“Orang yang jujur, orang yang soleh, punya solidaritas sosial, punya dedikasi, punya loyalitas, apapun agamanya dia pasti mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu Wata’ala”, demikian statemen Maman Imanul Haq Faqih dalam sebuah Talkshow di televisi swasta beberapa waktu lalu.
Maman, yang juga pengurus sebuah ormas Islam itu, dengan begitu yakin menjamin keselamatan orang non-Muslim yang “baik”. Ia bahkan tidak ragu memutuskan dengan kata ‘pasti’. Pendapat ini sekedar klaim seorang diri Maman, tidak memiliki pijakan petunjuk agama. Sebuah klaim yang tidak memiliki landasan apapun kecuali copas dari pemikir Barat atau sekedar ingin mendapatkan puja-puji kelompok tertentu yang memiliki kekuatan.
Sadar atau tidak sadar, ia membuat sebuah klaim absolut. Sebuah keputusan ekstrim yang bukan haknya. Karena, sebagai Muslim, seharusnya klaim itu berdasarkan petunjuk wahyu, melalui saluran al-Qur’an dan Hadis. Masalahnya, klaim absolut tersebut tidak ada sama sekali dalam petunjuk wahyu. Justru sebaliknya, al-Qur’an menentang klaim tersebut.
Lalu, dari mana anggota Komisi VIII yang pernah berkujung ke USA, sebagai peserta program Inter-religios Dialogue di Ohio University itu bisa membuat klaim itu?
Sudah pasti dari sebuah paham bernama pluralisme. Klaim itu tidak ada dalam al-Qur’an, Hadis, kitab-kitab turats (kitab kuning), ataupun dari fatwa ulama. Tetapi, klaim itu mencontek dari kaum pluralis Barat.
Pluralisme agama merupakan agenda yang paling penting dalam liberalisasi. Ia mengajarkan bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham ini memiliki sekurang-kuranganya dua aliran, yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama dan teologi global. Inti doktrin ini adalah menghilangkan sifat eksklusif umat beragama. Mengajarkan agar penganut agama tidak lagi tidak mengakui agamanya sendiri sebagai agama yang paling benar.
Ia adalah sebuah ideologi yang muncul di Barat pada abad ke-20. Kemunculannya berititik tolak dari suatu anggapan orang Barat bahwa pertumpahan darah, peperangan yang banyak terjadi di dunia akibat dari sikap eksklusif penganut agama dalam mendakwa kebenaran (truth claim).
Pada zaman itu, memang penganut agama Yahudi dan Nasrani telah bersikap sangat eksklusif dan dogmatik dalam mendakwa kebenaran agamanya itu, tanpa berhasil memberikan bukti yang kokoh atas pengakuan tersebut di hadapan para ilmuwan. Hal ini yang menyebabkan ketegangan antara agama (Khalif Muammar,Islam dan Pluralisme Agama, hal. 1).
Jadi, paham ini lahir dari ‘kandungan’ peradaban Barat, dan dipicu oleh sikap eksklusif agama Yahudi dan Nasrani. Ideologi ini tidak ada kaitan sejarah, atau tradisi dengan agama Islam. Di dalam tradisi pemikiran para ulama, dari salaf hingga khalaf, sampai kontemporer tidak ditemukan terminologi pluralisme agama. Karena, faham ini murni timbul sebagai reaksi orang Barat terhadap problem agama Yahudi dan Kristen.
Apa kaitannya dengan agama Islam? tidak ada sama sekali. Adapun kaum Muslim yang memasarkan paham ini sekedar ikut-ikutan tren orang Barat yang dipasarkan melalui buku-buku dan proyek pelatihan-pelatihan. Seseorang yang ikut-ikutan tanpa sadar akibatnya itu merupakan satu jenis penyakit kejiwaan, tidak percaya diri dan gawo’an (gampang kagum) terhadap perkembangan modernitas.
Paham ini sudah difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 sebabagai paham yang haram. Karena bertentangan dengan tauhid. Islam mengajarkan, siapapun yang ingin selamat haruslah melalui jalur Nabi Muhammad Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam, bukan melalui Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan agama-agama lain. Allah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam telah memberi satu jalur saja untuk mencapai keselamatan. Bila ada sekelompok membuat jalur lain maka dipastikan itu bukan dari perintah Allah Subhanahu Wata’ala.
Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menyampaikan pesan bahwa agama Islam telah menghapus agama-agama samawi sebelumnya. Hal ini sebagaimana ketetapan dalam al-Qur’an, hadits-hadits mutawatir dan ijma’ umat Islam. Oleh karena itu, orang yang mengingkari hal ini, hukumnya adalah kafir tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.
Beriman kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam adalah syarat pokok seseorang bisa selamat dari api neraka. Setiap orang yang tidak beriman kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, nasibnya akan masuk ke neraka selama-lamanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali-Imran : 85).
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits mutawatir dan menjadi ijma’ para ulama. Karena itu, orang Yahudi, Kristen dan penganut agama apapun selain Islam, tidak berhak masuk surga selamanya.
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab tafsirnya Maroh Labid mengomentari tentang status Taurat dan Injil:
فالتوراة شريعة للأمة التي كانت من مبعث موسى إلى مبعث عيسى. والإنجيل شريعة من مبعث
عيسى إلى مبعث سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم، والقرآن شريعة للموجودين من سائر المخلوقات
في زمنه صلى الله عليه وسلم إلى يوم القيامة
“Taurat itu syariat untuk umat nabi Musa sampai diutusnya nabi Isa. Injil itu syariat untuk umat dari nabi Isa sampai diutusnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Adapun al-Qur’an adalah syariat untuk semua umat manusia sejak zaman Nabi Saw sampai hari Kiamat” (Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi, Maroh Labid,jilid 2, hal. 272). Berarti, orang yang mengaku pengikut Taurat dan Injil, pengakuannya batal dengan datangnya al-Qur’an.
Maka cukup jelas bahwa syarat orang yang mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu Wata’ala adalah harus beriman dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam. Artinya harus Muslim. Jika tidak maka amalnya sia-sia.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَٱلَّذِينَ ڪَفَرُوٓاْ أَعۡمَـٰلُهُمۡ كَسَرَابِۭ بِقِيعَةٍ۬ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمۡـَٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُ ۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡـًٔ۬ا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُ ۥ فَوَفَّٮٰهُ حِسَابَهُ ۥۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ (٣٩)
“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatanginya tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nur: 39).
Amal orang-orang kafir seperti fatamorgana yang dilihat dan disangka oleh orang yang tidak tahu sebagai air, mereka mengira amal mereka bermanfaat, dan mereka pun membutuhkannya sebagaimana butuhnya orang yang kehausan terhadap air, sehingga ketika ia mendatangi amalnya pada hari pembalasan, ternyata ia dapatkan dalam keadaan hilang dan tidak memperoleh apa-apa.
Hal ini berarti, amal “baik” orang yang tidak beriman itu tidak membawa manfaat apapun bagi masa depan akhiratnya kelak.
Syarat diterimanya amal sehingga mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Subhanahu Wata’ala itu harus beriman kepada Allah. Bila ada orang baik kepada sesame manusia tetapi kafir kepada Allah dan Rasul Nya, maka amalnya tertolak, sia-sia.
Karena, dia menentang Allah. Kepada manusia berbuat baik, tetapi kepada Allah berbuat lancang menentangnya. Sejahat-jahat manusia itu yang menentang hukum Allah. Bagaimana logikanya, kepada Sang Pemilik Kekuasaan ia berbuat lancang, tetapi kepada manusia tidak memiliki apa apa-apa berbuat baik.
Karena itu kafir yang beramal sosial, namanya tidak disebut sholeh atau baik. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athoillah al-Sakandari, ulama sufi kenamaan dalam kitabnya Tajul Arus: “Apa kamu kira berakhlak itu adalah menyapa manusia dengan sopan? Apa kamu kira akhlak itu hormat pada manusia seraya menantang Allah? Tidak. Akhlak yang baik itu menghormati Allah dan hukum-hukumnya serta menjauhi larangan Nya.”
Kesimpulan Akhir :
Jadi, yang namanya berakhlak itu pertama harus sopan kepada Allah. Bagaimana sopan kepada Nya? Yakni dengan taat pada hukum-hukum Allah. Ini namanya beriman. Bila seorang sopan kepada Allah maka ia akan memperlakukan manusia dengan semestinya. Bila ada seorang sopan kepada manusia tetapi lancang kepada Allah dan Rasul Nya, maka sikap sopan nya itu nifaq. Karena itu Allah tdk menerimanya sebagai pahala kelak.
__________________________________
Sumber : hidayatullah.com/artikel/tsaqafah
Artikel di Tulis Oleh : Ahmad Kholili Hasib (dosen INI Dalwa Bangil-Pasuruan)
Upload by : Cak_1 @Jkt 22102019