Bekerja menjemput rezeki itu adalah perintah Allah Swt. Siapa yang bekerja menjemput rezeki yang telah Allah Swt. sediakan, maka sesungguhnya manusia tersebut telah menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Sebaliknya, manusia yang berpangku tangan dan enggan bekerja menjemput rezeki, manusia tersebut tergolong manusia yang tidak disenangi Allah Swt.
Sebetulnya, manusia itu tanpa diperintah pun secara naluriah sudah terdorong untuk melakukan pekerjaan, apa pun itu pekerjaannya. Antara manusia dan bekerja itu sudah menjadi kesatuan yang melekat jadi kesatuan. Namun, kenyataan banyak yang tak segaris dengan fitrah seharusnya. Banyak manusia yang tertahan fitrah untuk bekerjanya oleh rasa malas yang sebagian besar berasal dari penyebar konten negatif yang berbisik dalam hati. Maka yang harus kita lakukan adalah lawan, dan bekerjalah!
Manusia yang bekerja pun kadang terjebak pada persepsi keliru dalam merumuskan datangnya rezeki. Salah satu kesalahan dalam memahami konsep rezeki, contohnya ialah saat manusia bekerja, lalu mendapatkan rezeki banyak, manusia tersebut mengira bahwa rezekinya itu adalah hasil jerih payahnya. Akibatnya, banyak manusia yang terjebak dalam ruang keangkuhan, kesombongan atas segala hal yang dikerjakan dan didapatkan. Seharusnya, manusia itu berprinsip dalam bekerja itu adalah menunaikan ketaatan kepada Allah Swt. Adapun hasilnya, sedikit banyaknya rezeki adalah hak Allah Swt. dalam menentukan apa yang baik didapatkan oleh manusia yang bekerja tersebut.
Penting kiranya kita memperjelas dan mempertegas bagaimana rumus rezeki menurut Islam berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadis. Jika rumus canggih tersebut belum dipahami dengan baik, maka sama saja kita belum bisa dengan baik memahami fitrah penciptaan dan rubûbiyyah Allah dalam hal rezeki. Sebaliknya, jika konsep rezeki ini dipahami dan diimani dengan baik, siapa pun manusianya akan menjadi manusia yang bisa menikmati hidup tenang tenteram sekaligus menyuburkan rasa syukur dengan taat mengabdi pada Allah Swt.
Pahami-lah
rumus rezeki dalam Islam yang dimulai dengan firman Allah Swt. berikut.
وَمَامِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Hûd [11]: 6)
Firman Allah tersebut menegaskan bahwa rezeki itu pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh manusia. Rezeki adalah hak Allah yang pasti akan diberikan kepada manusia. Manusia sama sekali tidak puny ahak untuk menentukan seberapa besar, apa, dan bagaimana cara rezeki itu diterima. Semuanya ada dalam kewenangan Allah Swt. Bahkan, Allah Swt. menerangkan bahwa Allah-lah yang membeda-bedakan rezeki di antara manusia.
وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَآءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللهِ يَجْحَدُونَ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. Al-Nahl [16]: 71)
Apapun yang manusia lakukan untuk mendatangkan rezeki, sebetulnya sangat relatif dan pekerjaannya bukan penyebab utama datangnya rezeki Allah Swt. Sering kali ada manusia yang membanting tulang, bekerja sampai tidak mengenal waktu, hasilnya lebih sedikit dari pada manusia lain yang bekerja tidak terlampau keras dan dengan waktu yang terbatas. Kejadian seperti itu bukan kejadian yang menimpa satu atau dua orang saja, tapi sudah menjadi realitas di antara kita. Hal tersebut menjadi bukti bahwa rezeki seseorang tidak ditentukan oleh seberapa keras dia bekerja dan banyaknya waktu yang digunakan.
Keras dan tidaknya, banyak sedikitnya waktu yang digunakan sebetulnya pun tidak sia-sia karena menentukan kadar pahalanya di sisi Allah Swt. Maka rumusnya jelas, bahwa besar kecilnya rezeki tidak berkaitan dengan seberapa keras dan banyaknya waktu yang dipakai untuk bekerja menjemput rezeki karena itu sudah ditentukan Allah Swt. Segala daya upaya dan energi yang dicurahkan dalam menjemput rezeki itu kaitannya dengan kadar pahala yang akan dianugerahkan Allah Swt. kepada meraka yang menjalankan ketaatan dalam hal menjemput rezeki.
Lantas, bagaimana proses rezeki itu diberikan kepada manusia? Dalam hal tataran operasional ini, Rasulullah Saw. bersabda:
ذَكَرَ الَّطْيَر فَقَالَ: تَغْدُوْ خُمَاصًا وَ تَرُوْحُ بَطَانًا
“(Ketika ditanya mengenai rezeki manusia) Rasulullah saw. menyebutkan perihal rezeki burung, beliau bersabda, ‘Pagi hari ia terbang dalam keadaan perut kosong dan pada sore hari pulang dalam keadaan perutnya kenyang.” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Umar dengan sanad hasan-shahih)
Jelas sudah bahwa yang menjadi wasilah/perantara datangya rezeki Allah adalah kemauan manusia untuk “melata” di muka bumi dan tidak diam berpangku tangan di sarangnya, alias menganggur atau mager (malas gerak). Sangat jelas Rasulullah saw. mengatakan bahwa seperti burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam keadaan perut kosong, pulang dijamin perutnya dalam keadaan buncit dengan makanan.
Manusia pun demikian, siapa saja yang keluar dari rumahnya, berpikir kreatif untuk menggerakkan tangannya bekerja, maka Allah pasti memberikan jaminan akan mendapatkan rezeki sesuai dengan kebutuhannya. Terlebih bagi manusia bertakwa, Allah Swt. akan memberi anugerah berupa rezeki yang tidak disangka-sangka. Allah Swt. berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan memberikan jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. Al-Thalaq [65]: 2-3)
Apa yang harus dikerjakan? Tidak ada hal spesifik yang disebutkan Allah atau Rasul-Nya mengenai pekerjaan apa yang akan mendatangkan rezeki. Kalau ada penyebutan beberapa pekerjaan seperti pertukangan dan perdagangan, namun itu bukan pengkhusususan. Rasulullah hanya mencontohkan beberapa jenis pekerjaan saja.
Oleh sebab itu, pekerjaan apapun pasti akan bisa menjadi wasilah datangnya rezeki dari Allah Swt. dan hal itu merupakan janji Allah yang tidak mungkin dilanggar. Dengan pesan ini pula, setiap Muslim dituntut untuk memiliki jiwa enterpreuneur dan kreatif dalam bekerja sehingga tercipta peluang-peluang pekerjaan yang sangat luas.
Namun perlu ditegaskan kembali, bahwa bukan pekerjaan kita yang mendatangkan rezeki itu, melainkan Allah Swt. yang mencukupinya. Artinya, tidak perlu khawatir bahwa pekerjaan kita tidak bisa menjamin kebutuhan hisup kita. Fokus saja meyakini bahwa bekerja adalah kewajiban kita, yang tentu kita kerjakan berdasarkan kemampuan maksimal kita, sementara kebutuhan kita dalam hal rezeki adalah urusan dan hak Allah Swt.
Terlalu sering kita mengukur jumlah kebutuhan kita dengan pekerjaan yang sedang kita tekuni. Sering kali pula, dalam hitungan manusiawi kita, hasil dari pekerjaan kita tidak akan cukup untuk mememnuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga muncul pesimisme dalam diri kita dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Seringkali muncul bisikan dari penyebar konten hoax dan negatif (setan) dalam hati, “Penghasilanku tidak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Padahal, yang akan menutupi kebutuhan kita bukanlah kita, melainkan Allah Swt. Kalau kita sudah “keluar dari sarang” dan mengayunkan lengan menggerakkan langkah, maka Allah sudah pasti menjamin semua kebutuhan kita.
Bagaimana jika secara perhitungan matematis penghasilan kita tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari? Yakinlah bahwa Allah Swt, Mahakaya, Mahasejahtera. Allah bisa menurunkan rezeki untuk mencukupi apapun yang dibutuhkan seseorang (bukan apa yang diinginkan seseorang) dengan jalan apa saja, bahkan dari jalan yang tidak pernah disangka bagi mereka yang yakin dan bertakwa pada Allah Swt. Bisa jadi, rezeki yang langsung dihasilkan dari jalan usaha kita, secara hitungan, tidak mencukupi. Namun, tidak mustahil datangnya rezeki berasal dari jalan yang lain. Jalan-jalan yang lain itu setiap orang pernah mendapatkannya namun kadang tidak menyadari sebagai karunia dari Allah Swt. Padahal, itulah salah satu bukti bahwa rezeki sama sekali bukan kita yang mendatangkannya, melainkan datangnya dari Allah Swt.
Jika kita memahami rezeki dengan rumus seperti tadi, seorang mukmin tidak akan mengalami pesimisme dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Setiap hari, seorang mukmin akan menghadapi pagi hari dengan penuh optimisme dan menutup hari dengan bersyukur, suatu sikap yang sangat sehat dan akan membuka banyak pintu keberhasilan. Di samping itu, seorang mukmin pun akan jauh dari jebakan kesombongan diri karena sangat sadar bahwa apa yang diperolehnya sama sekali bukan hasil jerih payahnya, melainkan sebatas pemberian Allah Swt.
Wujud dari rasa syukur akan rezeki akan tercermin dengan tidak akan ada sama sekali rasa memiliki atas harta pemberian Allah Swt. tersebut. Semua dipahami sebagai titipan yang harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Harta yang tidak digunakan sebagaimana mestinya pun bisa mendatangkan murka Allah Swt. Maka, penting kiranya bagi yang sedang memiliki kelapangan rezeki untuk menganggap segala yang ada di genggamannya sebagai amanah yang harus dijaga dari segala bentuk penyelewengan (maksiat).
Yakin pada rumus rezeki yang difirmankan Allah Swt. dan dijelaskan Rasulullah saw. juga mengikis sifat pelit yang mencelakakan. Sifat pelit, kikir, bakhil seiring waktu hilang dan akan muncul dorongan untuk berinfak dan bersedekah sebagai ciri jiwa yang terbina untuk meraih derajat takwa.
___________________________________
Penulis: Hafidz Fuad Halimi 22 Jun 2023
Sumber : https://lazpersis.or.id/berita/rumus_rezeki_dalam_islam/detail
Updated : @Jkt-04032024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar