita genggam di usia senja? Cara yang paling tepat adalah memanfaatkan itu semua untuk kepentingan hari akhirat.

Sungguh menjadi hiburan yang paling membahagiakan manakala kita mampu menginfakkan harta dan uang kepada orang yang sangat membutuhkan. Tentu ia akan sangat senang menerimanya. Sama dengan orang yang mentransfer ilmunya lalu orang itu memanfaatkannya untuk kemaslahatan diri, rumah tangga, dan masyarakat.

Di usia senja, semestinya jadwal ibadah sudah tidak lepas dari ingatan. Tiada lagi hari tanpa shalat jamaah, tiada hari tanpa dzikir dan renungan, tiada hari tanpa membaca al-Qur`an, tiada hari tanpa diisi dengan shalat-shalat sunnat, tiada hari tanpa bersedekah dan menolong orang. Hari-harinya juga akan selalu digunakan untuk merekam dan merenungi kejadian di sekelilingnya tentang musibah, kecelakaan, kematian dan peristiwa-peristiwa lain.

Musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam baru-baru ini tentu sangat patut direnungi. Allah hanya perlu waktu 20 menit untuk menghilangkan ratusan ribu manusia dan menghancurkan bangunan-bangunan di Aceh. Untuk merehabnya, butuh waktu minimal lima tahun. Itupun hanya dari segi fisik. Sementara manusianya sudah kehilangan begitu banyak hal; kehilangan masa lalu karena tidak ada lagi arsip dan dokumen yang tertinggal, dan kehilangan masa depan karena tak ada lagi harta warisan yang tersisa.

Kontrol Amal dan Ibadah

Dalam beramal, hati harus dijaga agar tetap dalam koridor ketulusan dan keikhlasan. Suka dipuji dan disanjung-sanjung, senang pamer dan doyan publikasi, itu semua harus sudah ditinggalkan.

Pelaksanaan ibadah mahdhah juga harus selalu dikontrol. Sudah benarkah menurut tuntunan sunnah? Kalau ada orang yang menunjukkan paham yang lebih benar dengan landasan yang cukup kuat, mengapa tidak diterima dengan penuh kesadaran walaupun paham yang kita anut telah lama dipegang. Jangan malah orang yang mengingatkan itu dimarahi dan diomeli. Sesungguhnya orang tersebut ingin menyelamatkan kita dan untuk mendapatkan pahala dari Allah.

Alangkah indah kehidupan yang berujung dengan khusnul khatimah. Kepergiannya akan dikenang sepanjang masa. Namanya selalu disebut-sebut karena kebaikannya akan sulit terlupakan. Turunannya akan kecipratan kebaikan, dan itu merupakan tambahan nilai yang dapat memberatkan timbangan kebaikan.

Mari kita renungi sabda Nabi, “Orang beriman jika meninggal, dia beristirahat dari kepayahan dunia dan segala gangguannya menuju kepada rahmat Allah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Kematian, kata Nabi, adalah hadiah Allah kepada orang beriman. Demikian hadits yang diriwayatkan Dhailamiy. (sumber : Hidayatullah.com)