PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Rabu, 25 Maret 2020

Wabah dan Sikap Ilmiah


Musuh terbesar manusia adalah ketidaktahuannya sendiri. Ketidaktahuan inilah yang akan terus menggoda manusia untuk membuat cerita-cerita fantastis tentang dirinya, sesamanya, dan juga lingkungan sekitarnya. Kecenderungan ini ada di setiap masa, dengan konteks dan spektrum yang berbeda.

Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang manusia tentang dirinya sendiri kita sebut sebagai sikap delusional atau waham kebesaran. Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang manusia tentang sesamanya kita sebut sebagai gosip. Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang atau sekelompok orang tentang lingkungan sekitarnya kita sebut sebagai mitos.

Di balik cerita-cerita megah dan fantastis itu sebenarnya terdapat ketidaktahuan yang coba ditutupi dengan cerita khayal dan fantasi liar. Untuk memahami sebuah peristiwa atau gejala alam yang tidak mampu ia pahami, misalnya, manusia membuat penjelasan yang paling sederhana yang sesuai dengan keyakinan personalnya. Dari situ kemudian lahir mitos-mitos yang belakangan berguguran setelah terbantah oleh temuan-temuan ilmiah.

Dulu, misalnya, nenek moyang kita percaya bahwa gerhana bulan itu terjadi karena bulan dimakan oleh sesosok makhluk bernama Batara Kala. Lalu muncul keyakinan turunan: jika sedang terjadi gerhana, kita tidak boleh keluar rumah. Persis seperti inilah sikap dan pandangan sebagian umat beragama dalam menghadapi virus corona.

Virus, meskipun memilik efek kausal yang jelas, merupakan entitas biologis yang tak terlihat oleh mata telanjang. Untuk melihatnya, kita memerlukan alat. Ketakterlihatan oleh mata telanjang inilah yang menyisakan lubang ketidaktahuan bagi orang awam. Maka, untuk menutupi lubang ketidaktahuan itu, mereka mencari satu penjelasan yang paling sesuai dengan apa yang sudah diyakininya. Orang-orang beragama, misalnya, akan memilih penjelasan yang didasarkan pada agama.

Hal tersebut sudah terbukti. Salah seorang penceramah dalam satu kesempatan bilang bahwa corona adalah tentara Allah. Tentu pernyataan ini tidak benar, tetapi tetap saja disampaikan, sebab ia sesuai dengan keyakinan personal sang penceramah.

Sebab, jika memang benar bahwa corona adalah tentara Allah, maka tentu ia hanya akan menyerang musuh-musuh Allah. Namun, faktanya, wabah ini menyerang siapa saja, tak peduli apa suku dan agamanya. Apakah umat muslim seperti di Iran, Arab Saudi, Bahrain, Malaysia, dan juga Indonesia yang terkena corona juga termasuk musuh Allah? Tentu akan sangat menyakiti sesama muslim jika penceramah tersebut berani menjawab 'iya'.

Terlepas dari soal etis atau tidak dalam melabeli seseorang sebagai musuh Allah, hal yang sangat memilukan dari pernyataan tersebut adalah ketiadaan sikap ilmiah: sebuah sikap yang lebih menghargai upaya empiris dan rasional daripada praduga-praduga simplistik yang serampangan dalam menjelaskan dan menyelesaikan persoalan. Karena tiadanya sikap ilmiah inilah, kemudian muncul pernyataan-pernyataan lain yang lebih konyol, seperti corona adalah azab Allah atau corona bisa ditangkal dengan doa qunut.

Itulah sikap antisains yang bisa jadi justru lebih berbahaya daripada corona itu sendiri. Sikap antisains lainnya yang ditunjukkan oleh sebagian umat beragama belakangan ini adalah sikap tidak takut corona. Mereka memiliki keyakinan teologis bahwa siapa pun yang akan terinfeksi virus itu sudah ditentukan oleh Allah, sehingga kita tidak perlu takut pada virusnya tetapi takutlah pada Allah.

Pada tingkat keyakinan, pandangan tersebut mungkin saja dibenarkan, sebab di dalam teologi sendiri memang ada beragam pandangan, yang salah satunya adalah pandangan fatalistik seperti itu. Namun, keyakinan tersebut akan menjadi satu hal yang sangat berbahaya saat diturunkan pada tingkat tindakan: orang-orang ngeyel dengan imbauan untuk menghindari keramaian dan malah berkumpul dalam jumlah ribuan untuk doa bersama atau kegiatan keagamaan lainnya. Alasannya: "Virus adalah ciptaan Allah. Kami tidak takut pada virus, kami hanya takut pada penciptanya, yaitu Allah."

Kebebalan yang dibungkus dengan narasi teologis dalam menyikapi virus corona itu mengingatkan saya pada novel The Plague (1948). Novel yang ditulis oleh Albert Camus ini bercerita tentang Kota Oran yang diserang wabah mematikan. Setidaknya ada dua tokoh penting dalam novel ini, yaitu Dokter Bernard Rieux dan Pastur Paneloux.

Sebagai seorang dokter, Rieux tentu merespons wabah yang menyerang banyak orang dan hewan itu dengan sikap ilmiah. Selain melakukan upaya-upaya medis, Rieux juga mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas guna menghentikan penyebaran wabah. Paneloux, sebagai seorang pastur, malah berkhotbah dan mengajak umatnya untuk banyak berdoa.

Dalam salah satu khotbahnya, Sang Pastur itu bahkan berkata:

Saudara-saudaraku! Bencana mencengkeram kota kita karena memang sepantasnyalah Anda sekalian mendapatkan kemalangan itu.

Pertama-tama bencana itu muncul dalam sejarah ialah untuk menyerang musuh-musuh Tuhan. Fir'aun memerangi takdir Yang Kuasa, kemudian wabah membuat dia bertekuk lutut. Sejak permulaan sejarah dunia, bencana Tuhan mengalahkan orang-orang yang angkuh dan buta terhadap ajaran-Nya. Renungkanlah itu baik-baik serta berlututlah kalian!

Dia adalah pastur yang sangat disegani. Saat khotbah tersebut disampaikan, penduduk kota memenuhi ruangan gereja, bahkan sampai tumpah hingga di halaman depan serta anak-anak tangga paling bawah. Begitu Sang Pastur berkata, "Berlututlah kalian!", beberapa orang bahkan langsung meluncur dari kursi mereka untuk berlutut sebagai tanda penyesalan atas dosa-dosa.

Namun, setelah khotbah itu, wabah tidak juga mereda. Bahkan satu bocah tanpa dosa meninggal karenanya. Di situ Dokter Rieux semakin jengkel dengan Pastur Paneloux yang terus-menerus berkhotbah bahwa wabah adalah azab Tuhan untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan setelah kematian bocah tanpa dosa itu, Pastur Paneloux masih saja berapologi dalam khotbahnya bahwa kematian tersebut adalah ujian keimanan. 

Beberapa saat setelah itu, Sang Pastur sendiri yang sakit. Tetapi, dia menolak untuk memanggil dokter, dan hanya pasrah pada Tuhan, dan akhirnya dia pun meninggal. Tentu saja dia orang suci dan bukan musuh Tuhan dan kita juga tidak tahu iman siapa yang sedang diuji saat dia sendiri yang meninggal. 

Jika Sang Pastur itu dianggap meninggal karena wabah, maka yang membunuhnya sebenarnya bukan wabah, melainkan sikapnya sendiri yang menjauhi sikap ilmiah. Saya berharap itu tidak terjadi pada masyarakat Indonesia, masyarakat yang menaruh kepercayaan tinggi pada agama. 

Memang tidak ada yang salah dengan berdoa. Hanya saja, untuk hal-hal yang sekiranya masih bisa diupayakan oleh daya manusia, kita tak perlu bikin repot Tuhan yang telah memberi kita akal agar menjadi makhluk terbaik di antara makhluk-makhluk-Nya. Sikap ilmiah adalah upaya untuk menggunakan akal sampai pada batas terjauhnya. 

Jadi, dengan sikap ilmiah, kita sebenarnya ingin memastikan bahwa Tuhan menciptakan akal tidak sia-sia.
___________________________
Ditulis oleh : Taufiqurrahman peneliti di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics
Source : https://news.detik.com/kolom/d-4953578/wabah-dan-sikap-ilmiah

 Update by Cak1 @ Jkt 26032020

Senin, 23 Maret 2020

Sapa Aruh

Oleh : Ingkang Sampeyan Dalem Sri Sultan Hamengkubowono X
(Raja Kasultannan Ngayogjakarta Hadiningrat/ Gubernur Daerah Istimewa Yogyakara).

Assalammualaikum wr. wb.

Mugi Gusti Allah tansah paring berkah tumraping kita sadaya,
Para warga Ngayogyakarta, uga anak-anakku kang lagi sinau ing omah,
para sedulur kabeh wae,

Ingsun, Hamengku Buwono, ing dina kang kebak was-was lan tidha-tidha iki, nyuwun para warga sami ndedonga konjuk ing ngarsaning Gusti Allah, mugi kita saged enggal kaparingan pepadhang. Ing tanggap darurat awit saka sumebaring virus corona iki, kudu diadhepi kanthi sabar-tawakal, tulus-ikhlas, pasrah lahir-batin, lan kairing ikhtiyar kang tanpa kendhat. Semono uga, kita, kang kajibah ngesuhi para kawula. “Wong sabar rejekine jembar, Ngalah urip luwih berkah”.

Beda karo prastawa lindhu gedhe taun 2006 kang kasat-mata. Saiki, kang aran virus corona iku yen lumebu ing badan kita ora bisa karasa lan tekane uga ora kanyana-nyana. Kita kabeh kudu bisa njaga sehat, laku prihatin, lan uga wajib ngecakake aturan baku saka sumber resmi pamarentah kang wis diumumke ing masarakat. “Gusti paring dalan kanggo sapa wae gelem ndalan”.

Mula pamundhutku, sing padha eling lan waspada. Eling marang Kang Gawe Agesang kanthi “lampah” ratri, zikir wengi, nyuwun pangaksami lan pangayomane Gusti. Waspada kanthi reresik diri lan lingkungane dewe-dewe. Nek krasa kurang sehat kudu ngerti lan narima yen wajib “mengisolasi diri” pribadi sajrone 14 dina. Jaga pribadi. Jaga keluwarga. Jaga paseduluran. Jaga masarakat. Kanthi jaga, rada ngadohi kumpul-kumpul bebarengan yen pancen ora wigati tenan. Bisa uga kita rumangsa sehat, ning ora ana kang bisa mesthekake yen kita bener sehat. Malah bisa uga nggawa bibit lelara. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan”. Pamundhutku mung saklimah: ”Sing ngati-ati!”

Mung kita bisa atur pangajab nyuwun kalis ing bebaya lan tulak-sarik, lan uga bisaa tinebihna saka memala kang luwih gede sanggane tumraping kita manungsa.

Pamujiku: “Sehat, sehat, sehat!”. Mugi Gusti Allah ngijabahi. Rahayu kang pinanggih. Aamiin. 

Nuwun. Wassalamualaikum wr. wb.

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,
Senin Pon, 23 Maret 2020, 28 Rejeb taun Wawu 1953
HAMENGKU BUWONO

__________________________
Updated by Cak_1 @ Jkt 23032020
Source : https://www.krjogja.com

Rabu, 04 Maret 2020

Hadirnya COVID-19, Momen untuk Koreksi Diri

Penyakit COVID-19, yang disebabkan oleh virus korona saat ini menjadi penyakit yang ditakuti oleh masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat yang panik beramai-ramai memborong masker dan bahan makanan.

Wasekjen Majelis Ulama Indonesi (MUI), Anwar Abbas pun menanggapi soal COVID-19 tersebut persoalan tersebut.

“Kalau ada suatu musibah yang menimpa kita umat Islam, maka dalam perspektif Islam ada tiga kemungkinannya. Pertama ujian dari Allah, kedua azab dari-Nya dan ketiga karena cinta-Nya kepada kita. Dan kita tidak tahu apakah kehadiran virus korona ini ujian, azab, dan atau karena cinta Allah kepada kita,” katanya dalam keterangan pers, Selasa (3/3/2020).

Intinya, Anwar mengimbau, dengan adanya COVID-19 ini bisa dijadikan momen umat Islam untuk mengoreksi diri dan memperbaiki tingkah laku yang selama ini telah dilakukan.

“Kalau perilakunya belum baik, ya mungkin saja ini azab dari Tuhan kepada kita. Oleh karena itu kalau ini merupakan azab karena murka Tuhan kepada kita, maka kita minta ampunlah kepada-Nya agar dijauhkan dari azab ini,” ujar Anwar.

“Tapi kalau kita sudah berbuat baik dan benar selama ini, maka ini jelas bukan azab dari Allah tapi memang ujian dari-Nya kepada kita,” tutur Anwar.

Oleh karena itu sebagai orang yang beriman, kata Anwar, lebih mendekatkan diri dan menyebut nama Allah sebanyak mungkin agar terlindungi dari hal-hal buruk, terutama terhindar dari COVID-19.

“Untuk itu kita harus meningkatkan kesabaran kita agar semakin disayang oleh-NYA. Tetapi juga mungkin Tuhan sayang kepada kita sehingga dikasihnya kita penyakit, agar kita semakin dekat kepadanya dan semakin banyak menyebut nama-Nya sehingga sayang-Nya kepada kita semakin bertambah-tambah,” terangnya.
_______________________
Updated by Cak_1 @Jkt 04032020
Source : Eramuslim