PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Kamis, 07 Maret 2024

Marhaban Ya Ramadhan 1445 H (2024)

 * Selamat Menjalan Ibadah Puasa Ramadhan 1445 H/ 2024 M, Berikut Dengan Segala Rangkaian-nya *

______________________

QS. Albaqarah-183

Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

*) @ Jkt-08032024


Senin, 04 Maret 2024

Memahami Hadits Masuk Surga dengan Rahmat Allah bukan Amal Saleh

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menjelaskan hakikat amal ibadah seorang hamba bahwa amal mereka sama sekali tidak bisa menjadi jaminan untuk masuk surga. Dalil semacam inilah yang seringkali disalahpahami oleh sebagian kalangan.

Mereka beranggapan bahwa masuk surga adalah kehendak Allah. Lalu untuk apa kita beramal di dunia? Bahkan yang lebih ekstrem, mereka berani menggugurkan perintah syariat jika telah sampai pada maqam hakikat. Bagaimana cara memahami hakikat dengan benar? Sebelum dibahas, kami kutip terlebih dahulu hadits Rasulullah saw berikut ini:

لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
 

Artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim).

Memang benar jika dikatakan masuk surga tidak didasarkan pada amal, melainkan fadhl (karunia) dan rahmat Allah. Akan tetapi menjadi tidak benar jika memiliki anggapan bahwa amal baik sama sekali tidak memiliki nilai apapun, atau bahkan masih mempertanyakan untuk apa beramal di dunia.

Kenapa demikian? Karena Allah telah memberikan sebuah bocoran dan kriteria para penghuni surga dalam firman-Nya, yaitu mereka yang beriman dan beramal kebajikan, mengikuti perintah juga menjauhi larangan-Nya sebagaimana tertulis dalam Surat An-Nisa’ ayat 122 berikut:

 وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلاًّ ظَلِيلاً

Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (Surat An-Nisa’ ayat 57).

Selain itu, makna yang tepat untuk hadits di atas tidaklah sebagaimana yang diterjemah secara tekstual. Ada banyak penafsiran para ulama yang pemahamannya justru tidak sebagaimana yang dipahami secara umum oleh beberapa kalangan yang menganggap bahwa amal tidak memiliki nilai apa-apa tanpa rahmat-Nya, sehingga mereka meyakini bahwa tidak ada gunanya beramal jika kemudian tidak ada rahmat di dalamnya.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam salah satu kitab syarah haditsnya mengatakan bahwa hadits di atas memiliki banyak penafsiran, setidaknya ada tiga pendapat ulama ahli hadits dalam mengartikan hadits di atas,

Pertama, taufiq untuk bisa melakukan suatu amal ibadah merupakan bentuk rahmat dari Allah yang sudah diberikan sejak sebelum seorang hamba melakukan ibadah;

Kedua, seorang hamba berhak mendapatkan rahmat, apabila ia sudah melakukan ketaatan. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak melakukan ketaatan tidak berhak mendapatkan rahmat Allah. Imam Ibnu Hajar mengibaratkan seorang budak yang berharap mendapatkan upah dari tuannya tanpa bekerja terlebih dahulu, tentu merupakan hal yang tidak mungkin. Sebab, upah akan diberikan apabila ia telah bekerja untuk tuannya.

Ketiga, inti masuk surga adalah murni rahmat dari Allah, akan tetapi nikmat di dalamnya akan berbeda sesuai dengan kadar amal yang dimiliki seseorang, jika kadar amalnya banyak, maka akan mendapatkan nikmat Allah yang juga banyak. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim yang nilai ketaatannya sedikit, akan masuk surga yang di dalamnya terdapat kenikmatan yang sedikit pula. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah, tahun cetak: 1379 H], juz XI, halaman 296).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya rahmat dan karunia dari Allah-lah yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga, akan tetapi keduanya bisa didapatkan oleh umat Islam ketika mereka sudah beramal sesuai dengan anjuran dalam ajaran Islam itu sendiri. Terus beramal sesuai syariat sebagai representasi patuh pada perintah-Nya dan meyakini bahwa bukan amal itu yang menyebabkan seseorang masuk surga.

Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitab haditsnya mengatakan bahwa dalam konteks ini, ulama Ahlussunnah wal Jamaah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Muktazilah yang menganggap bahwa wajib bagi Allah memberi pahala bagi yang melakukan ketaatan. Kedua perbedaan ini terletak dalam masalah amal baik seorang Muslim yang harus mendapatkan pahala dan kemudian masuk surga.

Menurut mazhab Ahlussunnah, Allah tidak menetapkan pahala, siksa, wajib, dan haram dalam semua tuntutan (taklif) berupa kewajiban dan keharaman. Semua kewajiban itu dilandasi oleh syariat. Oleh karenanya, Allah tetap adil apabila menyiksa mereka yang taat dan orang-orang saleh, begitu juga tetap adil apabila memuliakan orang kafir dan memasukkan mereka ke dalam surga. Akan tetapi, benarkah kelak Allah akan melakukan semua itu? Ternyata jawaban Imam Nawawi tidak demikian, ia mengatakan,

 وَلَكِنَّهُ أَخْبَرَ وَخَبَرُهُ صِدْقٌ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُ هَذَا بَلْ يَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُدْخِلُهُمْ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ وَيُعَذِّبُ الْمُنَافِقِيْنَ وَيُخَلِّدُهُمْ فِى النَّارِ عَدْلًا

Artinya, “(Meski demikian), namun Allah telah memberi khabar dan khabar-Nya benar bahwa Ia tidak akan melakukan demikian (sebagaimana penjelasan sebelumnya), akan tetapi memberi ampunan kepada orang mukmin dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat-Nya, dan menyiksa orang munafiq dan mengekalkan mereka dalam neraka karena adil.” (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan kedua: 1932 H], juz XVII, halaman 159).

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, kita semakin yakin bahwa memaknai hadits di atas serta meyakini bahwa amal seseorang tidak memiliki nilai apa-apa sangat keliru, dan kontradiksi dengan kebanyakan ayat dan hadits yang lain. Di antaranya, firman Allah swt dalam Surat Al-Ankabut, yaitu:


 وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفاً

Artinya, “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga.” (Surat Al-‘Ankabut ayat 58).

Alhasil, beramal saleh dan memperbanyak ketaatan tetap memiliki nilai sangat penting untuk selalu ditingkatkan oleh umat Islam. Pahala dan surga merupakan balasan logis dari adanya ibadah. Tanpanya, akan mustahil seseorang akan dimasukkan dalam surga oleh Allah swt.

Dengan kata lain, meski rahmat dan karunia menjadi poin tertinggi untuk meraih surga-Nya, amal ibadah tetap mendukung untuk menjadi salah satu alternatif meraih tempat yang penuh nikmat kelak di hari akhir tersebut. Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.

_________________________________

Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/memahami-hadits-masuk-surga-dengan-rahmat-allah-bukan-amal-saleh-Ev3M3
Update :: @Jkt, 05032024

Rumus Rezeki dalam Islam

Bekerja menjemput rezeki itu adalah perintah Allah Swt. Siapa yang bekerja menjemput rezeki yang telah Allah Swt. sediakan, maka sesungguhnya manusia tersebut telah menjalankan ketaatan kepada Allah  Swt. Sebaliknya, manusia yang berpangku tangan dan enggan bekerja menjemput rezeki, manusia tersebut tergolong manusia yang tidak disenangi Allah Swt.

Sebetulnya, manusia itu tanpa diperintah pun secara naluriah sudah terdorong untuk melakukan pekerjaan, apa pun itu pekerjaannya. Antara manusia dan bekerja itu sudah menjadi kesatuan yang melekat jadi kesatuan. Namun, kenyataan banyak yang tak segaris dengan fitrah seharusnya. Banyak manusia yang tertahan fitrah untuk bekerjanya oleh rasa malas yang sebagian besar berasal dari penyebar konten negatif yang berbisik dalam hati. Maka yang harus kita lakukan adalah lawan, dan bekerjalah!

Manusia yang bekerja pun kadang terjebak pada persepsi keliru dalam merumuskan datangnya rezeki. Salah satu kesalahan dalam memahami konsep rezeki, contohnya ialah saat manusia bekerja, lalu mendapatkan rezeki banyak, manusia tersebut mengira bahwa rezekinya itu adalah hasil jerih payahnya. Akibatnya, banyak manusia yang terjebak dalam ruang keangkuhan, kesombongan atas segala hal yang dikerjakan dan didapatkan. Seharusnya, manusia itu berprinsip dalam bekerja itu adalah menunaikan ketaatan kepada Allah Swt. Adapun hasilnya, sedikit banyaknya rezeki adalah hak Allah Swt. dalam menentukan apa yang baik didapatkan oleh manusia yang bekerja tersebut.

Penting kiranya kita memperjelas dan mempertegas bagaimana rumus rezeki menurut Islam berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadis. Jika rumus canggih tersebut belum dipahami dengan baik, maka sama saja kita belum bisa dengan baik memahami fitrah penciptaan dan rubûbiyyah Allah dalam hal rezeki. Sebaliknya, jika konsep rezeki ini dipahami dan diimani dengan baik, siapa pun manusianya akan menjadi manusia yang bisa menikmati hidup tenang tenteram sekaligus menyuburkan rasa syukur dengan taat mengabdi pada Allah Swt.

Pahami-lah rumus rezeki dalam Islam yang dimulai dengan firman Allah Swt. berikut.

وَمَامِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Q.S. Hûd [11]: 6)

Firman Allah tersebut menegaskan bahwa rezeki itu pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh manusia. Rezeki adalah hak Allah yang pasti akan diberikan kepada manusia. Manusia sama sekali tidak puny ahak untuk menentukan seberapa besar, apa, dan bagaimana cara rezeki itu diterima. Semuanya ada dalam kewenangan Allah Swt. Bahkan, Allah Swt. menerangkan bahwa Allah-lah yang membeda-bedakan rezeki di antara manusia.

وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَآءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللهِ يَجْحَدُونَ

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (Q.S. Al-Nahl [16]: 71)

Apapun yang manusia lakukan untuk mendatangkan rezeki, sebetulnya sangat relatif dan pekerjaannya bukan penyebab utama datangnya rezeki Allah Swt. Sering kali ada manusia yang membanting tulang, bekerja sampai tidak mengenal waktu, hasilnya lebih sedikit dari pada manusia lain yang bekerja tidak terlampau keras dan dengan waktu yang terbatas. Kejadian seperti itu bukan kejadian yang menimpa satu atau dua orang saja, tapi sudah menjadi realitas di antara kita. Hal tersebut menjadi bukti bahwa rezeki seseorang tidak ditentukan oleh seberapa keras dia bekerja dan banyaknya waktu yang digunakan.

Keras dan tidaknya, banyak sedikitnya waktu  yang digunakan sebetulnya pun tidak sia-sia karena menentukan kadar pahalanya di sisi Allah Swt. Maka rumusnya jelas, bahwa besar kecilnya rezeki tidak berkaitan dengan seberapa keras dan banyaknya waktu yang dipakai untuk bekerja menjemput rezeki karena itu sudah ditentukan Allah Swt. Segala daya upaya dan energi yang dicurahkan dalam menjemput rezeki itu kaitannya dengan kadar pahala yang akan dianugerahkan Allah Swt. kepada meraka yang menjalankan ketaatan dalam hal menjemput rezeki.

Lantas, bagaimana proses rezeki itu diberikan kepada manusia? Dalam hal tataran operasional ini, Rasulullah Saw. bersabda:

ذَكَرَ الَّطْيَر فَقَالَ: تَغْدُوْ خُمَاصًا وَ تَرُوْحُ بَطَانًا

(Ketika ditanya mengenai rezeki manusia) Rasulullah saw. menyebutkan perihal rezeki burung, beliau bersabda, ‘Pagi hari ia terbang dalam keadaan perut kosong dan pada sore hari pulang dalam keadaan perutnya kenyang.” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Umar dengan sanad hasan-shahih)

Jelas sudah bahwa yang menjadi wasilah/perantara datangya rezeki Allah adalah kemauan manusia untuk “melata” di muka bumi dan tidak diam berpangku tangan di sarangnya, alias menganggur atau mager (malas gerak). Sangat jelas Rasulullah saw. mengatakan bahwa seperti burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam keadaan perut kosong, pulang dijamin perutnya dalam keadaan buncit dengan makanan.

Manusia pun demikian, siapa saja yang keluar dari rumahnya, berpikir kreatif untuk menggerakkan tangannya bekerja, maka Allah pasti memberikan jaminan akan mendapatkan rezeki sesuai dengan kebutuhannya. Terlebih bagi manusia bertakwa, Allah Swt. akan memberi anugerah berupa rezeki yang tidak disangka-sangka. Allah Swt. berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ

Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan memberikan jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. (Q.S. Al-Thalaq [65]: 2-3)

Apa yang harus dikerjakan? Tidak ada hal spesifik yang disebutkan Allah atau Rasul-Nya mengenai pekerjaan apa yang akan mendatangkan rezeki. Kalau ada penyebutan beberapa pekerjaan seperti pertukangan dan perdagangan, namun itu bukan pengkhusususan. Rasulullah hanya mencontohkan beberapa jenis pekerjaan saja.

Oleh sebab itu, pekerjaan apapun pasti akan bisa menjadi wasilah datangnya rezeki dari Allah Swt. dan hal itu merupakan janji Allah yang tidak mungkin dilanggar. Dengan pesan ini pula, setiap Muslim dituntut untuk memiliki jiwa enterpreuneur dan kreatif dalam bekerja sehingga tercipta peluang-peluang pekerjaan yang sangat luas.

Namun perlu ditegaskan kembali, bahwa bukan pekerjaan kita yang mendatangkan rezeki itu, melainkan Allah Swt. yang mencukupinya. Artinya, tidak perlu khawatir bahwa pekerjaan kita tidak bisa menjamin kebutuhan hisup kita. Fokus saja meyakini bahwa bekerja adalah kewajiban kita, yang tentu kita kerjakan berdasarkan kemampuan maksimal kita, sementara kebutuhan kita dalam hal rezeki adalah urusan dan hak Allah Swt.

Terlalu sering kita mengukur jumlah kebutuhan kita dengan pekerjaan yang sedang kita tekuni. Sering kali pula, dalam hitungan manusiawi kita, hasil dari pekerjaan kita tidak akan cukup untuk mememnuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga muncul pesimisme dalam diri kita dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Seringkali muncul bisikan dari penyebar konten hoax dan negatif (setan) dalam hati, “Penghasilanku tidak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Padahal, yang akan menutupi kebutuhan kita bukanlah kita, melainkan Allah Swt. Kalau kita sudah “keluar dari sarang” dan mengayunkan lengan menggerakkan langkah, maka Allah sudah pasti menjamin semua kebutuhan kita.

Bagaimana jika secara perhitungan matematis penghasilan kita tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari? Yakinlah bahwa Allah Swt, Mahakaya, Mahasejahtera. Allah bisa menurunkan rezeki untuk mencukupi apapun yang dibutuhkan seseorang (bukan apa yang diinginkan seseorang) dengan jalan apa saja, bahkan dari jalan yang tidak pernah disangka bagi mereka yang yakin dan bertakwa pada Allah Swt. Bisa jadi, rezeki yang langsung dihasilkan dari jalan usaha kita, secara hitungan, tidak mencukupi.  Namun, tidak mustahil datangnya rezeki berasal dari jalan yang lain. Jalan-jalan yang lain itu setiap orang pernah mendapatkannya namun kadang tidak menyadari sebagai karunia dari Allah Swt. Padahal, itulah salah satu bukti bahwa rezeki sama sekali bukan kita yang mendatangkannya, melainkan datangnya dari Allah Swt.

Jika kita memahami rezeki dengan rumus seperti tadi, seorang mukmin tidak akan mengalami pesimisme dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Setiap hari, seorang mukmin akan menghadapi pagi hari dengan penuh optimisme dan menutup hari dengan bersyukur, suatu sikap yang sangat sehat dan akan membuka banyak pintu keberhasilan. Di samping itu, seorang mukmin pun akan jauh dari jebakan kesombongan diri karena sangat sadar bahwa apa yang diperolehnya sama sekali bukan hasil jerih payahnya, melainkan sebatas pemberian Allah Swt.

Wujud dari rasa syukur akan rezeki akan tercermin dengan tidak akan ada sama sekali rasa memiliki atas harta pemberian Allah Swt. tersebut. Semua dipahami sebagai titipan yang harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Harta yang tidak digunakan sebagaimana mestinya pun bisa mendatangkan murka Allah Swt. Maka, penting kiranya bagi yang sedang memiliki kelapangan rezeki untuk menganggap segala yang ada di genggamannya sebagai amanah yang harus dijaga dari segala bentuk penyelewengan (maksiat).

Yakin pada rumus rezeki yang difirmankan Allah Swt. dan dijelaskan Rasulullah saw. juga mengikis sifat pelit yang mencelakakan. Sifat pelit, kikir, bakhil seiring waktu hilang dan akan muncul dorongan untuk berinfak dan bersedekah sebagai ciri jiwa yang terbina untuk meraih derajat takwa.

___________________________________

Penulis: Hafidz Fuad Halimi 22 Jun 2023

Sumber : https://lazpersis.or.id/berita/rumus_rezeki_dalam_islam/detail

Updated : @Jkt-04032024