PRAKATA

- HIDUP adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekwensi-nya. Silahkan saja membenarkan diri terhadap apa yang telah dilakukan, tapi hati tidak pernah bohong dan parameter hukum/norma yang paling sempurna hanyalah ketentuan Allah SWT, jadi segeralah menuju pintu taubat, selama nafas masih ditenggorokan serta pintu taubat masih terbuka, sebelum segalanya jadi terlambat & penyesalan yang tiada guna lagi (Jkt, Juni 2012 rev.@jogja 8 Mei 2018) -

Rabu, 25 September 2024

Apakah Semua Agama Sama?

Agama itu haknya Tuhan. Manusia diberi dua modal untuk melaksanakan fungsi kekhalifahan. Modal pertama ilmu pengetahuan. Modal kedua agama. Ini ditegaskan oleh wahyu yang pertama kali turun: ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu.’ Membaca itu jendela pengetahuan. Bacalah apa saja, agar kamu mengenali dirimu, alam semesta, dan Tuhanmu. Dalam adegan pengangkatan Adam sebagai khalifah, Allah mendemonstrasikan keunggulan Adam di hadapan malaikat karena ilmu. Namun, modal ilmu belaka tidak cukup. Adam dan Hawa tergelincir oleh bujuk rayu setan. Mereka diusir dari surga dan disuruh tinggal di bumi. Allah lantas memberi bekal agama: « فتلقى آدم من ربه كلمات ٠٠٠». ‘Kalimat’ di situ adalah simbol dari ajaran-ajaran agama.

Agama adalah jalan manusia untuk kembali ke Tuhan. Agama adalah peta agar manusia menemukan rute kembali ke surga. Tapi banyak manusia lupa asal-usulnya. Mereka asyik di bumi. Allah mengirim utusan disetiap generasi. Tujuannya sama: menyampaikan janji dan ancaman. Bumi tempat menyemai amal. Jika amalmu baik, bagimu surga. Jika amalmu buruk, bagimu neraka. Itulah inti Islam, agama semua nabi dan utusan, dari Adam as hingga Muhammad saw. Siapa saja yang mengikuti ajaran itu, disetiap generasi, dijanjikan bahagia di sisi Tuhan (QS Al-Baqarah/2: 62; QS Al-Ma’idah/5: 69).

Dalam konsep Al-Qur’an, agama semua nabi dan rasul adalah Islam. Keturunan Ya’qub, yang dikenal sebagai Bani Israil, adalah Muslim (QS Al-Baqarah/2: 133). Ketika mereka membunuh para nabi dan utusan dan mengubah isi kitab, mereka keluar dari Islam. Kaum Hawari, para penganut Isa as, adalah Muslim (QS Ali Imran/3: 52). Ketika mereka menuhankan Yesus, dan mengubah isi kitab, mereka melenceng dari Islam (QS Al-Maidah/5: 73).

Ketika Nabi Muhammad saw diutus, Bani Israil yang tersisa dikenal sebagai Yahudi. Mereka mendustakan Nabi. Meski mengingkari Muhammad, status mereka dibedakan dari musyrik pagan. Mereka disebut sebagai Ahlul Kitab. Mereka tidak dipaksa masuk Islam. Mereka diterima sebagai bagian dari komunitas muslim, dengan membayar jizyah. Wanita-wanitanya boleh dinikahi. Sembelihannya halal dimakan (QS Al-Ma’idah/5: 5). Ini berlaku juga untuk kaum Nasrani.

Ahlul Kitab punya modal untuk kembali kepada Islam. Sebab, berbeda dengan kaum politeis, mereka sama-sama percaya kepada Allah dan hari akhir. Ajaran dasar mereka sama: hanya menyembah Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan kaum miskin. Mereka juga disuruh shalat dan membayar zakat. Mereka juga dilarang membunuh (QS Al-Baqarah/2: 83-84). Ketika mereka menolak Muhammad, Allah menegaskan bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan risalah (QS Ali Imran/3: 20). Nabi disuruh mengatakan sebagai penerus risalah Islamnya Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan keturunannya, Musa, Isa, dan nabi-nabi lainnya (QS Ali Imran/3: 84). Nabi Muhammad saw penerus misi para Nabi sebelumnya, dan menyempurnakannya.

Mestinya, orang-orang Yahudi yang mengikuti Musa atau orang-orang Nasrani yang mengikuti Isa, harus mengikuti ‘versi’ Islam yang disempurnakan. Tetapi, karena mereka menolak, padahal mereka tahu, Al-Qur’an melarang memaksa mereka: « لا إكراه في الدين » (QS Al-Baqarah/2: 256). Mereka dikasih kebebasan: « فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ». Tentu saja, yang kafir diancam sengatan api neraka, kelak (QS Al-Kahfi/18: 29). Kaum Yahudi merasa masih Muslim dan mengklaim setia di garis ajaran Ibrahim. Al-Qur’an membantah. Mereka telah keluar dari Islam dan ajaran Ibrahim. Muhammad dan para pengikutnya lebih berhak atas Ibrahim dibanding mereka (QS Ali Imran/3: 68). Nabi Muhammad diutus karena Yahudi dan Nasrani tidak lagi mengemban risalah Islam. Dua agama samawi ini dinyatakan telah mengalami distorsi dan manipulasi.

Sekarang kita jawab pertanyaan: apakah semua agama sama di sisi Tuhan? Seorang Muslim tidak mungkin menyatakan semua agama sama. Allah menegaskan: hanya Islam agama di sisi Allah (QS Ali Imran/3: 19). Selain Islam tidak diterima (QS Ali Imran/3: 85). Ini doktrin internal. Jika semua agama sama, buat apa kita memeluk Islam. Wajar orang Islam meyakini keyakinannya. Begitu juga pemeluk agama lain. Muslim tidak tersinggung jika orang Nasrani, misalnya, meyakini bahwa selain mereka adalah domba-domba yang hilang dan tersesat. Atau orang Yahudi menganggap selain Israil adalah kafir. Sekali lagi ini doktrin internal. Sah dan wajar. Tanpa meyakini keyakinan kita benar, orang kehilangan basis untuk meyakini keyakinannya. Bolehkah kita fanatik di situ? Boleh. Tapi ranahnya internal. Di ruang batin masing-masing pemeluk agama.

Masalahnya, bagaimana kita mengelola keyakinan kita berhadapan dengan orang lain? Al-Qur’an jelas mengajarkan toleransi antarumat beragama. Tidak ada paksaan dalam agama. Bagiku agamaku, bagimu agamamu (QS Al-Kafirun/109: 6). Bagimu amalmu, bagiku amalku (QS Al-Qashas/28: 55). Al-Qur’an melarang keras mengolok-olok agama lain (QS Al-An’am/6: 108). Pun dalam keadaan bermusuhan, dilarang merusak tempat ibadah agama lain (QS Al-Hajj/22: 40). Al-Qur’an membolehkan kerja sama dan tolong-menolong antarpemeluk agama dalam perkara muamalah (QS Al-Mumtahanah/60: 8). Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang agresif (QS Al-Mumtahanah/60: 9; QS Ali Imran/3: 118; QS Al-Ma’idah/5: 51), kecuali sebagai taktik atau siasat (QS Ali Imran/3: 28). Terhadap orang lain, yang menentang keyakinan kita, Al-Qur’an mengajarkan bahasa diplomatis, untuk mengurangi ketegangan akibat fanatisme:

 وَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Apakah kami atau kamu yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata” (QS Saba/34: 24).

Tentu saja ini uslub. Dengan uslub ini, kita semua seolah punya potensi benar dan salah. Ini agar kita tidak ngotot memaksakan kebenaran bagi orang yang tidak mempercayainya. Al-Qur’an mengajarkan cara yang elegan, tergantung audiensnya. Bagi mukmin, yang imannya kokoh, terus diberi penguatan, dengan bahasa-bahasa afirmatif, agar tidak goyah. Kepada orang lain, yang belum atau tidak percaya, tidak perlu menyampaikan bahasa-bahasa fanatisme, apalagi insinuasi, yang menimbulkan ketegangan.

Selain menimbang siapa audiensnya, perlu juga dilihat kedudukan pembicaranya. Seorang pendakwah di majlis ta’lim, atau pendeta di gereja, atau rahib di sinagog, tidak mungkin bilang semua agama sama. Jamaahnya bisa bubar. ‘Kalau sama, kita tidak perlu kumpul di sini.’ Pasti semua pemuka agama, di tempatnya masing-masing, akan bilang agamanya sebagai jalan keselamatan. Namun, jika pembicaranya adalah pejabat publik, di negara multiagama, dia harus mengatakan, ‘Semua agama adalah jalan menuju kebaikan. Terserah agamamu. Kamu hanya akan dinilai baik sejauh bermanfaat bagi orang lain.’ Jika kebetulan dia tokoh agama, lalu kembali ke komunitasnya, dia akan balik lagi sebagai true beliver, yang meyakini agamanya sebagai satu-satunya jalan keselamatan.

Apakah begini bermasalah? Sama sekali tidak. Kita memang harus proporsional. Kapan kita fanatik dan menggebu-gebu dengan keyakinan kita, kapan kita tepo seliro, tenggang rasa, dan berempati dengan keyakinan orang lain. Kapan kita menjadi pemeluk agama yang taat, kapan kita menjadi warga negara yang baik. Hidup itu, mau tidak mau, harus berada dalam dualitas seperti itu.

*****

*) Oleh : M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU); penulis buku "Wasathiyah Islam: Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam".

_____________________________________

Sumber: https://nu.or.id/opini/apakah-semua-agama-sama-8Pe8B
Upload by : Cak_1 @Jkt 26092024

Jumat, 06 September 2024

Al-Quran Sebagai Asy-Syifa

Salah satu nama Alquran adalah asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Hal ini seperti diutarakan As-Sa’di dalam kitabnya, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, bahwa Alquran adalah penyembuh bagi semua penyakit hati. Baik berupa syahwat yang menghalangi manusia untuk taat kepada syariat atau syubhat yang mengotori iman.

Dalam surat al-Isra’ ayat 82, Allah Swt berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.

Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata “syifa’/obat” dalam ayat tersebut.

Pendapat pertama mengartikan obat dalam ayat tersebut sebagai obat yang berkenaan dengan penyakit hati, menghilangkan tirai kebodohan dan menghapus keraguan akan kebesaran tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Pendapat kedua, al-Qur’an sebagai obat penawar penyakit lahir seperti sakit kepala, infeksi dan lain sebagainya.

****

Berikut ini beberapa argumen yang menguatkan pendapat kedua.

Pertama, hadits-hadits Nabi tentang berobat dengan ayat al-Qur’an

Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan ihwal berobatnya Rasulullah dengan menggunakan ayat al-Qur’an. Di antaranya hadis riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai, bahwa mula-mula Rasulullah melindungi diri dari segala penyakit dan serangan musuh dengan bacaan ta’awwudz dan beberapa kalimat dzikir. Namun setelah turunnya surat al-Falaq dan al-Nas, beliau mencukupkan dengan kedua surat tersebut dan meninggalkan selainnya. Sahabat Abu Sa’id al-Khudri pernah menyembuhkan seseorang yang terkena sengatan ular dengan bacaan ayat “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin” sebanyak tujuh kali.

Kedua, berdasarkan kaidah ushuliyyah

Kaidah yang populer di kalangan pakar ushul fiqh mengatakan:

اِنَّ الْكَلَامَ اِذَا احْتَمَلَ التَّأْكِيْدَ أَوِ التَّأْسِيْسَ فَحَمْلُهُ عَلَى الثَّانِيْ أَرْجَحُ

Pembicaraan apabila memungkinkan mengarah kepada pengukuhan (substansi yang sudah pernah disampaikan) atau mendasari (substansi baru yang belum pernah tersampaikan), maka mengarahkannya kepada yang kedua adalah lebih unggul”.

Dalam konteks ini, mengarahkan QS al-Isra’ ayat 82 kepada obat penyakit lahir lebih utama sebagai informasi baru yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Hal ini lebih baik ketimbang mengarahkannya kepada pemahaman al-Qur’an sebagai obat penyakit batin yang sudah banyak dijelaskan ayat-ayat lain.

Ketiga, berdasaran kaidah nahwiyyah

Dalam ayat di atas, kata “syifa’; obat” dan “rahmat” dirangkai jadi satu dengan penghubung huruf ‘athaf yakni “wawu (yang secara literal merupakan kata sambung yang bermakna “dan”). Rahmat yang dimaksud dalam ayat mencakup obat dari segala penyakit hati. Dalam kaidah ilmu nahwu, penggabungan satu kata dengan yang lain  dengan penghubung huruf athaf wawu menunjukan perbedaan makna kedua kata tersebut. Bila kata “rahmat” diartikan obat penyakit batin, seharusnya kata “syifa’, obat” diartikan sebagai obat penyakit lahir, agar keduanya menunjukan arti yang berbeda sebagai pengamalan dari kaidah nahwu di atas.

Keempat, berdasarkan kaidah Manthiqiyyah-silogisme

Berdasarkan fakta yang berulang kali teruji kebenarannya dari sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in hingga kurun setelahnya,menunjukan bahwa al-Qur’an dapat mengobati penyakit racun,gila, luka dan penyakit lahir lainnya. Dalam disiplin ilmu manthiq dikatakan:

Sesungguhnya beberapa eksperimen yang telah teruji kebenarannya termasuk jenis berita/ proporsi yang berfaidah yakin”.

Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Zad al-Ma’ad, menjelaskan, Alquran adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kukuh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apa pun tidak akan mampu menghadapinya.

Kepada sahabat yang sakit, Nabi kerap kali berpesan, Bagi kalian ada obat penyembuh, yakni madu dan Alquran. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim). Sebagai asy-Syifa, orang beriman diimbau banyak membaca Alquran, karena ia adalah obat penyembuh.

________________________

Sumber : https://arrohmah.co.id/al-quran-sebagai-obat

Upload By : Cak1 @Jkt 06092024

 

Jumat, 23 Agustus 2024

Takwa Sebaik-baik Bekal

Sehebat dan sekuat apapun seseorang, segesit bagaimanapun ia berlari, tidak ada yang bisa lepas dari kematian. Di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun, kematian itu pasti akan datang, baik dalam keadaan siap atau tidak siap, kematian adalah suatu kepastian. Semoga ini menjadi pengingat (tadzkirah) bagi kita.

Mengingat kematian bukan sekadar ingat dan tidak lupa, namun lebih dari itu mengingat kematian berarti mempersiapkan bekal sebelum ajal datang. Allah Azza wa Jalla berfirman,

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.”  (QS: Al-Jumu’ah : 8)

Tidak dapat dipungkiri bahwa kematian merupakan langkah yang sudah pasti, kita hanyalah menunggu gilirannya. Untuk itulah kita harus persiapan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat.

Allah Azza wa Jalla menyebut bahwa takwa adalah sebagai sebaik-baik bekal,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.“ (QS: Al Baqarah: 197)

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, Sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke surga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan?”

Lalu, Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini!” Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke Rahmatullah.  (Ibn Rajab, Jami` Al`Ulum wa Al Hikam).

****

Dalam menghadapi kematian tersebut Seorang Muslim perlu menyiapkan bekal. Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam.

Pertama, transendensi yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah Azza wa Jalla. Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah Azza wa Jalla.

Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu’minun bi al-ghayb.

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”  (QS: Al Baqarah: 3)

Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan.

Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.

Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan orang yang benar-benar percaya kepada Allah Azza wa Jalla dan percaya pada balasan-Nya.

Firman-Nya, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  (QS. Al Baqarah: 45-46)

Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri. Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multi-deminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah).

Allah Azza wa Jalla akan  membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut: 69)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menjadikan takwa sebagai sebaik-baiknya bekal untuk meraih ridha-Nya. Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab.

______________________________

Oleh : Bagya Agung Prabowo, dosen tetap Fakultas Hukum UII.

Sumber : https://hidayatullah.com/takwa-sebagai-sebaik2-bekal

Upload : By cak_1 @Jkt 23082024

Selasa, 20 Agustus 2024

Mengenal Qolbun Salim (Hati Yang Tenang & Bersih)

Setiap muslim sudah seharusnya memiliki qolbun salim dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar senantiasa dekat kepada Allah SWT. Namun, apakah sebenarnya qolbun salim ini? Berikut pembahasannya.

Qolbun salim berkaitan dengan hati. Hati adalah sebuah karunia Allah SWT yang sangat mengagumkan. Seseorang bisa membedakan hal yang baik dan buruk, terpuji atau tercela, hanya dengan hatinya.

Baca artikel detikhikmah, "Mengenal Qolbun Salim dalam Islam: Hati yang Bersih dan Tenang" selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7061484/mengenal-qolbun-salim-dalam-islam-hati-yang-bersih-dan-tenang.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Setiap muslim sudah seharusnya memiliki qolbun salim dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar senantiasa dekat kepada Allah SWT. Namun, apakah sebenarnya qolbun salim ini? 

Berikut pembahasannya. 

Qolbun Salim berkaitan dengan hati. Hati adalah sebuah karunia Allah SWT yang sangat mengagumkan. Seseorang bisa membedakan hal yang baik dan buruk, terpuji atau tercela, hanya dengan hatinya.

Hati tidak bisa dibohongi meskipun pikiran mungkin saja memaklumi sebuah kejahatan. Oleh karena itu, pelaku kriminal biasa dijuluki sebagai orang yang tidak punya hati.

Hati memiliki beberapa sifat, di antaranya qolbun salim, qolbun maridh, dan qolbun mayyit. Dalam pembahasan kali ini, kita akan fokus membicarakan tentang qolbun salim.

Pengertian Qolbun Salim

Istilah qolbun salim ternyata disebutkan di dalam Al-Qur'an pada surah As-Syu'araa ayat 89 yang berbunyi,

اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ ٨٩

Artinya: Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."

Di dalam ayat tersebut qolbun salim artinya hati yang bersih. Sementara itu, Imam Al-Ghazali memahami qolbun salim sebagai hati yang sehat. Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Biarkan Hatimu Bicara karya Abi Aunillah Al-Kuwarsani.

Banyak tafsiran mengenai pengertian qolbun salim ini. Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan pengertian qolbun salim adalah hati yang selamat, yakni selamat dari meragukan keesaan Allah SWT serta kebangkitan umat manusia dari alam kubur.

Sementara itu, Qatadah mendefinisikan qolbun salim sebagai hati yang tidak menyekutukan Allah SWT, sedangkan Ad-Dhahhak mengartikannya dengan hati yang ikhlas.

Pendapat Mujahid mengartikan qolbun salim sebagai kondisi atau keadaan hati yang sudah terbebas dari keraguan terhadap kebenaran, terutama kebenaran yang berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

Ciri-ciri Qolbun Salim

Ada beberapa ciri-ciri qolbun salim yang diungkapkan oleh Syekh Sa'ad bin Nasir Asy-Syasri yang dinukil dari buku Ruqyah Syar'iyyah: Terapi Mandiri Penyakit Hati dan Gangguan Jin karya Sulthan Adam.

Kriteria atau ciri-ciri qolbun salim tersebut di antaranya:

1. Takut kepada Allah SWT dan Siksa-Nya

Ciri-ciri seseorang memiliki qolbun salim atau hati yang baik adalah dirinya selalu memiliki rasa takut kepada Allah SWT dan juga terhadap siksaan-Nya.

Dengan demikian, ia akan terhindar dari prasangka buruk dan tentunya perbuatan tercela yang akan menjerumuskannya kepada neraka.

2. Niat Ikhlas karena Allah SWT

Ciri-ciri qolbun salim yang kedua adalah niat yang ikhlas karena Allah SWT. Dirinya tidak melangkahkan kaki-kakinya dalam ibadah melainkan dengan niat taqorrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Orang dengan qolbun salim juga tidak meninggalkan maksiat, kecuali untuk mencari rida Allah SWT.

3. Cinta kepada Allah SWT

Ciri-ciri qolbun salim yang terakhir adalah memiliki rasa cinta yang amat mendalam kepada Allah SWT. Sehingga dirinya akan selalu berbuat kebaikan, mencintai ketaatan, serta melakukan semua perintah dan larangan-Nya.

Cara Mencapai Qolbun Salim

Qolbun salim bukanlah sebuah keadaan yang dengan sendirinya muncul. Sebaliknya, qolbun salim ada jika seseorang mau mengusahakannya. Lantas, bagaimana cara mendapatkan qolbun salim tersebut?

1. Berdoa

Cara yang pertama dan paling mudah adalah dengan berdoa kepada Allah SWT sang pemilik hati dan yang membolak-balikkan hati.

Rasulullah SAW sudah mengajarkan kepada umatnya sebuah doa agar memiliki qolbun salim. Doa itu berbunyi,


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Artinya: "Wahai Zat yang Maha hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu."

2. Menjaga Diri dari Lingkungan

Cara mendapat qolbun salim yang selanjutnya adalah dengan menjaga diri dari lingkungan yang tidak baik yang berpotensi mengarahkan diri kepada hal yang buruk.

Sebisanya, seseorang harus menjauhi segala kemungkinan yang mengajak dirinya terjerumus ke dalam kemaksiatan. Jika terpaksa terjebak dalam situasi tersebut, maka ia harus banyak mengingat Allah SWT.

3. Berusaha Memperbanyak Ilmu

Cara mendapat qolbun salim yang lainnya adalah dengan mencari ilmu sebanyak-banyaknya, terutama ilmu agama. Semakin banyak ilmu yang didapatkan, maka akan semakin tenang pula hati seseorang. Ilmu ini akan memudahkan hal yang sulit dan tidak mempersulit sesuatu yang mudah.

4. Mengamalkan Ilmu-ilmu yang Didapat

Cara mendapatkan qolbun salim yang keempat adalah dengan mengamalkan ilmu-ilmu agama yang sudah didapat dalam kehidupan sehari-hari agar dapat dirasakan manfaatnya.

Semakin mengamalkan ilmu yang dimiliki, maka akan semakin bersih isi hati seseorang. Ilmu ini bagaikan sapu yang menyapu kotoran-kotoran yang bersarang di dalam hati.

5. Selalu Berbuat Baik

Selalu berbuat baik akan dapat mengantarkan diri seseorang lebih dekat kepada Allah SWT. Berbuat baik kepada orang lain akan membuat mereka merasa senang berada di sekitar orang tersebut. Sehingga, ketika seseorang sudah merasa senang, maka saat itu pula hatinya akan terasa lebih bersih dan salim.

6. Melakukan Hal yang Benar

Melakukan hal yang benar adalah ketika seseorang mengamalkan ilmunya untuk berbuat baik kepada orang lain, diri sendiri, dan kepada Allah SWT.

Ketika seseorang sudah melakukan perbuatan yang benar menurut Allah SWT dan agama Islam, maka tentu saja Dia akan membantu untuk membersihkan hati orang tersebut hingga menjadi qolbun salim.

Contoh Perilaku yang Mencerminkan Qolbun Salim

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui contoh yang mencerminkan seseorang memiliki qolbun salim adalah orang tersebut selalu menuntut ilmu agama dengan baik dan tanpa lelah sampai akhir hayatnya.

Kemudian, ilmu-ilmu itu dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, dirinya bisa membedakan hal yang baik dan benar menurut mata Allah SWT dan selalu mengamalkan hal yang baik tersebut.

Contoh tindakan yang akan dilakukan oleh seorang yang memiliki qolbun salim adalah selalu membela orang yang terzalimi, menentang ketidakbenaran, menjauhi maksiat, mendekatkan diri kepada-Nya, menjalani perintah-perintah-Nya dan masih banyak lagi.

_______________________________

Sumber : https://www.detik.com/hikmah/mengenal qolbunsalim

Upload by Cak_1: @Jkt 20 Agustus 2024
Qolbun salim berkaitan dengan hati. Hati adalah sebuah karunia Allah SWT yang sangat mengagumkan. Seseorang bisa membedakan hal yang baik dan buruk, terpuji atau tercela, hanya dengan hatinya.

Baca artikel detikhikmah, "Mengenal Qolbun Salim dalam Islam: Hati yang Bersih dan Tenang" selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7061484/mengenal-qolbun-salim-dalam-islam-hati-yang-bersih-dan-tenang.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
Setiap muslim sudah seharusnya memiliki qolbun salim dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar senantiasa dekat kepada Allah SWT. Namun, apakah sebenarnya qolbun salim ini? Berikut pembahasannya.

Qolbun salim berkaitan dengan hati. Hati adalah sebuah karunia Allah SWT yang sangat mengagumkan. Seseorang bisa membedakan hal yang baik dan buruk, terpuji atau tercela, hanya dengan hatinya.

Baca artikel detikhikmah, "Mengenal Qolbun Salim dalam Islam: Hati yang Bersih dan Tenang" selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7061484/mengenal-qolbun-salim-dalam-islam-hati-yang-bersih-dan-tenang.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Selasa, 13 Agustus 2024

9 Realita Kematian

SALAH satu keniscayaan hidup yang tak terhindarkan adalah kenyataan bahwa segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup “makhluk” (ciptaan) pasti berakhir. Yang abadi, tiada akhir selamanya hanya Dzat Yang Maha Pencipta.

“Semua yang ada di alam semesta akan berakhir (faniah). Dan kekallah Wajah Tuhanmu yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia” (Ar-Rahman: 26-27).

Karenanya perlu kita pahami tentang sebuah realita kehidupan yang dikenal dengan istilah “al maut”  (kematian) itu. Karena sesunggguhnya kematian adalah satu dari sekian peristiwa yang paling nampak (riil) dalam hidup manusia. Tapi pada saat yang sama banyak di antara manusia yang lalai, bahkan tidak peduli.

Berikut beberapa realita dari peristiwa kematian yang diabadikan dalam Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW.

Pertama, bahwa kematian itu sesungguhnya adalah proses alami (natural process) dan menjadi bagian integral (integral part) dari kehidupan itu sendiri. Artinya ketika ada kehidupan realitanya ada kematian. Dan kalau berani hidup juga berarti siap untuk mati.

Allah menegaskan ini dalam Al-Quran: “Dia Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amalan” (Al-Mulk: 2).

Kematian adalah bagian dari putaran kehidupan (cycle of life) yang bersifat menyeluruh (wholly in nature). Dan seorang Mukmin tidak memisahkan di antara fase-fase kehidupan. Sehingga semua proses dan tingkatan yang terjadi dalam hidupnya menjadi konsep  kesatuan yang terintegrasi (integrated).

Kedua, kematian itu adalah sebuah kepastian yang diyakini oleh semua makhluk. Dan karenanya kematian identik bahkan memang salah satunya dimaknai sebagai “al-yaqiin” atau keyakinan.

Al-Quran menegaskan: “dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan (ajal) tiba kepadamu” (al-Hijir: 99).

Kenyataan ini dapat terlihat pada kenyataan bahwa kerap kali orang-orang kuat dan sehat menyadari bahwa mereka akan mati. Hanya saja mereka lalai dan salah persiapan. Mereka lebih mempersiapkan pekuburan yang mewah ketimbang mempersiapkan amalan bagi keindahan hidupnya di alam kubur.

Al-Qur’an menegaskan: “mereka mengetahui hal-hal lahir dari kehidupan (materialis). Tapi kehidupan Akhirat mereka lalai” (Ar. Rum: 7).

Ketiga, walaupun kematian itu nyata, tapi pada sisi lain ternyata misterius. Seringkali menjadikan manusia tergeleng-geleng seolah kebingungan. Pasti terjadi tapi membingungkan tentang “when, where, how” (kapan, di mana, dan bagaimana).

Artinya kematian itu tidak diketahui kapan akan terjadi, di mana akan terjadi dan bagaimana akan terjadi. Ada teman yang pernah mengirimkan uang ke kampung untuk dipersiapkan baginya pekuburan keluarga. Ternyata rumah abadinya tetap di Long Island NY.

Baru-baru ini juga seorang jamaah, peserta kajian Al-Qur’an Jumat pagi, mengirimkan foto cucunya yang meninggal padahal baru berumur 4 bulan. Ketika saya tanya sakit apa? Ternyata bukan karena sakit. Bahkan malamnya masih video call dan sehat disusui ibunya. Keesokan subuh sang anak yang mungil itu telah tiada. Penyebab dan waktu kematian ternyata menjadi bagian dari misteri itu.

Al-Quran menegaskan: “dan tidak seorangpun yang tahu apa yang akan dikerjakan di esok harinya. Dan tidak seorangpun tahu di bumi mana akan meninggal dunia” (Luqman: 34).

Keempat, kematian itu adalah peristiwa yang pasti terjadi dan tak mungkin terhindarkan. Kerap kita dengan perasaan “kemampuan” yang ada pada kita merasa bahwa kemampuan itu akan menghindarkan kita dari realita ini. Kenyataannya terkadang justeru usaha untuk menghindar itu malah jadi jalan bagi kematian untuk menemui kita.

Al- Quran menegaskan: “dan katakan (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya kematian yang kalian berusaha berlari darinya niscaya akan menemuimu” (Al-Jumu’ah: 7).

Beberapa waktu lalu ada seseorang yang karena kemampuan finansialnya, ketika sakit terbang jauh ke Jerman. Ternyata karena penerbangan yang memakan waktu dan cukup melelahkan itu, sebelum sempat ditangani oleh Dokter Jerman beliau lebih awal ditemui oleh malaikat maut. Berusaha untuk selamat dari kematian. Tapi kematian ternyata menunggu di tempat yang diasumsikan sebagai pelarian dari kematian.

Kelima, kematian itu tidak memilih-milih (indiskriminatif). Siapa saja dan apapun keadaannya ketika memang waktunya telah tiba akan mati. Kaya miskin, kuat lemah, sehat sakit, tua muda, dan seterusnya tidak menjadi penghalang bagi kematian.

Fir’aun yang sangat berkuasa mati. Qarun yang sangat kaya mati. Nuh yang lama hidup mati. Yusuf yang ganteng juga mati. Orang-orang baik dari kalangan nabi, sahabat Rasul, dan mereka yang saleh mati. Orang-orang jahat, termasuk para penjilat seperti Haman juga mati.

Keenam, kematian itu terjadwal secara rapi. Artinya kematian itu jadwalnya fixed. Ketika jadwal tiba maka pasti terjadi. Tidak bisa diundur dan juga tidak bisa dimajukan.

Al-Quran menegaskan: “dan ketika ajalnya tiba mereka tidak bisa meminta penundaan dan juga tidak bisa meminta percepatan” (Al-A’raf: 34).

Ketujuh, disaat kematian terjadi maka sungguh berat dan menyakitkan (painful). Ketika sakarat (sakratul maut) dan ketika nyawa dicabut maka itu adalah momen-momen tersulit dalam kehidupan seorang insan. Pertama, karena itu momen perpisahan dari dua hal yang menyatu begitu lama. Perpisahan antara jasad dan ruh. Kedua, karena di momen itu terbuka benteng pemisah antara “alam fisikal” dan “alam gaib”.  Seseorang yang sakarat ketika menengok ke belakang akan sedih (painful) karena melihat mereka yang dicintai akan ditinggalkan. Tapi ketika menengok ke depan nampak alam baru (kubur) yang belum dipersiapkan dengan baik (menyesal).

Tapi yang juga memang berat dan pedih adalah ketika ruh/nyawa seseorang dicabut. Salah satu ayat yang menjelaskan sakarat kematian itu adalah: “dan datanglah masa sakarat itu. Yang kalian dahulunya berusaha hindarkan” (Qaf: 19).

Rasulullah sendiri menggambarkan keperihan ketika ruh seseorang dicabut: “perumpamaan rasa sakit ketika nyawa dicabut bagaikan tiga ratus kali tebasan pedang”.

Kedelapan, kematian adalah kejadian yang hanya akan terjadi sekali dalam hidup manusia. Karenanya ketika seseorang telah berhadapan dengan kenyataan itu dia ingin agar kematian itu dilambatkan. Bahkan ingin untuk dikembalikan lagi ke kehidupan ini untuk berbuat yang lebih baik.

Al-Quran menegaskan: “wahai Tuhanku sekiranya Engkau melambatkan kematianku sekejap agar aku bisa bersedekah dan menjadi bagian dari orang-orang yang saleh. Dan Allah tidak akan melambatkan kematian seseorang ketika ajalnya telah tiba” (Al-Munafiqun: 10-11).

Pada ayat lain Allah berfirman: “hingga datang kematian kepada seseorang di antara mereka, dia berkata: wahai Tuhanku kembalikanlah aku. Agar aku dapat berbuat kebajikan atas apa yang telah aku tinggalkan (sia-siakan)” (Al-Mukminun: 99-100).

Kesembilan, kematian adalah ukuran sikap bijak dan kepintaran seseorang. Bayangkan ketika seseorang sadar bahwa dia pasti mati. Tapi kenyataan hidupnya mengatakan seolah hidup ini untuk selamanya. Itulah prilaku zholim pada diri dan bentuk kebodohan yang luar biasa.

Karenanya Rasulullah SAW bersabda: “orang yang bijak/pintar itu adalah yang selalu melakukan penghisaban (mengukur) diri sendiri dan berbuat untuk kehidupan setelah kematiannya” (At-Tirmidzi).

Demikian beberapa realita kematian yang perlu untuk menjadi renungan sekaligus nasehat untuk kita semua. Tentu peringatan ini tidak menjadikan kita “down” (melemah) dalam perjuangan membangun dunia kita. Justeru kematian itu mendorong kita untuk lebih giat dan sungguh-sungguh dalam beramal (ibadah) sebagai bagian dari persiapan kita menghadapi realita terbesar hidup kita. Semoga!

______________________

Dikutip dari : https://www.eramuslim.com/oase-iman/9-realita-kematian

Ditulis Oleh : Imam Shamsi Ali,  Presiden Nusantara Foundation.

Update : @Jakarta, 13 Agustus 2024.