Suatu kesempatan datang seorang ikhwah menghampiri, “Kak saya punya banyak masalah nih” sembari menunjukkan mimik pesimis.
“Ya, kenapa masalah sampai harus pusing?” kataku memulai pembicaraan.
“Gimana kak, anak-anak santri saya banyak yang mengeluh. Materi terlalu banyak, hafalan sudah menumpuk, belum lagi tugas menagih ”
“Dan termasuk antum juga yang mengeluh nih!” sindirku.
“Bagaimana tidak, saya sudah tidak punya semangat lagi mengajar” gerutunya.
“Mungkin antum tidak menyesuaikan materi , melebihi kapasitas kemampuan mereka”
“Mau diapa lagi, kita kan mau kejar target”.
“Yah kalau begitu, ini tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Hanyalah proses. Awalnya memang banyak mengeluh. Nanti mereka terbiasa sendiri. Nah sekarang, coba pegang buku kecil ini” tanyaku sambil menyodorkan buku dari tas.
“Gimana? Berat tidak?”.
“Tidak kak, ini ringan aja kok!”.
“kalau begitu, coba antum pegang, tahan sampai dua menit”.
“Agak lebih berat kak”.
“Sekarang tahan selama lima menit”.
“Huft saya nggak bisa, beratnya bertambah”.
“Sehari.. sepekan… sebulan…”.
“Hmm… semakin berat, saya tidak bisa tahan!!!
“Nah apa kira-kira yang antum bisa ambil dari kejadian tadi? Buku ini kan beratnya biasa-biasa saja. Tapi kok tiba-tiba antum nggak bisa tahan beratnya”.
“Menurut saya semakin lama, semakin berat, ”tandasnya.
“Yah! Begitulah juga dengan masalah. Sebenarnya permasalahannya sederhana sekali. Tetapi karena terus dipendam tidak selesai-selesai juga. Akhirnya menjadi berat beban yang sulit”.
Menurut Steven R Covey, “Beratnya sebuah persoalan tidak tergantung kepada besar kecilnya persoalan itu tetapi terletak pada berapa lama Anda menanggung atau membawa persoalan tersebut, semakin lama Anda menanggungnya makin semakin beratlah beban hidup Anda”. Maka sebisa mungkin anda meletakkan masalah, lalu pikirkan solusinya.
Tak ditawar lagi, manusia fitrahnya memang suka mengeluh. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (al- Ma’aarij:19). Lanjut ayat itu, ketika mendapat masalah langsung protes,” Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (al- Ma’aarij:20). Merasa berkecil hati dengan masalah, “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"(al-Fajr:16). Anehnya, ia baru menganggap tidak punya masalah ketika mendapat kesenangan, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Tuhanku telah memuliakanku".( al-Fajr:15).
Padahal, susah senang itu sama-sama punya masalah. Orang kadang tertipu dengan kesenangan. Kenikmatan dunia buatnya bukanlah ujian. Segala kondisi kehidupan itu selalu bercengkrama dengan masalah. Artinya hidup itu memang penuh dengan ujian dan masalah.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (al-Ankabut:2).
Kita akan selalu diuji untuk mendapatkan penghargaan ketingkat yang lebih tinggi. Namun perlu diketahui, ujian yang kita hadapi tidaklah diuji kecuali sesuai kemampuan masing-masing. Artinya, bagaimanapun masalahnya akan ada solusinya. Kita bisa melewatinya, Allah tidak begitu saja memberikan reward begitu saja. Harus ada sebabnya. Disini dilihat bagaimana kita menjalani prosesnya. Hasilnya itu tergantung kehendakNya. Sekedar mengeluh tanpa memikirkan solusi hanya membuang waktu saja. Toh masalah tetap akan ada silih berganti.
“Sekarang, antum pikirkan bagaimana caranya menghasilkan uang satu juta! Saya beri waktu dua menit saja. Entah bagaimana yang terlintas dalam pikiranmu” lanjutku.
“Iya kak, baiklah yang penting halal kan”
“Iya, terserah caranya bagaimana, selesai?”
“Iya sudah kepikir”
“Nah periksa kantong antum, berkurang atau bertambah satu juta di dompetnya antum?”
“Tidak, tetap aja”
“Kenapa bisa, padahal sedemikian matangnya pemikiran antum”
“Karena saya belum pergi mencarinya!”
Begitulah gambaran masalah itu. Ternyata, sekedar memikirkan solusinya itu tidak cukup. Berbicara tentang perubahan tanpa tindakan, tidak akan pernah terjadi perubahan. Kita harus melakukannya. Sekedar mengilmui tidaklah cukup, kita harus mengamalkan serta mendakwahkan.
Mengeluh memang sesuatu yang wajar, tetapi juga harus sesuai kadarnya. Jangan sampai kita hanya berkeluh kesah tanpa ada perubahan tindakan. Mengeluh pada yang Maha Besar, betapa kecilnya masalah itu di depanNya. Sampai-sampai seorang sahabat Rasululah ketika sendalnya hilang, bukannya langsung mengeluhkan pada manusia. Justru ia berdo’a dulu kepada Allah, lalu pergi mencarinya.
Sejatinya sepanjang hidup kita, ada yang lebih pantas mengeluh. Bekerja tanpa harus berhenti meskipun kita beristirahat. Dialah jantung kita. Sudah sekian tahun bekerja, 24 jam tanpa berhenti. Tapi tak pernah juga sekalipun mengeluhkan kerjanya, komplainbarang sepuluh menit saja sekedar istirahat.
Begitulah kehidupan, penuh dengan masalah. Tak harus membuat kita selalu ingin mengeluh. Meskipun kita tak ingin selalu dihimpit masalah. Ketahuilah! mungkin hari ini kita didera masalah besar. tetapi boleh jadi orang-orang dahulu masalahnya jauh lebih besar. ada orang lebih parah dari kita. Dahulu orang harus dibelah dua badannya untuk mempertahankan akidah. Kita mungkin cuma kendaraan mogok atau jalan macet, terpaksa mengeluh karena harus jalan kaki. Padahal dahulu orang mungkin harus berjalan kaki seharian di tengah padang pasir terik matahari.
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..” (al-Baqarah:185)
Kita kadang tidak sadar begitu banyak nikmat Allah yang dikaruniakan. Solusinya cuma mengeluh saja. Sementara lupa untuk selalu bersyukur. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alam Nasyrah:5).
Oleh : Muhammad Scilta Riska (eramuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar