PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Rabu, 25 April 2012

IKHTIAR DAN DO’A

“Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazan waa’udzu bika minal ‘ajzi walkasali wa a’udzubika minal bukhli wal jubni wa a’udzu bika min ghalabatiddain wa qahrirrijal.” 

(Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari rundungan sedih dan duka, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang.
*** 
 Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna seorang aktifis pergerakan Ikhwanul Muslimin dan tokoh ulama Mesir mencantumkan untaian do’a di atas dalam kitabnya “Al-Matsurat” yang berisi kumpulan dzikir dan do’a bagi kaum muslimin terutama yang bergerak langsung dalam bidang da’wah, karena mereka akan banyak me-ngalami tantangan dari berbagai arah, bahkan dijelaskan dalam “Al-Wazhifat Al-Kubra” (Ke arah memahami Al-Matsurat) bahwa dengan mengamalkan wirid qurani, wirid matsurat dan do’a rabithah, jiwa, akal, emosi dan jasad para pengemban da’-wah akan memperoleh curahan rahmat dan berkah serta akan meneguhkan ikatan ukhuwah Islamiah dengan pemahaman dan pengamalan kandungannya.

Ketika manusia lahir ke dunia ini semuanya sama lemah tidak berdaya dan hanya berbekal harapan hidup. Kemudian jalan hidup pun kita jalani dengan kompetisi menuju satu maksud dan tujuan yaitu meraih kebahagiaan, sehingga satu sama lain mempunyai pengalaman yang berbeda, status sosial yang tidak sama serta tingkat kehidupan yang beragam.

Sering kita saksikan suasana kehidupan yang sangat mencolok, namun hal ini jangan dijadikan kecemburuan sosial yang menimbulkan pertenta-ngan kelas di masyarakat. Tapi juga jangan dibiarkan menjadi sebuah kewajaran yang tidak teratasi. Status hidup sangat ditentukan oleh besar tidaknya usaha manusia ke arah perubahan yang lebih baik, sebagaimana firman Allah SWT:

 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.”

Namun seberapa besar upaya manusia merubahnya, tidak bisa lepas dari keputusan yang Maha Kuasa. Karenanya, ikh-tiar manusia tidak cukup dengan ikhtiar badani saja, tapi harus dibarengi dengan permohonan ke-kuatan mencapai apa yang diharapkan. Jadi, ikh-tiar dalam kasab dan ikhtiar dalam do’a mutlak harus dilakukan oleh seseorang yang ingin mengu-bah keadaan hidupnya.

Bahkan dalam sebuah Hadits Qudsi dijelaskan peran ibadah (baca: do’a) sangat besar dalam kehidupan seorang manusia. Firman Allah: “Wahai anak cucu Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepada-Ku pasti hatimu akan kucurahkan ketenteraman dan lebar dada serta aku akan menutupi keadaanmu. Tapi jika kamu tidak beribadah ke-pada-Ku, Aku akan bebankan kepadamu kesibukan-kesibukan dan tidak pernah Kututupi kebutuhanmu.”

Manusia kerap mengalami ketegangan dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekelilingnya, baik secara langsung atau akibat lain yang membebani langkahnya. Karena itu Allah SWT dengan kemurahan-Nya membekali manusia dengan akal dan bimbingan wahyu yang secara lengkap diberikan contoh figur Rasulullah SAW.

Tapi setelah mengalami perjalanan hidupnya, banyak manusia yang tergoda oleh sampah duniawi dan terjerumus dalam perangkap Iblis la’natullah, sehingga menyimpang dari tujuan pokok yaitu beribadah kepada-Nya dan menjadi manusia sesat yang kehilangan pegangan. Sebab itu hubungan dengan Allah perlu diperkuat agar mendapat kemantapan dalam jiwanya. Manusia disuruh agar senatiasa berdo’a dan bermunajat kepada-Nya dengan memohon petunjuk-Nya setiap saat.

Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke masjid, dilihatnya seorang shahabat duduk tepekur berdzikir, terlihat khusyu’ dengan mata dibasahi air mata kebimbangan. Setelah didekati, ternyata dia adalah Abi Umamah Al-Bahily salah seorang shahabat yang dikenal tegar memperjuangkan dan membela Islam. Rasul pun bertanya: “Apa gera-ngan yang menyebabkan kedukaan ini ?” Diapun berkisah: ”Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang terlilit hutang teramat banyak sehingga aku tidak mampu melunasinya.” Rasulullah tertegun, kemudian bersabda; “Maukah kau kuajarkan sebuah do’a yang bisa membuat hatimu tenteram dan menghilangkan kegelisahanmu?” Abu Umamah mengangguk, maka Rasulullah membacakan do’anya: “Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazan waa’udzu bika minal ‘ajzi walkasali wa a’udzubika minal bukhli wal jubni wa a’udzu bika min ghalabatiddain wa qahririjal.” (Ya Allah, aku ber-lindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang.

Ternyata do’a pendek itu mampu membangkitkan gairah hidup Abu Umamah yang hampir terperosok dalam jurang keputusasaan dan rasa stress yang kronis. Ia pun bangkit dari duduknya dan menyingsingkan lengan bajunya untuk meng-aplikasikan do’a yang telah dia terima dari seorang utusan yang agung. Dia memahami betul makna dan maksud do’a yang sarat hikmah dan nasehat yang tinggi nilainya. Akhirnya dia menjadi seorang shahabat yang selalu optimis menghadapi kehidupan dan tidak pesimis atau putus asa dengan keadaan yang telah menimpanya, sehingga ia termasuk salah seorang yang disebutkan dalam Al-Quran “Yaitu mereka yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami memberi petunjuk kepada mereka dan sesungguhnya Allah bersama orang yang berbuat baik.”

Al-hammi dalam do’a di atas adalah rasa khawatir dan resah menghadapi kejadian yang akan menimpa sebelum terjadi. Pepatah mengatakan “kalah sebelum bertanding”, akibatnya selalu meng-ganggu pikiran dan menjadi beban hidup. Seharusnya seorang mu’min tidak gelisah menghadapi masa depan dan selalu berkeyakinan Al-ghadd biyadillah (masa depan di tangan Allah), sehingga tetap optimis menghadapi masa depan dengan usaha semaksimal mungkin.

Al-Hazan adalah kebingungan atas apa yang telah terjadi, terus larut dalam kesedihan yang ber-kepanjangan. Akibatnya jalan hidup tertutup dan hidup hanya berandai-andai dalam lamunan ham-pa. Sebuah sya’ir Arab menyebutkan:”Yang lalu biarlahlah berlalu, masa depan belumlah tahu, yang ada hanyalah sekarang yang sedang kau jalani.”

Al-’Ajzi ialah perasaan lemah tidak berdaya. Melihat orang lain maju tidak jadi pemicu gairah kerja, tetapi menimbulkan rasa rendah diri dan ketidakmampuan. Padahal setiap manusia diberi kelebihan dari yang lainnya.

Al-Kasal artinya tidak punya kemauan atau sifat malas yang tanpa alasan. Rasa malas ini lahir ketika melihat pekerjaan yang dia pandang tidak sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini diperlukan keseimbangan kerja sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, sehingga semangat kerja tetap stabil dan bergairah selalu.

Al-Bukhli berarti kikir, di mana seseorang telah meraih apa yang dicita-citakan, dia lupa daratan dan tidak ingat kejadian asalnya serta melupakan jasa orang kecil yang membantunya mencapai kesuksesan.

Al-Jubn adalah sifat rakus dan pengecut akibat rasa takut hilangnya harta atau jabatan yang ada dalam genggamannya. Berat rasanya dia tinggalkan kekayaan yang dia raih. Akibatnya menjadi seorang manusia yang diliputi rasa takut dan muncul sifat sombong dengan hasil usahanya tersebut.

Ghalabatu dain ialah terlilit hutang seperti yang terjadi pada Abu Umamah. Dengan menghindari diri dan berlindung kepada-Nya dari sifat Al-Hamm, Al-Hujn, Al-’Ajzi, Al-Kasal, Al-Bukhl dan Al-Jubn akan mudahlah dia menyelesaikan masa-lahnya serta bisa melunasi hutang-hutangnya.

Yang terakhir ialah Qahr ar-Rijal yaitu mohon perlindungan dari penindasan manusia disebabkan menurunnya martabat karena berhutang, menge-mis dan lain-lain. Dengan permohonan ini, ia akan menjadi manusia yang terhormat di hadapan Allah dan sesama manusia.

Demikianlah, apabila manusia dapat menjauhi sifat-sifat di atas dan mengamalkannya baik dalam do’a maupun ikhtiar, pastilah akan tercapai kebahagiaan yang diharapkan serta hilanglah rasa tertekan atau stress yang menjadi penyakit masyarakat modern sekarang ini dan menjadi manusia yang selalu optimis menghadapi masa depan. Insyaallah. (Sumber : Doa)

Selasa, 03 April 2012

Dia Lebih Pantas Mengeluh!

Suatu kesempatan datang seorang ikhwah menghampiri, “Kak saya punya banyak masalah nih” sembari menunjukkan mimik pesimis.

“Ya, kenapa masalah sampai harus pusing?” kataku memulai pembicaraan.

“Gimana kak, anak-anak santri saya banyak yang mengeluh. Materi terlalu banyak, hafalan sudah menumpuk, belum lagi tugas menagih ”

“Dan termasuk antum juga yang mengeluh nih!” sindirku.

“Bagaimana tidak, saya sudah tidak punya semangat lagi mengajar” gerutunya.

“Mungkin antum tidak menyesuaikan materi , melebihi kapasitas kemampuan mereka”

“Mau diapa lagi, kita kan mau kejar target”.

“Yah kalau begitu, ini tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Hanyalah proses. Awalnya memang banyak mengeluh. Nanti mereka terbiasa sendiri. Nah sekarang, coba pegang buku kecil ini” tanyaku sambil menyodorkan buku dari tas.

“Gimana? Berat tidak?”.

“Tidak kak, ini ringan aja kok!”.

“kalau begitu, coba antum pegang, tahan sampai dua menit”.

“Agak lebih berat kak”.

“Sekarang tahan selama lima menit”.

“Huft saya nggak bisa, beratnya bertambah”.

“Sehari.. sepekan… sebulan…”.

“Hmm… semakin berat, saya tidak bisa tahan!!!

“Nah apa kira-kira yang antum bisa ambil dari kejadian tadi? Buku ini kan beratnya biasa-biasa saja. Tapi kok tiba-tiba antum nggak bisa tahan beratnya”.

“Menurut saya semakin lama, semakin berat, ”tandasnya.

“Yah! Begitulah juga dengan masalah. Sebenarnya permasalahannya sederhana sekali. Tetapi karena terus dipendam tidak selesai-selesai juga. Akhirnya menjadi berat beban yang sulit”.

Menurut Steven R Covey, “Beratnya sebuah persoalan tidak tergantung kepada besar kecilnya persoalan itu tetapi terletak pada berapa lama Anda menanggung atau membawa persoalan tersebut, semakin lama Anda menanggungnya makin semakin beratlah beban hidup Anda”. Maka sebisa mungkin anda meletakkan masalah, lalu pikirkan solusinya.

Tak ditawar lagi, manusia fitrahnya memang suka mengeluh. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (al- Ma’aarij:19). Lanjut ayat itu, ketika mendapat masalah langsung protes,” Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (al- Ma’aarij:20). Merasa berkecil hati dengan masalah, “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"(al-Fajr:16). Anehnya, ia baru menganggap tidak punya masalah ketika mendapat kesenangan, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Tuhanku telah memuliakanku".( al-Fajr:15).

Padahal, susah senang itu sama-sama punya masalah. Orang kadang tertipu dengan kesenangan. Kenikmatan dunia buatnya bukanlah ujian. Segala kondisi kehidupan itu selalu bercengkrama dengan masalah. Artinya hidup itu memang penuh dengan ujian dan masalah.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (al-Ankabut:2).

Kita akan selalu diuji untuk mendapatkan penghargaan ketingkat yang lebih tinggi. Namun perlu diketahui, ujian yang kita hadapi tidaklah diuji kecuali sesuai kemampuan masing-masing. Artinya, bagaimanapun masalahnya akan ada solusinya. Kita bisa melewatinya, Allah tidak begitu saja memberikan reward begitu saja. Harus ada sebabnya. Disini dilihat bagaimana kita menjalani prosesnya. Hasilnya itu tergantung kehendakNya. Sekedar mengeluh tanpa memikirkan solusi hanya membuang waktu saja. Toh masalah tetap akan ada silih berganti.

“Sekarang, antum pikirkan bagaimana caranya menghasilkan uang satu juta! Saya beri waktu dua menit saja. Entah bagaimana yang terlintas dalam pikiranmu” lanjutku.

“Iya kak, baiklah yang penting halal kan”

“Iya, terserah caranya bagaimana, selesai?”

“Iya sudah kepikir”

“Nah periksa kantong antum, berkurang atau bertambah satu juta di dompetnya antum?”

“Tidak, tetap aja”

“Kenapa bisa, padahal sedemikian matangnya pemikiran antum”

“Karena saya belum pergi mencarinya!”

Begitulah gambaran masalah itu. Ternyata, sekedar memikirkan solusinya itu tidak cukup. Berbicara tentang perubahan tanpa tindakan, tidak akan pernah terjadi perubahan. Kita harus melakukannya. Sekedar mengilmui tidaklah cukup, kita harus mengamalkan serta mendakwahkan.

Mengeluh memang sesuatu yang wajar, tetapi juga harus sesuai kadarnya. Jangan sampai kita hanya berkeluh kesah tanpa ada perubahan tindakan. Mengeluh pada yang Maha Besar, betapa kecilnya masalah itu di depanNya. Sampai-sampai seorang sahabat Rasululah ketika sendalnya hilang, bukannya langsung mengeluhkan pada manusia. Justru ia berdo’a dulu kepada Allah, lalu pergi mencarinya.

Sejatinya sepanjang hidup kita, ada yang lebih pantas mengeluh. Bekerja tanpa harus berhenti meskipun kita beristirahat. Dialah jantung kita. Sudah sekian tahun bekerja, 24 jam tanpa berhenti. Tapi tak pernah juga sekalipun mengeluhkan kerjanya, komplainbarang sepuluh menit saja sekedar istirahat.

Begitulah kehidupan, penuh dengan masalah. Tak harus membuat kita selalu ingin mengeluh. Meskipun kita tak ingin selalu dihimpit masalah. Ketahuilah! mungkin hari ini kita didera masalah besar. tetapi boleh jadi orang-orang dahulu masalahnya jauh lebih besar. ada orang lebih parah dari kita. Dahulu orang harus dibelah dua badannya untuk mempertahankan akidah. Kita mungkin cuma kendaraan mogok atau jalan macet, terpaksa mengeluh karena harus jalan kaki. Padahal dahulu orang mungkin harus berjalan kaki seharian di tengah padang pasir terik matahari.

“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..” (al-Baqarah:185)

Kita kadang tidak sadar begitu banyak nikmat Allah yang dikaruniakan. Solusinya cuma mengeluh saja. Sementara lupa untuk selalu bersyukur. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(Alam Nasyrah:5).

Oleh : Muhammad Scilta Riska (eramuslim)

Masih Pantaskah Diriku Dipanggil Muslim?

Semenjak pulang dari pengajian “Jum’at Taqwa” di sekolahnya, Ahmad terlihat murung dan gelisah. Siswa kelas dua SMA ini kini mengalami suatu perubahan yang amat mencolok yaitu dia kini sangatlah rajin untuk shalat, tidak seperti sebelumnya yang begitu malas untuk shalat dan selalu menolak ketika diajak untuk shalat.

Perubahan ini disambut gembira oleh orang tua Ahmad, akan tetapi masih ada satu hal yang mengganjal dibenak orang tua Ahmad, kenapa Ahmad mengalami perubahan begitu drastis? Setelah diselidiki, ternyata Ahmad berubah setelah mendengarkan pengajian “Jum’at Taqwa” di sekolahnya. Pada saat itu, pengajian “Jum’at Taqwa” diisi oleh Ustadz Abduh dengan tema “Masih Pantaskah Diriku Dipanggil Muslim?”. Dalam pengajian itu, Ustasz Abduh mengupas tuntas tentang kafirnya orang yang tidak melaksanakan shalat. Dan isi materi ceramah Ustadz Abduh itulah yang menggugah hati Ahmad sehingga membuat Ahmad berubah menjadi seperti sekarang.

Setiap hari Ahmad selalu merenungi isi ceramah dari Ustadz Abduh yang begitu erat melekat kata-kata demi kata di dalam benaknya.

***

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”
(QS. Maryam : 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dari ayat Al Qur’an dan penjelasannya di atas, dapat kita ketahui bahwa orang yang menyia-nyiakan shalat ataupun meninggalkan shalat akan ditempatkan di sungai Al Ghoyya yang terletak di neraka Jahannam yang dalam. Sehingga kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang menyia-nyiakan shalat tergolong sebagai kafir karena ditempatkan di nerakan terdalam, sedangkan seandainya orang yang menyia-nyiakan shalat tidak termasuk kafir maka tentulah ia tidak akan diletakkan di neraka terdalam melainkan di neraka paling atas.

Sedangkan di dalam hadits, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam telah menerangkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat,

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.”
(HR. Muslim no. 257).

Dari hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa pembeda orang syirik dan kafir dengan orang muslim terletak pada shalat, jadi apabila seseorang muslim tidak shalat maka hilanglah pembeda antara dirinya dengan orang syirik dan kafir.

Selain dari Al Qur’an dan Al hadits, ijma’ para sahabat pun juga telah menerangkan bahwa kafirnya orang yang tidak melaksanakan shalat.

Umar mengatakan,

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209).

Selain dari Umar radhiyallahu ‘anha, mayoritas sahabat yang lain pun juga berpendapat kafirnya orang yang tidak shalat.

Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan seorang muslim dengan kafirin adalah terletak pada shalanya. Sehingga bukanlah seorang muslim orang yang tidak melaksanakan shalat.

Dan bagi yang merasa sering melupakan shalat ataupun tidak mengerjakan shalat maka bersegeralah untuk meminta ampun kepada Allah ta’ala, janganlah berlepas diri dari ampunanNya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Zumar: 53)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Furqan: 68-70)

Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa Allah ta’ala begitu besar ampunanNya, jadi selama nafas masih berhembus janganlah berlepas diri dari ampunanNya, teruslah bertaubat dengan sesungguh-sungguhnya. Insya Allah dosa-dosa kita akan diampuni.

***
Isi ceramah itulah yang begitu merasuk ke dalam jiwa Ahmad, sehingga Ahmad bertekad untuk tidak akan pernah lagi untuk meninggalkan shalat. Karena Ahmad masih ingin dipanggil sebagai seorang muslim…

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi).

Oleh : Abdul Al Hafizh (eramuslim)

Rahasia Rejeki

Jika belum rejeki, jangankan baru dihidangkan, nasi yang sudah di tanganpun belum tentu dapat dimakan dan ditelan. Kesadaran ini kembali aku dapatkan dari kisah Ihsan, Firman, Iqbal dan Irwan.

Tidak aneh dan tidak pula ada yang heran bila tahun ini Ihsan akan mendapatkan promosi jabatan. Ia salah satu dari beberapa karyawan unggulan. Hampir semua karyawan tahu dan mengakui prestasi Ihsan.

Tapi belakangan, ketika agenda promosi tinggal menghitung hari, sebuah kabar tersiar, mengejutkan seluruh karyawan, tak terkecuali Ihsan. Tahun ini, dengan beberapa pertimbangan, pihak manajemen perusahaan mengeluarkan satu kebijakan, tidak ada promosi jabatan. Promosi jabatan ini akan ditunda hingga setahun kedepan.

Jika beberapa karyawan protes dengan keputusan manajemen, Ihsan justru tidak terlalu kagaet dengan kabar ini. Ia telah mempersiapkan separuh hatinya untuk kemungkinan yang kini benar-benar terjadi.

“Ini sudah menjadi keputusan final manajemen perusahaan, karenanya kita harus menerimanya. Dan insya Allah, aku ikhlas. Kalau tidak kusiapkan separuh hatiku untuk kemungkinan ini, mungkin aku akan sangat kecewa. Jujur, separuh hatiku memang mengharapkan, tapi separuh lainnya telah kusiapkan untuk sebaliknya. Kita harus realistis. Boleh jadi akau termasuk salah satu karyawan yang dinominasikan mendapatkan promosi, tapi tentu saja bukan satu-satunya. Apalagi ternyata aku bukan tidak terpilih, tapi memang tidak ada promosi jabatan tahun ini.” Ihsan mencoba menenangkan kegundahan rekan-rekan dekatnya.

“Apa rencanamu selanjutnya?” salah satu rekan bertanya.

“Rencana?” Ihsan balik bertanya. “Tidak ada rencana baru kecuali bekerja sebagaimana biasa. Meski tak ada promosi, aku kan tetap bekerja di sini, dan tentu saja masih mendapatkan gaji. Iya, tho?” jawab Firman tertawa ringan.

Lain Ihsan lain lagi si Firman. Firman memang tidak termasuk karyawan unggulan. Namanya tidak tercantum di daftar pengajuan promosi karyawan. Tapi atasannya menilai Firman layak untuk dipertahankan. Jumlah penjualan yang tidak mencapai target memaksa manajemen perusahaan melakukan pengurangan karyawan. Dan secara nilai, Firman berada di posisi yang aman. Karenanya, atasan Firman menyuruhnya membuat tools box khusus untuk menyimpan peralatan kerja miliknya.

Butuh waktu satu minggu untuk Firman membuat tools box nya sendiri. Jika tugas utamanya selesai ia kerjakan, Firman kembali menyelesaikan proyek tools boxnya. Dan ia melakukannya dengan semangat. Tapi jangankan tahun depan, apa yang terjadi esok haripun tak ada manusia yang bisa memastikan. Begitupun Firman. Tak disangka sebelumnya, di keputusan final manajemen nama Firman justru muncul diantara karyawan yang tidak bisa dipertahankan.

“Semestinya hari ini Firman mulai menggunakan tools box nya,” ucap atasan Firman prihatin. Ia telah mencoba bernegosiasi ulang, tapi keputusan manajeman tetap tak bisa dirubah atau dibatalkan.

Setahun lalu, satu pelajaran juga kudapatkan dari Lukman. Prestasi kerjanya tak lagi diragukan. 90% promosi jabatan sudah mengarah kepadanya. Bahkan Iqbal ditunjuk sebagai salah satu anggota tim yang mempersiapkan beberapa karyawan yang akan mendapatkan promosi jabatan. Tapi manusia hanya bisa berencana dan berusaha, sedang hasil akhirnya Allah lah yang berkuasa menentukannya. Di hari-hari terakhir menjelang promosi, satu kabar sangat mengejutkan beredar dari mulut ke mulut. Dengan alasan yang tak dijelaskan, pihak manajemen membatalkan promosi Iqbal dan tetap memberikan promosi kepada beberapa karyawan lainnya.

Masih ada satu lagi, beberapa minggu yang lalu, satu kejadian juga menggugah kesadaranku. Menjelang batas akhir penyerahan SPT tahun 2011 yaitu tanggal 31 Maret 2012, pihak manajemen membagikan bukti pemotongan PPh pasal 21 untuk diserahkan ke kantor pajak terdekat baik secara perorangan maupun kolektif, tapi yang jelas pihak manajemen tidak memfasilitasi penyerahan SPT ini secara kolektif. Dengan berbagai pertimbangan, beberapa karyawan termasuk aku akhirnya meminta bantuan Irwan untuk menyerahkan SPT ke kantor pajak secara kolektif, dengan kesepakatan akan memberikan sejumlah uang sebagai pengganti ongkos dan sekedar uang lelah tentunya.

SPT sudah dikumpulkan, termasuk sejumlah uang yang telah disepakati. Tapi tanpa tahu apa sebab pastinya, pihak manajemen menarik kembali bukti pemotongan PPh pasal 21 yang sudah dibagikan, termasuk milik kami yang sudah dibawa Irwan. Merasa belum melakukan apa-apa, Irwan mengembalikan uang yang telah masuk ke dompetnya. “Belum rejeki saya,” ucapnya sambil tertawa.

Demikianlah, seringkali kenyataan berbeda dari apa yang kita rencanakan, harapkan. Tak jarang kita meyakini bahwa keberuntungan, rejeki akan menjadi milik kita, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Begitulah Allah menetapkan, dengan satu tujuan, yang tentu saja adalah ketetapan yang terbaik untuk hamba Nya.

Kalau memang rejeki kita, walau di seberang lautan, selalu ada jalan, ada alasan. Entah kita yang akan menjemputnya, atau justru dia yang akan mendatangi kita. Begitupun sebaliknya seperti yang disebutkan di awal tulisan, jangankan baru dihidangkan, yang sudah ditangan saja belum tentu dimakan dan ditelan.

Kita, manusia, hanya wajib berdoa dan berusaha, tapi tidak wajib menentukan hasilnya. Setelah meluruskan niat, berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan dibarengi dengan doa yang tiada putus, serahkanlah hasil akhirnya pada Allah swt. Apapun hasil akhirnya, kita harus ikhlas menerimanya, karena keputusan Allah adalah yang terbaik untuk kita.

*nama-nama dalam tulisan ini bukan nama sebenarnya.
(sumber : Eramuslim)