PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Selasa, 30 Januari 2024

Memaknai Isra Miraj

Isra-Miraj, merupakan wilayah keimanan yang bersifat beyond  atau melampaui yang niscaya diyakini oleh setiap muslim atas bukti kerisalahan Nabi Muhammad s.a.w.. Bagaimana  seorang muslim percaya atas kemukzizatan Nabi Muhammad diperjalankan Allah di malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina serta dimikrajkan ke langit hingga Sidratul Muntaha untuk menerima risalah Allah, di dalamnya ada kewajiban shalat lima waktu. Inilah salah satu dimensi iman terdalam dari keberagamaan yang mengandung banyak hikmah yang metafisik.

Peristiwa Isra Miraj bagi umat Islam dapat dimaknai sebagai peneguhan keimanan bahwa kita manusia harus mengimani segala kuasa Allah dalam kehidupan,  termasuk kemukjizatan yang diberikan kepada Nabi yang diberkahi-Nya. Jika Allah Maha Kuasa dalam menciptakan alam semesta dengan seluruh partikel dan isinya yang belum semua ilmu manusia menjangkau seluruhnya, maka segalanya menjadi sangat mudah bagi Allah untuk menyatukan Nabi tercinta dengan alam semesta yang sama-sama diciptakan dalam kuasa-Nya. Jika Alllah telah menciptakan hukum alam sebagai sunatullah yang eksak, menciptakan hukum kecepatan cahaya, bebas hukum gravitasi, dan ketakjuban ciptaan lainnya maka sangatlah mudah bagi Allah untuk memperjalankan hamba yang dicintai-Nya dari bumi sampai melampaui tujuh langit hingga ke Sidratul Muntaha. Lebih dari itupun segala hal sangatlah mudah bagi Allah Yang Maha Kuasa, termasuk menjdikan akhir kehidupan tibanya Hari Kiamat.

Maka beriman dan bertaqwa merupakan keyakinan terdalam bagi setiap insan beriman. Manusia yang kehilangan ruh iman dan taqwa masih harus belajar akan hakikat kehidupan yang tidak sekadar urusan ragad fisik dan rasio verbal. Ranah kehidupan metafisika dan melampaui pancaindra.  Imtak memperkaya jatidiri manusia sebagai makhluk Allah. Manusia beriman niscaya rendah hati dan tidak congkak dengan segala yang dimiliki, karena semuanya nisbi dan fana.  Dimensi iman dan takwa harus menjadi bagian penting dalam beragama, yang diaktualisasikan dalam sikap, pikiran, dan tindakan yang selalu menaati perintah Tuhan dan risalah Nabi untuk kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Perwujudannya berupa kesalehan hidup yang memancarkan kebaikan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan universal yang rahmatan lil-‘alamin.

Isra Miraj merupakan satu kesatuan dengan kerisalahan Nabi Muhammad membawa ajaran Islam. Wujudkan berislam yang damai, toleran, ukhuwah, dan menebar segala benih kebaikan sebagaimana risalah Nabi akhir zaman. Jauhi hal-hal yang menimbulkan masalah dan kerusakan dalam kehidupan.  Nabi diutus untuk menyempurnakan ahklak mulia dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dengan Isra dan Miraj juga kaum muslimin harus mengembangkan kecerdasan yang murni,  ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan dalam memahami segala ciptaan-Nya, serta melahirkan peradaban yang utama bagi kehidupan di alam semesta ini. Menjadi insan pembangun dan bukan insan perusak kehidupan. Jadilah pembelajar dan pemakmur kehidupan yang merahmati semesta. Nabi Muhammad hadir dengan risalahnya membangun al-Madinah al-Munawwarah, peradaban yang cerah-mencerahkan.
___________________________
 

Oleh : Prof Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)

Sumber : https://muhammadiyah.or.id/memaknai-isra-miraj/

Posting : @Jkt_31012024 Bertepatan 17 Rajab 1445H
 

Selasa, 23 Januari 2024

Tandhur Nafsun Ma Qoddamat Lighod

Tafsir Al Quran Surat Al Hasyr Ayat 18: Muhasabah Diri dan Proses Koreksi Menuju Kebaikan di Mata Allah SWT

Muhasabah diri, proses introspeksi dalam Islam, membantu manusia mengenali kesalahan dan kekurangannya untuk diperbaiki.

Koreksi diri, upaya memperbaiki kesalahan, adalah langkah penting setelah muhasabah dalam meraih kesempurnaan diri.

Dalam Tafsir Al Quran Surat Al Hasyr Ayat 18 menekankan pentingnya muhasabah dan koreksi diri untuk menghilangkan kekurangan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha waltanẓur nafsum mā qaddamat ligad, wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta'malụn/

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Muhasabah membantu manusia mengetahui kesalahan, sedangkan koreksi diri membawa perbaikan dan kemajuan dalam kehidupan.

Ayat 18 Surat Al-Hasyr mengajak umat Islam agar selalu bertaqwa dan memperhatikan amal perbuatan untuk hari esok, yakni kehidupan akhirat.

Ringkasan dari Kementrian Agama tentang Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18 mengajak agar setiap individu menjalani muhasabah dan koreksi diri dengan penuh kesungguhan.

Ayat ini memotivasi umat Islam untuk hidup dengan penuh kehati-hatian dan merenungkan akibat perbuatan di akhirat.

_________________________

Sumber : https://www.ihwal.id/khazanah/68211593952/tafsir-al-quran-surat-al-hasyr-ayat-18-muhasabah-diri-dan-proses-koreksi-menuju-kebaikan-di-mata-allah-swt

Posting : @Jkt 24012024

Qaulan Sadidan “Perkataan yang Tegas dan Benar”, Langkah Komunikasi Efektif

Rasulullah SAW  selalu mengingatkan kita untuk selalu mengatakan “Qulil haqqa walau kana murran,”  yang mengandung makna “Katakanlah yang benar walau itu pahit,” ini menegaskan karena memang kebenaran bagi sebagian orang  menjadi keadaan yang penuh dengan kepahitan itu sendiri. Penuh rekayasa dan syarat kamuflase, yang tanpa kita sadari menggrogoti sendi-sendi tatanan kehidupan, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, hoax berseliweran tanpa tabayun yang berimbang, seolah olah kebenaran enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun karena keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan kebenaran.

Allah SWT  menyuruh hamba-Nya untuk senantiasa menjaga perkataan yang tegas, atau “qaulan sadidan” yaitu konsep perkataan yang benar, tegas, jujur, lurus, tidak berbelit-belit dan tidak bertele-tele. Bahkan diantara kita pola berfikirnya harus fase demi fase “jika masih mudah mengapa dipersulit,” kerjakan urusan yang fokus baru menyelesaikan urusan yang lain, jangan sampai kebanyakan yang diurusin sehingga ampar-amparan, apalagi salah urus jauh lebih berbahaya.

Dalam Al-Qur’an, kata qaulan sadidan disebut 2 kali, yaitu :

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”

(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 9)

Asbabunnuzul An-Nisa ayat 9 kala Saad bin Abi Waqas hendak menyerahkan harta untuk diinfakkan,  maka Rasul bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada miskin yang meminta-minta kepada manusia” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam Tafsir al-Misbah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan Surat an-Nisa ayat 9 merupakan pedoman bagi umat Islam agar memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya. Ayat ini merupakan peringatakan bagi pemilik harta yang membagikan hartanya hingga anak-anaknya terbengkalai.

Qaulan Sadidan menurut pemaparan atau arti dari surat di atas yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi materi, isi, pesan maupun redaksi tata bahasa.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا ۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,”

(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 70)

Surat al-Ahzab ayat 70 dengan tegas memerintahkan umat Islam untuk berperilaku yang jujur. Kata jujur dalam bahasa Arab adalah الصدق yang artinya benar atau nyata. Dalam istilah Bahasa Indonesia, jujur bermakna kesesuaian antara informasi dan kenyataan, perbuatan dan ucapan.

Menjadi peribadi yang jujur bararti antara ucapan dan tindakannya selaras. Ia tidak pernah membuat kebohongan atau memanipulasi fakta, apa yang dikatakan berdasarkan kenyataan. Sifat jujur adalah cerminan dari rasa keimanan.

Dari kedua konteks ayatnya, qaulan sadida merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, dan perkataan yang benar tidak mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).

Meski jujur menjadi barang langka di era millenial sekarang ini, yang membutuhkan panduan serta arahan-arahan yang praktis dengan menggunakan media online. Kita pantas merasa takut jika meninggalkan generasi yang ‘lemah’ dengan generasi terdahulu. Maka kita harus mampu mengaplikasikan ‘qaulan sadida’ yaitu perkataan yang benar yang hendaknya harus menjadi patokan setiap muslim dalam berkata-kata dalam kehidupan sehari-hari. Banyak contoh kehidupan yang dapat kita jadikan itibar, bahkan ketika ditanya tentang siapa yang datang terlambat pada kelas kuliah jam 7 pagi, maka harus dijawab dengan jawaban yang benar, sekalipun itu berat untuk mengatakan yang jujur dan benar, tetapi Allah menjanjikan pahala yang besar untuk orang-orang yang berkata jujur dan benar kepada manusia. Apakah kita masih tergolong orang yang selalu berkata benar atau sebaliknya ? Wallahu’alam.

___________________________

Ditulis Oleh : Karyadi el-Mahfudz, S.Th.I, MA

Sumber : https://barometernews.id/qaulan-sadidan-perkataan-yang-tegas-dan-benar-langkah-komunikasi-efektif/

Posting : @Jkt 24012024

Senin, 22 Januari 2024

Bahaya Ghibah (Dilarang Bergunjing)

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya

-يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُڪُمۡ أَن يَأۡڪُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬ -١٢

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah( menggunjing) satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” [QS: 49 (al Hujurat) ayat 12.]

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya, seperti menggambarkannya dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan. Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu dimana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu.

Pengertian ini didasarkan  dari penjelasan Rasulullah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘  Beliau berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’[1]

Sesuatu yang tidak disukai oleh saudara atau orang lain biasanya menyangkut aib berupa kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya. Tak seorangpun senang aibnya diketahui orang lain. Membeberkan aib seseorang sama halnya mempermalukannya. Semua perbuatan yang membentuk kesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain berkesan buruk kepadanya termasuk dalam kategori ghibah. Aisyah pernah menceritakan seorang isteri nabi lainnya di sisi Nabi SAW dan menyebut-nyebut kekurangannya. Kontan beliau bersabda: “Sungguh engkau telah mengghibahnya.”[2]

Pada umumnya manusia tidak suka kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya menjadi bahan perbincangan publik. An Nawawi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang disebut antara lain: keadaan tubuhnya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, isterinya, pembantunya, pakaiannya, gerak-geriknya, raut mukanya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya.[3] Imam al Ghazali dalam ihya ulumuddin juga berpendapat serupa. Perbincangan pada obyek-obyek tersebut menjadi ghibah bila orang yang diperbicangkan merasa tidak suka.  Perbuatan ghibah bisa dilakukan melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh.

Ghibah dengan pembicaraan lisan bisa terjadi saat berbicara dengan seseorang, sekelompok orang, atau dalam majlis. Ghibah dengan tulisan bisa dilakukan dalam bentuk surat kepada seseorang, tulisan publikasi dalam koran, tabloid, majalah, buku, website, facebook, twitter,  brosur, dll. Ghibah melalui bahasa tubuh bisa dilakukan dengan isyarat, ekspresi wajah, gerakan tubuh tertentu, atau menirukan tingkah laku dan gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-olok.

Dalam kehidupan masyarakat saat ini, ghibah juga dilakukan dengan dukungan media masa sehingga mempunyai efek yang sangat luas. Kita menyaksikan banyak stasiun radio dan televisi menyajikan acara ghibah yang dikemas dengan cara yang menarik, mendapat apresiasi luas dari masyarakat yang dibuktikan dengan rating jumlah penonton yang banyak. Kita juga mudah mendapatkan koran, tabloid, majalah, brosur yang tulisan-tulisannya mengandung ghibah mempunyai tiras besar,  yang berarti banyak dibeli dan dibaca masyarakat. Ghibah kini telah didukung oleh teknologi informasi lainnya yang canggih seperti handphone,  telekonferen, audiostreaming, videostreaming, jejaring sosial facebook, twitter,  dll.

Bagaimana halnya dengan orang yang hanya mendengarkan orang lain ber-ghibah? Mau mendengarnya berarti membiarkan orang lain berbuat mungkar, yakni melanggar larangan Allah ber-ghibah. Rasulullah memerintahkan kita bila melihat kemungkaran hendaknya merubah dengan kekuasaan, lisan, atau hatinya. Yang paling utama dengan kekuasaan. Bila hanya mampu dengan hati, imannya dalam  kondisi yang selemah-lemahnya.

Mampu menghentikan pembicaraan ghibah berarti telah merubah kemungkaran dengan kekuasaan. Menyampaikan bahwa pembicaraan yang terjadi adalah ghibah tetapi tidak bisa menghentikannya adalah merubah dengan lisan. Berlalu dan meninggalkannya adalah bentuk merubah dengan hati. Ikut terlibat di dalamnya meskipun hanya sebagai pendengar berarti ia setuju terhadapnya dan membiarkannya terus berlangsung. Imannya berada dalam kondisi yang lebih buruk dari selemah-lemah iman. Apalagi bila mendengarkannya dilakukan dengan antusias, ia telah berperan dalam menghidupsuburkan ghibah.

Mendengar,  menonton dan membaca  acara maupun tulisan ghibah apalagi sampai  menggemarinya, termasuk pendukung ghibah. Semakin banyak didengar, ditonton dan dibaca orang acara ghibah menjadi semakin subur. Salah satu ciri orang-orang mukmin yang beruntung adalah kemampuannya meninggalkan perbuatan yang sia-sia.[4] Ber-ghibah bukan saja sia-sia, tetapi termasuk perbuatan mungkar yang wajib dihindari dan ditinggalkan.

Allah menggambarkan orang yang ber-ghibah seperti makan bangkai saudaranya yang telah mati. Membicarakan aib, kekurangan, hal-hal negatif pada orang lain berakibat pada matinya karakter seseorang. Sering disebut sebagai “character assasination”. Citra  dirinya menjadi hancur dan mati seperti bangkai akibat ghibah.

Bahan Ghibah

Hal-hal yang disebutkan dalam ghibah antara lain: keadaan jasmani, yang dipakainya, nasab dan keluarganya, perangai, pekerjaan,  perbuatan, ibadah,  dan hal-hal lain menyangkut cacat, kekurangan atau hal-hal yang bersifat negatif.

Ghibah tentang keadaan jasmani misalnya: menyebut mukanya seperti muka monyet, kepalanya botak,  matanya juling, dahinya nonong, kupingnya perung, tangannya pendek atau panjang, punggungnya bungkuk, perutnya besar, kulitnya hitam atau kuning, belang, kakinya pincang, jalannya menyeret kaki, bicaranya cedal, gagu,  dan segala hal mengenai jasmaninya dimana ia tidak suka disebutkan begitu.

Ghibah tentang yang dipakaiannya: bajunya compang-camping dan banyak tambalannya,  celananya kedodoran, sarungnya terseret-seret, sepatunya pinjaman, kopiahnya bau apek, perhiasannya imitasi,  dll.

Ghibah tentang nasabnya misalnya: ayahnya bermoral rendah, jahat, hina, pedagang asongan, pengemis, bodoh, gembel, atau predikat apapun yang tidak disukainya.

Ghibah tentang keluarganya antara lain dengan mengatakan: isterinya jelek, suaminya pendek, anaknya ediot, kakaknya perampok, adiknya lintah darat, keluarganya berantakan, pamannya hanya tukang sapu, dll.

Ghibah tentang perangainya antara lain dengan mengatakan: orangnya sombong, pelit, rakus, pemarahan, pengecut, licik, pembual, lemah hati,  pengkhianat, penindas, pendurhaka, tidak sopan, tidak adil, gampang meremehkan, menyepelekan orang karena penampilannya, dll.

Ghibah tentang pekerjaannya: menyebut bahwa pekerjaannya hanya tukang sapu, tukang sol sepatu, babu, dll.

Ghibah tentang perbuatannya: menyebut bahwa ia tidak berbakti kepada orang tuanya, banyak bicara, banyak makan, pernah mencuri, senang mabuk, bicaranya ngelantur, terlalu banyak tidur, melawan atasannya, dll.

Ghibah tentang  ibadahnya: suka meremehkan shalat dan zakat, tidak sempurna ruku’ dan sujudnya, tidak berhati-hati terhadap najis, tidak menyerahkan zakat kepada yang berhak, tidak memelihara puasanya dari perkataan cabul atau ghibah, dan lain-lainnya.

Pendeknya, banyak hal bisa menjadi bahan ghibah bila dimaksudkan untuk memperlihatkan sisi jeleknya.

Larangan Ghibah

Dalam al-Qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 12 sebagaimana tercantum di atas, Allah melarang ber-ghibah dan menggambarkan pelakunya sebagai pemakan bangkai saudaranya. Di samping itu cukup banyak hadits yang juga melarangnya, antara lain:

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلْ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Dari Abu Barzah Al Aslamy berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Wahai orang yang imannya masih sebatas lisannya dan belum masuk ke hati, janganlah kalian mengghibah (menggunjing) orang-orang muslim, janganlah kalian mencari-cari aurat (‘aib) mereka. Karena barang siapa yang selalu mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan membongkar kesalahannya, serta barang siapa yang diungkap auratnya oleh Allah, maka Dia akan memperlihatkannya (aibnya) di rumahnya.”[5]

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ أَوْ النَّاسِ أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا نَسْرِقَ وَلَا نَزْنِيَ وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا وَلَا نَغْتَبْ وَلَا يَعْضَهَ بَعْضُنَا بَعْضًا وَلَا نَعْصِيَهُ فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ أَتَى مِنْكُمْ حَدًّا مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ فَأُقِيمَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أُخِّرَ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

Dari ‘Ubadah bin Ash Shamit berkata: Rasulullah SAW  membaiat kami seperti membaiat kaum wanita atau semua orang: (1) kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa pun, (2) tidak mencuri, (3) tidak berzina, (4) tidak membunuh anak, (5) tidak ghibah satu sama lain, (6) tidak mendurhakai beliau dalam kebaikan. Barangsiapa diantara kalian melakukan tindakan yang dilarang kemudian hukuman ditegakkan padanya, maka itu adalah kafarat baginya dan siapa yang menunda maka urusannya berpulang kepada Allah, bila berkehendak Ia akan menyiksa dan bila berkehendak Ia akan mengampuni.”[6]

Akibat Ghibah

Ghibah berakibat buruk bagi pelaku dan obyeknya. Berikut ini beberapa hal yang merupakan akibat buruk dari ghibah:

  • Bagi Obyek Ghibah

Menimbulkan kesan buruk bagi obyek ghibah oleh karena “pembunuhan” pada karakternya. Allah menggambarkan orang yang berghibah sebagai pemakan bangkai saudaranya. Akibat perbuatannya saudaranya menjadi “bangkai”. Pencitraan buruk membuat hati menjadi tidak enak dan semangat menjadi lemah. Orang yang tidak punya semangat tidak mampu berbuat apa-apa. Orang yang tidak bisa berbuat apa apa seperti mayat atau bangkai.

  • Bagi yang berghibah:
    1. Mengundang orang lain melakukan hal yang serupa terhadapnya. Sudah menjadi naluri manusia melakukan pembalasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap dirinya. Orang yang suka berghibah menjadi sasaran ghibah orang lain.
    2. Mengurangi fungsi puasa; sebagaimana hadits dari Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah tameng selama ia belum melubanginya.” Abu Muhammad berkata, “Yaitu dengan menggunjing orang lain.”[7]
    3. Mendatangkan siksa kubur; sebagaimana hadits dari Abu Bakrah, ia berkata: Nabi SAW melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Keduanya sedang disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak menjaga kebersihan ketika kencing dan yang lain disiksa karena berbuat ghibah.”[8]
    4. Mendatangkan siksa neraka; sebagaimana hadits dari dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit (dimi’rajkan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan mereka.”[9]
Meninggalkan Ghibah

Jelas sekali larangan ghibah. Kita wajib menghindari dan meninggalkannya. Caranya antara lain dengan menghindari orang-orang yang senang berghibah dan menjauhkan mereka dari lingkungan pergaulan kita. Kita pilih orang-orang saleh menjadi sahabat-sahabat dekat kita.

Bila terdengar atau terlihat oleh kita acara-acara yang berisi ghibah di radio atau televisi, segera matikan atau pindah channel yang acaranya baik. Bila pada tabloid, koran, majalah, atau bacaan lainnya berisi ghibah, tinggalkan. Bila ada orang datang kepada kita dan berbicara ghibah, ingatkan dan minta berhenti atau tinggalkan bila tetap saja bicara. Bila dalam majlis pembicara berghibah, ingatkan atau tinggalkan majlis. Insya Allah kita akan selamat.

Bagi orang-orang yang bisa meninggalkan ghibah diberikan kabar gembira, berupa kebebasan dari api neraka sebagaimana hadits dari Asma’ binti Yazid dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa menahan diri dari memakan daging saudaranya dalam Ghibah, maka menjadi kewajiban Allah untuk membebaskannya dari api neraka.”[10] Juga hadits dari Abu Darda’ dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa yang menahan ghibah terhadap saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat.”.[11]

Marilah kita jaga mulut, mata, dan semua anggota tubuh  kita dari ghibah!

Wallahul musta’an.

Penulis: Agus Sukaca

catatan:

[1] Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Darimi

[2] Kitab Ahmad Hadits No 23898

[3] An Nawawi dalam “al Adzkar”

[4] QS 23 (al Mukminun) ayat 3

[5] Kitab Ahmad, Hadits No 18940

[6] Kitab Ahmad, Hadist No 21672

[7] Kitab Darimi Hadits No 1669

[8] Kitab Ibnu Majah Hadits No 343

[9] Kitab Abu Daud Hadits No 4235

[10] Kitab Ahmad Hadits No 26327

[11] Kitab Tirmidzi Hadits No 1854

___________________________

Upload @Jkt 23012024

Sumber : https://muhammadiyah.or.id/dilarang-bergunjing-ghibah/